Pendidikan inklusi untuk anak Marind-Papua putus sekolah

Papua-Sergius Womsiwor
Penggagas layanan pendidikan inklusi yang juga Kepsek SMAN 1 Merauke, Sergius Womsiwor – Jubi/Frans L Kobun

Papua No. 1 News Portal | Jubi

Merauke, Jubi – Kepsek Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) I Merauke, Sergius Womsiwor, bekerjasama dengan Kapolres Merauke, Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) Untung Sangaji, serta Polsek Bupul dan Polsek Kurik menjalankan layanan pendidikan inklusi.

Layanan pendidikan inklusi dijalankan berangkat dari keprihatinan akan dunia pendidikan yang dialami serta dirasakan anak-anak Marind-Papua yang tinggal di kampung-kampung. Dimana, angka putus sekolah di kalangan anak Marind-Papua, terutama di jenjang sekolah menengah pertama (SMP), sangat tinggi.

Read More

“Saya mengambil sampel saja di Kampung Baat, Distrik Malind. Sekitar 40 anak di sana putus sekolah di jenjang SMP. Itu baru di satu kampung, belum kampung lain,” ungkap Sergius, saat ditemui sejumlah wartawan di ruang kerjanya, Senin (9/8/2021).

Dikatakan Sergius Womsiwor, layanan pendidikan yang diterapkan adalah tatap muka secara langsung dengan anak didik. Sedangkan bahan atau materi pembelajaran tetap mengacu kepada kurikulum pendidikan 2013. Hanya saja, proses belajar mengajar dilakukan di alam bebas, tidak dalam ruangan tertutup, misalnya di teras rumah atau di bawah pohon.

Selain materi yang diberikan, jelas dia, juga memberikan motivasi tentang manfaat pendidikan sesungguhnya. Proses belajar mengajar pun tak kaku, tetapi fleksibel.

Womsiwor menambahkan layanan pendidikan inklusi, awalnya hanya berjalan di dua titik dalam wilayah kota dengan sasaran kepada anak-anak penghirup lem aibon serta pemulung.

Namun kini sudah tambah lima titik lagi yang diprakarsai Kapolsek Bupul, Kapolsek Kurik, serta Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Merauke, Theresia Mahuze, bekerjasama dengan Gereja Katolik di wilayah Kuper dan sekitarnya.

Untuk pelaksanaan kegiatan belajar mengajar, jelas dia, seminggu bisa sekali, dua, hingga tiga kali. Namun kalau hanya sekali seminggu, tidak cukup. Karena dari pengalamannya, setelah melakukan ujicoba kepada anak-anak putus sekolah di sejumlah kampung, kemampuan menulis dan membaca sangat masih kurang.

“Saya masih mencari pola lain juga. Bisa saja guru ditugaskan di sejumlah kampung, hanya perlu dipertimbangkan dengan masalah operasional mereka,” katanya.

Sergius Womsiwor mengakui untuk mengurus layanan pendidikan inklusi di kampung-kampung, cukup berat. Karena sudah pasti membutuhkan sarana pendidikan maupun pembiayaan.

“Kegiatan belajar mengajar yang dijalankan di beberapa titik di kampung lokal, itu atas dukugan pembiayaan Kapolsek Bupul serta Kapolsek Kurik. Saya menyampaikan terima kasih banyak kepada Kapolres Merauke yang memberikan perhatian serius terhadap program dimaksud,” ungkapnya.

Dijelaskannya, apa yang sedang dijalankan sekarang, kerjasama dengan Polres Merauke, menjadi harapan Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Papua yang terus gencar mendorong SMAN 1 Merauke menjadi layanan inklusi, setelah SK dikantongi.

Dia juga mengharapkan intervensi Bupati Merauke, Romanus Mbaraka, sehubungan dukungan pembiayaan agar program ini bisa berjalan baik dan lancar di sejumlah kampung. Karena yang putus sekolah baik tingkat SD, SMP, maupun SMA adalah anak-anak Marind-Papua.

“Mimpi besar saya, anak-anak Marind-Papua harus mengenyam pendidikan hingga tamat, bila perlu didorong ke jenjang perguruan tinggi (PT). Kuncinya adalah komitmen  kepala daerah maupun suara Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Merauke,” tegas Womsior yang dijuluki Romanus Mbaraka sebagai ‘penggila’ pendidikan.

Dia kembali menyarankan pemerintahan dibawah kepemimpian Romanus Mbaraka-H. Riduwan agar dengan kewenangan dimiliki, mengalokasikan dana desa di setiap kampung untuk biaya pendidikan bagi anak-anak putus sekolah, melalui layanan pendidikan inklusi yang sedang berjalan.

Baca juga: Puluhan anak Marind tahun depan diberangkatkan kuliah ke LN

Salah seorang guru pendamping anak-anak pemulung serta penghisap lem aibon, Polikarpus Boli, mengaku setiap hari kegiatan belajar mengajar dilakukan sore hari bagi puluhan anak itu  di SD YPK Ermasu.

“Kegiatan belajar mengajar rutin dilaksanakan. Jumlah anak yang datang, tak menentu. Kadang belasan hingga puluhan orang,” ungkapnya.

“Saya juga selalu melakukan pendekatan dengan mendatangi rumah mereka. Sekaligus berkomunikasi bersama orang tuanya. Tujuannya agar mereka mendorong anaknya mengikuti proses pembelajaran selama beberapa jam,” kata Polikarpus. (*)

Editor: Dewi Wulandari

Related posts

Leave a Reply