Papua No. 1 News Portal | Jubi
Suva, Jubi – Seorang pemimpin militer Fiji menyampaikan bahwa keputusan pemerintah untuk ‘membungkam kritik’ terhadap kebijakan pemerintah terkait kebebasan pers selama wabah Covid-19 itu masuk akal, hal itu menyebabkan berbagai peringatan bahwa pemimpin-pemimpin Pasifik tidak boleh menggunakan krisis virus corona sebagai alasan untuk membatasi kebebasan pers.
Komentar-komentar seperti itu telah dikecam oleh pegiat kebebasan pers karena perilaku itu dianggap adalah hak prerogatif kediktatoran militer.
Dalam satu tulisannya yang diterbitkan di Fiji Sun pekan lalu, Jone Kalouniwai, seorang Brigadir Jenderal Angkatan Militer Republik Fiji (RFMF), membela pandangan bahwa Covid-19 adalah alasan yang pantas untuk merampas hak media dalam mempertanyakan keputusan dan kebijakan.
“Dalam masa-masa darurat nasional seperti ini, pemimpin-pemimpin kita memiliki alasan yang baik untuk membungkam berbagai kritik terhadap kebijakan mereka, dengan membatasi kebebasan berbicara dan kebebasan pers,” tulis Kalouniwai, ia melanjutkan bahwa perang melawan Covid-19, “kemungkinan besar akan menyebabkan pelanggaran hak-hak individu dan supremasi hukum yang merupakan inti dari setiap masyarakat yang liberal.”
Sudah ada 18 kasus positif virus Corona di Fiji dan pemerintah telah bertindak dengan sigap untuk mencegah penyebaran Covid-19, menerapkan karantina wilayah dan jam malam, serta melakukan penelusuran kontak atau contact-tracing.
“Tidak ada alasan sama sekali untuk menggunakan Covid-19 sebagai alasan untuk membungkam kritik oleh media terhadap pemerintah,” kata Daniel Bastard, kepala Desk Asia-Pasifik Reporter Lintas Batas, Reporters Without Borders (RSF).
“Ini sangat meresahkan,” tegas Bastard, menanggapi tulisan tersebut. “Ini merupakan pengingat yang merisaukan dan mengkhawatirkan tentang cara pemerintah memperlakukan pers selama pascakudeta 2006 di Fiji.
Artikel itu juga dikecam oleh MP oposisi, Biman Prasad, pemimpin Partai Federasi Nasional, yang menegaskan bahwa “tidak ada seorang pun, baik pemerintah, RFMF, maupun polisi, yang memiliki alasan apa pun untuk merampas hak-hak dasar dan kebebasan, atau menginjak-injak hak-hak warganya.”
Keprihatinan yang sama juga diungkapkan tentang Vanuatu, dimana pemerintah juga menetapkan bahwa semua outlet media yang menerbitkan laporan tentang virus corona tanpa persetujuan dari otoritas pemerintah itu melanggar hukum, dengan alasan pentingnya mencegah penyebaran informasi yang salah tentang penyakit tersebut.
“Putusan pemerintah Vanuatu yang Orwellian sama saja dengan penyensoran,” kata Bastard.
Dr. Shailendra Singh, kepala Program Studi Jurnalisme di Universitas Pasifik Selatan, juga menekankan pentingnya pemerintah tidak campur tangan melalui cara-cara yang menyebabkan media kehilangan kebebasannya dan hanya menjadi perpanjangan tangan pemerintah. (The Guardian)
Editor: Kristianto Galuwo