Papua No. 1 News Portal | Jubi
Nukunonu, Jubi – Seorang pemimpin Tokelau telah menyusun rancangan referendum untuk wilayah itu agar merdeka dari Selandia Baru, yang rencananya akan diadakan pada 2025.
Proposal itu masih harus dibahas oleh Parlemen Tokelau, tetapi itu merupakan langkah yang paling signifikan menuju penentuan nasib sendiri dalam lebih dari satu dekade terakhir di wilayah tersebut, yang telah diatur oleh Selandia Baru sejak 1925.
“Kita perlu berubah,” kata Kelihiano Kalolo, seorang faipule atau pemimpin dari Atol Atafu, menambahkan bahwa referendum itu dapat dilaksanakan bertepatan dengan peringatan 100 tahun pemerintahan Selandia Baru. “Menurut saya waktunya sudah tiba.”
Usulan Kalolo sendiri terdiri dari tiga opsi untuk referendum: kedaulatan, memiliki pemerintah sendiri namun dengan pengaturan asosiasi bebas, dan integrasi dengan Selandia Baru.
Sementara detailnya masih dirembukkan, pengaturan yang diajukan untuk opsi kedua kemungkinan besar akan mirip, tetapi tidak sama persis, dengan hubungan Niue dan Kepulauan Cook dengan Selandia baru. Opsi ketiga berarti status Tokelau akan sama dengan Pulau Waiheke.
Tokelau, yang memiliki populasi sekitar 1.500 orang tersebar di tiga atol, telah mengadakan dua referendum untuk membentuk pemerintah sendiri dalam asosiasi bebas dengan Selandia baru pada 2006 dan 2007. Selang kedua referendum, orang-orang Tokelau memilih dengan tipis untuk mempertahankan status quo. Tidak seperti referendum-referendum sebelumnya, tetap berlanjut sebagai wilayah yang bergantung pada Selandia Baru bukan lagi pilihan dalam referendum yang diajukan.
Para pakar berkata bahwa kemungkinan besar Kalolo bisa mendapatkan dukungan yang besar atas usulan referendumnya, ketika ia mengajukannya dalam pertemuan General Fono, atau Parlemen Tokelau, yang berikutnya. Tanggal sidang parlemen berikutnya belum ditetapkan akibat Covid-19.
Sebagai seorang veteran dalam dunia politik Tokelau, Kalolo telah berhasil menghindari pertentangan antara dewan desa dari ketiga atol.
“Ia memiliki reputasi yang baik karena bersikap adil dan rasional,” kata Judith Huntsman, seorang ahli sejarah yang telah menulis beberapa buku tentang Tokelau.
Namun, tidak semua orang menyetujui proposalnya itu.
Seorang pemimpin komunitas Tokelau di Wellington, Luther Toloa, berkata dia prihatin jika pemimpin-pemimpin di Tokelau tidak mempertimbangkan nasib orang-orang Tokelau di Selandia Baru dan Australia saat mengambil keputusan mereka. Komunitas Tokelau yang merantau jumlahnya beberapa kali lebih banyak dari populasi wilayah itu.
“Setidaknya kita masih memiliki hak untuk memberikan suara atau hak untuk didengarkan,” tegas Toloa. ”Kita juga warga negara Tokelau, kita masih memiliki kepentingan termasuk tanah di Tokelau.”
Kedaulatan dalam bentuk apa pun bagi Tokelau akan membawa konsekuensi yang sangat besar.
Selandia Baru memberikan bantuan jutaan dolar setiap tahun dan, tidak seperti Niue dan Kepulauan Cook, Tokelau tidak memiliki industri pariwisata yang resmi, wilayah itu mengandalkan pendapatan dari lisensi penangkapan ikan di ZEE mereka.
Perwakilan pemerintah Selandia Baru di Tokelau, Ross Ardern, menolak untuk diwawancarai.
Seorang juru bicara Kementerian Luar Negeri dan Perdagangan berkata Selandia Baru mendukung perjuangan Tokelau. “Semua keputusan tentang apakah akan ada dan kapan diadakan referendum kemerdekaan, itu adalah pertanyaan yang akan diputuskan oleh Tokelau.” (RNZI)
Editor: Kristianto Galuwo