Papua No. 1 News Portal | Jubi
Oleh Stephanie Copus-Campbell
Dalam penempatan pertama saya di Papua Nugini (PNG), ketika saya masih bekerja untuk salah satu program bantuan Pemerintah Australia, saya mengunjungi Rumah Sakit Daru di Provinsi Barat PNG.
Di sudut sunyi bangsal bersalin itu duduk seorang wanita dengan mata hitam lebam, tangannya patah, dan beberapa gigi ompong, ia duduk seraya menyusui bayinya yang berusia 12 bulan. Tangan anaknya di-gips dan ada luka besar di wajahnya yang mungil. Ibu itu bercerita kepada saya bahwa ia mendatangi bangsal tersebut, karena itu adalah satu-satunya tempat dimana ia merasa aman. Jika dia kembali ke rumahnya, ia berkata, suaminya akan membunuhnya dan bayinya juga akan diserang. Ia memohon bantuan saya. Saya mencoba melakukan semua hal yang saya bisa lakukan, tetapi tidak ada layanan lokal di Daru bagi wanita-wanita yang melarikan diri dari pasangannya mereka yang bengis.
Situasi ibu muda ini menghantui saya, dan meskipun saya tidak bisa melakukan apa pun untuk membantunya, saya ingin membantu orang lain. Saya dengan segera menemukan bahwa sangat sulit untuk berbicara mengenai isu sensitif seperti KDRT dan pelecehan seksual di PNG, padahal isu itu memengaruhi sebagian besar perempuan dan banyak laki-laki di negara ini. Pada saat itu, hanya ada beberapa organisasi masyarakat sipil yang menyediakan layanan bantuan, atau melakukan advokasi untuk menuntut perubahan.
Lompat ke era ini, hampir 20 tahun sejak perjumpaan itu, dan meskipun masih ada tantangan yang besar bagi mereka yang mengalami KDRT dan pelecehan seksual, beberapa hal telah membaik. Pembahasan isu ini sekarang sudah jauh lebih mudah. Dan yang penting lagi, percakapan itu, saat ini, bukan didorong oleh donor asing. Komisaris Polisi, Komandan Pasukan Pertahanan PNG (PNG Defence Force; PNGDF), Gubernur Daerah Ibu Kota Nasional National Capital District (NCD), pemimpin-pemimpin sektor swasta PNG, serta pemimpin dan tokoh masyarakat, dan banyak pihak lainnya, telah bangkit untuk berkata, ‘cukup sudah‘. Mereka menginginkan adanya perubahan yang nyata bagi keluarga dan komunitas mereka.
Aksi-aksi ini telah mendorong diresmikannya UU baru, dikembangkannya kebijakan-kebijakan khusus, dilaksanakannya pelatihan-pelatihan, dibentuknya layanan-layanan pendukung (meskipun masih belum sepenuhnya memadai), dan dimulainya upaya-upaya pencegahan dan advokasi yang lebih terkoordinasi. Sekali lagi, sekalipun banyak dari upaya ini didanai oleh donor eksternal, namun mereka dipimpin langsung oleh orang-orang Papua Nugini yang menginginkan perubahan. Kita bisa banyak belajar dari mereka, jika kita ingin memahami apa yang mendorong transformasi dalam tanggapan bangsa PNG, terhadap KDRT dan pelecehan seksual selama dua dekade terakhir.
Pertama-tama, perubahan ini terjadi karena upaya bersama oleh banyak mitra berbeda, semuanya memiliki alasan dan kepentingan sendiri untuk terlibat, namun berbagi tujuan yang sama.
Pemerintah PNG mengakui harus mengatasi isu kekerasan ini, untuk bisa memajukan pembangunan sosial dan ekonomi secara menyeluruh. Donor-donor memprioritaskan pemberdayaan perempuan dalam program-program bantuan mereka. Masyarakat sipil mendesak penyediaan layanan yang lebih baik bagi korban yang rentan. Baru-baru ini, sektor swasta juga telah bergabung sebagai mitra yang baru, mengakui besarnya biaya dan kerugian bagi usaha-usaha jika stafnya tidak muncul, atau tidak mampu melakukan tugas, di tempat kerja. Program-program, dilahirkan dari kerja sama sektor publik, swasta, dan masyarakat sipil, yang baru dan inovatif seperti Bel isi PNG (peaceful PNG) telah bermunculan, yang mengindikasikan bahwa perubahan, dengan memanfaatkan kepentingan bersama, bisa terjadi.
Perkembangan dan penguatan organisasi masyarakat sipil PNG juga sangat penting. Ketika saya mencari cara untuk membantu ibu muda di Daru itu, tidak ada organisasi setempat yang bisa membantunya. Saat ini, setidaknya di Port Moresby, ada beberapa Rumah Aman (safe houses) yang dikelola oleh masyarakat lokal, pusat-pusat case management, kelompok-kelompok advokasi, badan-badan bidang olahraga, dan organisasi-organisasi lainnya, yang juga mengambil peran penting dalam penanganan isu KDRT dan pelecehan seksual. Walaupun masih banyak hal yang perlu dikembangkan, termasuk kualitas dan koordinasi layanan dan peningkatan keterlibatan kaum laki-laki, sudah ada sedikit kemajuan yang terlihat.
Penting juga untuk diingat bahwa setiap bangsa di seluruh dunia, sedang didesak untuk menyelesaikan KDRT dan kekerasan terhadap perempuan secara khusus. Sebagian besar negara-negara ini, termasuk Australia dan Amerika (negara asal saya), masih menempuh perjalanan yang sama. Setiap negara harus melewati jalur yang serupa, termasuk upaya advokasi yang konsisten untuk mengubah sikap dan perilaku masyarakat, memastikan ada layanan memadai untuk mendukung korban ketika mereka perlu bantuan, menyusun kebijakan-kebijakan, dan mengubah hukum. Banyak negara yang masih mencari cara agar bisa bekerja sama dengan kaum laki-laki, dalam upaya-upaya untuk menciptakan perubahan yang nyata.
Ke depannya, perlu ada komitmen berkelanjutan dalam mendukung pekerjaan ormas sipil di PNG. Donor-donor telah memainkan peran yang penting, dalam membantu memulai organisasi-organisasi ini dan terus menyediakan pendanaan, dua hal ini sangat penting bagi pertumbuhan ormas sipil di PNG. Para negara donor harus meneruskan komitmennya dalam pendanaan jangka panjang, dan jangan berhenti sebelum organisasi itu bisa berjalan secara mandiri.
Penting juga bagi donor-donor untuk, bukan hanya mendanai biaya operasional, tetapi juga menemukan cara agar bisa mendukung dan membina Kemitraan Pemerintah Swasta (Public Private Partnership), meningkatkan pemasukan tiap organisasi, dan menerima pendanaan jangka panjang dari Pemerintah PNG. Ormas sipil lokal juga perlu dipandu dalam mekanisme tata kelola yang baik dan efektif, termasuk dalam aspek keuangan dan manajemen sumber daya manusia.
Bangkitnya masyarakat sipil di PNG adalah kisah sukses yang penting, dan merupakan faktor kunci dalam majunya pergerakan untuk menyelesaikan isu-isu KDRT dan pelecehan seksual, dan berbagai masalah sosial lainnya. Semua mitra dan pemangku kepentingan lainnya perlu terus bekerja bersama-sama, untuk memastikan kita membantu mengembangkan masyarakat sipil yang dinamis, agar kita bisa terus memberikan layanan yang lebih baik. (Development Policy Centre, Australian National University)
Stephanie Copus-Campbell adalah Direktur Utama yayasan Oil Search Foundation, mitra pembangunan di Papua Nugini yang bekerja di bidang kesehatan, kepemimpinan dan pendidikan, serta perlindungan dan pemberdayaan perempuan.