Papua No. 1 News Portal | Jubi
Jayapura, Jubi – Forum Masyarakat, Intelektual, dan Aparatur Sipil Negara (Rormia) Kabupaten Puncak meminta Pemkab Puncak, Provinsi Papua untuk transparan dalam pengelolaan anggaran awal penanganan Covid-19 dari APBD kabupaten tersebut.
Penanganan Covid-19 dianggarkan melalui APBD Kabupaten Puncak sebesar Rp1,5 miliar, anggaran baru dari pemangkasan pos APBD sebesar Rp167 miliar, dan dana kampung Rp2 miliar.
Pernyataan tersebut disampaikan Ketua Rormia Simson Dan Mom ketika dihubungi Jubi, Selasa ((26/5/2020).
Menurut Simson, Tim Satgas Gugus Covid-19 darurat pertama di Kabupaten Puncak, Papua dibentuk pada Februari 2020 dengan ketua Sekda Kabupaten Puncak.
Anggaran pertama untuk tim sebesar Rp1,5 Miliar. Anggaran untuk pembelian masker, sabun antiseptik, galon air untuk cuci tangan, dan kegiatan sosialisasi.
“Namun kenyataannya banyak ASN, masyarakat, dan pejabat anak asli Puncak tidak dibagikan masker, sabun antiseptik untuk cuci tangan di rumah-rumah dinas dan gereja, namun untuk tempat ASN non-Papua diberikan, dan untuk anak asli mungkin hanya dilakukan di rumah Wakil Bupati Puncak,” katanya.
Menurut Simon, dari dana Rp1,5 Miliar yang dianggarkan, tidak ada transparansi pengunaan anggaran.
“Kami tidak tahu pemerintah belanja apa saja, karena sosialisasi tentang Covid-19 saja pemerintah tidak lakukan, hanya mereka lakukan satu kali saja di pasar, lalu bagi-bagi masker, foto-foto, selesai langsung bubar,” katanya.
Meski begitu, Simson mengaku tidak terlalu mempersoalkan karena menganggap dana Rp1,5 miliar tersebut minim. Sebab jumlah masyarakat banyak dan kasus Covid-19 di Tanah Papua terus meningkat.
Kemudian status tanggap darurat naik dan bupati menjadi ketua Tim Gugus Covid-19. Bupati diberi kewenangan memangkas APBD dalam waktu dua minggu untuk anggaran Covid-19.
“Kami tidak tahu nilai yang dipangkas, saya sebagai Kabag Organisasi dan Tata Laksana Sekretariat Daerah pun tidak tahu, demikian juga dengan teman-teman OPD (Organisasi Perangkat Daerah) lain, ASN, apalagi masyarakat,” katanya.
Sejauh ini pihaknya juga tidak mengetahui jumlah pemangkasan APBD yang dikucurkan pemerintah untuk menangani Covid-19.
“Karena ketidakterbukaan itu kami melakukan aksi spontanitas pada 15 Mei 2020 dengan menghalangi pembagian beras oleh Pemkab Puncak,” ujarnya.
Saat aksi itulah Simson mengaku baru tahu jumlah anggatan hasil pemangkasan APBD tersebut Rp167 miliar lebih, ditambah Rp2 miliar dari dana kampung.
“Ini diutarakan langsung oleh kepala keuangan Pemkab Puncak,” katanya.
Karena tidak transparan, katanya, delapan perwakilan kepala distrik dari wilayah satu yang akan menerima beras spontan bersama menolak pembagian bantuan bahan makanan tersebut.
“Dana Rp167 miliar yang dialokasikan untuk Tim Gugus Covid-19 dan Dinas Kesehatan belum jelas sampai hari ini pengalokasiannya seperti apa,” ujarnya.
Anggota DPRD Kabupaten Puncak Stefanya Murib membenarkan tidak transparannya Pemkab Puncak soal anggaran Covid-19.
“DPRD pernah menyurati pemerintah (Bupati) dan Tim Satgas Gugus Covid-19 dua kali untuk rapat membahas proses pengalokasian anggaran pemangkasan Covid-19, namun mereka tidak pernah hadir,” katanya.
Ia mengatakan, lembaga legislatif Puncak juga tidak tahu anggaran digunakan untuk apa saja, karena selama ini DPRD tidak pernah dilibatkan dalam pembahasan anggaran Covid-19 dan bagaimana pengalokasiannya.
“Aksi di lapangan lalu itu DPRD dukung, karena kami ingin transparansi anggaran yang digunakan, DPRD saja tidak diberitahu tentang jumlah pemangkasan APBD dan anggaran ini hanya diketahui bupati sendiri bersama OPD terkait, serta tim Satgas Covid-19,” katanya.
Selama ini, tambahnya, lembaga DPRD Puncak hanya menjadi penonton selama masa penanganan Covid-19.
“Seolah-olah kami tidak dianggap bagian dari PemerintahaKabupaten Puncak, sejauh ini tidak ada pertemuan resmi soal penanganan Covid-19 dengan bupati, Tim Gugus Satgas Covid-19 dengan DPRD,” ujarnya. (*)
Editor: Syofiardi