Pemilu Vanuatu, virus corona, dan program ‘penjualan paspor’

Akan ada 52 anggota parlemen (MP) yang dipilih untuk duduk di Parlemen Vanuatu. -The Guardian/ Dan McGarry

Papua No. 1 News Portal | Jubi

Oleh Tess Newton Cain

Read More

Di kedai-kedai kopi dan bar kava di ibu kota Vanuatu, di Port Vila, ada dua topik yang ramai dibahas: Covid-19 dan pemilu nasional minggu ini, yang akan diselenggarakan pada Kamis (19/3/2020).

Apa yang terjadi?

Vanuatu, negara di Pasifik selatan yang hanya berjarak penerbangan tiga jam dari Australia, berpopulasi hanya sedikit di bawah 300.000 jiwa. Bangsa ini sering dianggap sebagai negara yang tidak stabil secara politik, dimana aliansi politik bisa bergeser kapan saja, kelihatannya lebih berdasarkan pada kemaslahatan dan bukan ideologi politik.

Pada 2015, 14 anggota parlemen, termasuk pejabat pelaksana tugas perdana menteri saat itu, ditemukan bersalah atas perkara korupsi, putusan itu menjebloskan sekelompok besar anggota parlemen dari partai yang berkuasa di balik jeruji besi. Pemilihan umum terakhir diadakan pada Januari 2016, dan sejak saat itu hanya ada satu perdana menteri, Charlot Salwai.

Pemilu 2020 ini terjadi pada waktu yang penting bagi Vanuatu. Tahun ini Vanuatu akan merayakan peringatan kemerdekaannya yang ke-40 tahun dari kekuasaan bersama Prancis dan Inggris. Negara ini juga dijadwalkan untuk menjadi tuan rumah pertemuan pemimpin-pemimpin Forum Kepulauan Pasifik (PIF) berikutnya – pertemuan diplomatik regional Pasifik paling penting – pada Agustus, dan dijadwalkan untuk lulus dari daftar negara ‘Least Developed Country’ pada akhir 2020.

Siapa saja yang mencalonkan diri?

Dari kelompok yang terdiri dari hampir 240 calon legislator, orang-orang Vanuatu akan memilih 52 anggota parlemen MP untuk masuk parlemen. Perdana menteri lalu akan dipilih oleh seluruh anggota parlemen ketika ia mulai sidang tahun ini.

Politik Vanuatu itu berantakan dan rumit. Setelah pemilu 2016, ada 17 partai politik yang diwakili di parlemen nasional, tetapi tidak satu pun dari parpol itu yang memenangkan lebih dari enam kursi. Pemerintah koalisi telah menjadi bagian tetap dari panggung politik Vanuatu untuk beberapa saat, dan kekhasan itu diharapkan akan berlanjut ke tahun ini.

Sementara partai-partai yang sudah lama ada, seperti parpol Vanua’aku Pati (VP) dan United Moderates Party (UMP), sudah pasti akan masuk ke parlemen baru, penggabungan yang lebih baru, seperti kelompok Reunification Movement for Change (RMC) dimana PM Carlot Salwai merupakan anggota, dan Leaders Party of Vanuatu, yang dipimpin oleh mantan wakil perdana menteri, Jotham Napat, semuanya ini diharapkan akan kembali dengan kuat.

Profil kandidat-kandidat politik di Vanuatu juga telah banyak berubah dari tahun ke tahun. Dulunya, pada 1980, ketika Pastor Walter Lini diangkat menjadi perdana menteri Vanuatu yang pertama, kepemimpinan politik negara itu sebagian besar terdiri dari pendeta-pendeta dan anggota senior dari gereja-gereja.

Sekarang, Parlemen Vanuatu semakin mengarah ke kumpulan teknokrat. Pada pemilu ini, sejumlah besar mantan pegawai publik telah mengumumkan pencalonan diri mereka, begitu juga dengan sejumlah kandidat dari sektor swasta.

Belum ada perempuan yang terpilih sebagai anggota parlemen sejak 2008, dan Vanuatu adalah satu dari tiga negara di dunia yang tidak memiliki satupun keterwakilan perempuan di parlemennya (dua negara lainnya – Papua Nugini dan Federasi Mikronesia – juga berlokasi di Pasifik). Tahun ini sekitar 15 perempuan yang ikut mencalonkan diri, termasuk pegiat kampanye HAM terkenal dan mantan perawat, Anne Pakoa.

Isu-isu penting

Di Vanuatu, partai-partai politik cenderung beraliansi karena kepentingan pribadi atau keluarga dan ikatan kekerabatan, bukan karena kesamaan dalam ideologi politik. Tidak ada kesenjangan seperti antara sayap kiri/ sayap kanan atau progresif/ konservatif, dan platform kebijakan berbagai parpol seringkali terlihat sangat mirip.

Isu yang masih diperdebatkan dalam pemilu tahun ini adalah masa depan program kewarganegaraan Vanuatu melalui investasi yang menguntungkan tetapi kontroversial, program yang sering disebut program ‘penjualan paspor’. Program ini telah memungkinkan pelamar WNA untuk menjadi warga negara Vanuatu dalam hitungan beberapa bulan, tanpa menginjakkan kaki di negara itu, dengan harga sekitar AS $150.000.

Surat kabar Vanuatu Daily Post menemukan bahwa pada 2018 saja, 1.800 paspor telah diterbitkan melalui pengaturan tersebut, menjadikan program penjualan paspor satu-satunya sumber pendapatan terbesar bagi pemerintah Vanuatu.

Tetapi jauh dari kebisingan kota, masyarakat cenderung memilih caleg yang menurut mereka akan bisa membantu memenuhi kebutuhan mendesak mereka, kata Linda Kenni, seorang konsultan di Vanuatu yang bekerja di daerah-daerah terpencil negara itu.

“Sebagian dari masyarakat akan memilih karena partai … Sebagian lagi akan memilih karena barang-berupa barang materi. Mereka ingin memilih orang-orang yang akan mengingat mereka ketika menang dengan barang-barang seperti makanan, lampu tenaga surya, dan panci,” tukas Kenni.

Panik akibat virus corona

Dalam pemilu terakhir, jumlah pemilih yang berpartisipasi hanya 57%, dan ada kekhawatiran sekarang bahwa akibat rasa panik masyarakat terhadap Covid-19, meskipun sejauh ini tidak ada kasus Covid-19 yang dikonfirmasikan di Vanuatu, adalah halangan tambahan yang harus diatasi masyarakat saat memilih.

Direktur Jenderal Kementerian Dalam Negeri telah mendesak orang-orang untuk memilih dan menegaskan bahwa di setiap tempat pemungutan suara akan disediakan pembersih tangan sebagai upaya kantor pemilu untuk memberikan rasa aman kepada orang-orang yang mungkin akan menjauhkan diri dari TPS.

Setelah pemilu selesai, kemungkinan besar diperlukan beberapa minggu sebelum ada kepastian tentang seperti apa kepemimpinan Vanuatu.

Siapapun yang mengambil alih kendali kepemimpinan akan menghadapi sejumlah tantangan yang perlu diselesaikan, termasuk berurusan dengan dampak langsung dan jangka panjang dari virus corona yang baru, virus yang memicu rasa panik di seluruh wilayah Pasifik, menentukan apakah acara-acara penting seperti perayaan kemerdekaan dan pertemuan pemimpin-pemimpin Forum Kepulauan Pasifik (PIF) bisa dilanjutkan, dan tentu saja, masa depan bangsa Vanuatu. (The Guardian)

Editor: Kristianto Galuwo

Related posts

Leave a Reply