Papua No. 1 News Portal | Jubi
Pemuda Katolik Komisariat Daerah (Komda) Papua menolak kebijakan Dinas Pendidikan Kabupaten Mimika menarik guru-guru PNS dari sekolah-sekolah swasta.
Ketua Pemuda Katolik Komda Papua, Alfonsa J. Wayap, kepada Jubi di Jayapura, Kamis (25/7/2019), mengatakan orang Papua berhak mendapat pendidikan yang layak, bukan malah dibatasi.
Papua memiliki kewenangan khusus, sebagaimana Otonomi Khusus (Otsus) yang merujuk pada Undang-Undang Otsus Bab XVI, pasal 56 ayat (1).
Dia juga menyatakan bahwa tonggak sejarah peradaban pendidikan di Papua dimulai dari sekolah swasta, baik YPPK (Yayasan Pendidikan dan Persekolahan Katolik), YPK (Yayasan Pendidikan Kristen), Yayasan Pendidikan Persekolahan Gereja-Gereja Injili (YPPGI), maupun Advent.
“Jangan biarkan generasi bangsa tertinggal hanya karena kebijakan yang tidak melihat kebutuhan dasar pendidikan hari ini di Papua,” kata Wayap.
Dia mengaku sering menulis tentang masalah pendidikan di daerah pedalaman Papua. Persoalan yang ditemui adalah kekurangan guru, baik sekolah swasta maupun negeri.
“Banyak ditemui, ada gedung sekolah dan murid. Guru tidak ada. Hari ini, Papua mengalami krisis tenaga guru,” ujarnya.
Juni 2019, saat di Asmat, Kampung Basim Distrik Fayit, ditemui masalah yang sama. Katanya, guru-guru dan fasilitas penunjang pendidikan masih minim.
Dari pengamatan Wayap, antara kebutuhan guru dan penunjang sekolah, bak panggang jauh dari api. Persoalan ini juga hampir pasti dialami sekolah-sekolah lainnya di Kabupaten Mimika.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS 2018), tahun 2017 terdapat 4.190 guru di Mimika, dengan perincian 2.399 guru SD, 853 guru SMP, 373 guru SMA, dan 564 guru SMK.
Ribuan guru itu tersebar di 128 SD, 53 SMP, dan 18 SMA/SMK.
Adapun murid sekitar 34.069 murid SD, 10.460 murid SMP, 3.520 murid SMA dan 4.153 murid SMK.
Wayap berpandangan bahwa kekurangan tenaga pendidik menjadi persoalan utama, yang menghambat proses pendidikan di Papua. Akibatnya, sebagian besar anak-anak tidak bisa membaca, menulis, dan menghitung (calistung).
“Bisa dibayangkan, jumlah angka buta huruf terus bertambah,” ujar Alfonsa Wayap.
Beberapa waktu lalu, Kepala Dinas Pendidikan Mimika, Jeni O. Usmani, mengeluarkan pernyataan yang mengagetkan sejumlah pihak. Pernyataan yang dikutip media massa itu menyebutkan bahwa guru-guru PNS (ASN) yang mengajar di sekolah-sekolah swasta akan ditarik. Mereka harus mengajar di sekolah-sekolah negeri karena mereka digaji oleh negara.
Tanggapan beragam kemudian bermunculan, tidak hanya di media sosial, tetapi juga di media massa.
Uskup Timika Mgr. John Philip Saklil, misalnya, mengatakan bahwa dampak penarikan guru PNS adalah sekolah-sekolah swasta bakal ditutup karena ketiadaan guru.
Dilaporkan Seputar Papua, Yayasan Pendidikan dan Persekolahan Katolik (YPPK), yang berkiprah sejak tahun 1927, memiliki 15 ribuan siswa di 80-an sekolah. Sebanyak 88 guru di antaranya adalah guru PNS.
Dalam rekaman suara yang beredar dan sampai kepada Jubi, Uskup Saklil mengatakan Gereja Katolik memiliki sekitar 50 sekolah swasta dan juga dari gereja Protestan, serta gereja-gereja lain. Jumlah sekolah-sekolah swasta ini lebih banyak dari sekolah negeri.
Menurut dia, Gereja setuju menarik guru PNS dari sekolah swasta, sejauh negara siap bertanggung jawab atas pendidikan bagi anak-anak bangsa.
Kalau kebijakan Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Mimika adalah kebijakan pribadi, maka sepantasnya digugat, sebab telah dengan tahu dan sengaja merongrong wibawa negara dan membodohi generasi bangsa.
Selama ini lembaga agama (yayasan) ikut bertanggung jawab dalam memajukan pendidikan di Tanah Papua, terutama di daerah-daerah pedalaman.
Alfonsa Wayap menyarankan agar Dinas Pendidikan Mimika membuat kajian alasan banyak guru tidak betah mengajar, bukan malah menarik guru-guru PNS dan harus mengajar di sekolah negeri.
Dinas Pendidikan Mimika juga disarankan mengkaji fasilitas pendidikan, mengatasi anak-anak putus sekolah, dan anak-anak yang tidak tahu calistung. Dinas Pendidikan Mimika juga harus menyelenggarakan pendidikan, yang sesuai dengan budaya dan lingkungan di Tanah Papua. (*)
Editor: Kristanto Galuwo