Papua No.1 News Portal | Jubi
Pemilihan umum nasional Samoa 2021 akan dilaksanakan dalam 70 hari, namun saat ini negara itu sudah tenggelam dalam berbagai atribut kampanye dari berbagai warna.
Ada lonjakan aktivitas kampanye dari partai-partai politik serta caleg yang menggunakan media sosial dan media arus utama serta roadshow yang berbasis pada desa-desa dalam beberapa minggu terakhir, untuk menemani pesan-pesan politik yang sudah biasanya dicetak di poster dan baliho mengkilap yang dipasang di berbagai daerah di Samoa.
Setelah mengadakan serangkaian pemilihan umum sejak kemerdekaan Samoa sejak tahun 1962, mungkin kita sudah terbiasa dengan retorika politik yang terjadi setiap lima tahun sehingga proses demokrasi ini sekarang lebih monoton.
Tetapi kemudian kita lupa bahwa ada jutaan orang di seluruh dunia yang memimpikan demokrasi dan pilar dasarnya, yaitu pemilu yang bebas dan adil.
Oleh karena ini, setiap pemilihan umum seharusnya menjadi perayaan atas demokrasi kita, karena itu adalah kesempatan untuk mempertanyakan kinerja pemerintah dalam lima tahun terakhir, dan bertanya apakah mereka layak untuk kembali diberikan mandat selama lima tahun berikutnya.
Tetapi beberapa perkembangan dalam seminggu terakhir mengancam ketenangan dari proses demokrasi kita yang kita inginkan sebagai warga negara yang baik dan patuh hukum, sementara kita menghitung mundur ke hari pemilu pada 9 April 2021.
Minggu dini hari, sebuah papan reklame parpol Fa’atuatua i le Atua Samoa ua Tasi (FAST) dirusak di Vaiusu. Menurut Anggota Parlemen (MP) independen, Faumuina Wayne Fong, satu galon cat telah disemburkan ke kedua ujung papan reklame yang menunjukkan gambar caleg partai itu dari dapil Upolu dan Savai’i. Sebuah pengaduan resmi telah diajukan ke kepolisian Samoa, sementara MP dari Urban West itu juga mengimbau para pelaku untuk tidak melakukan tindakan-tindakan seperti itu.
“Perilaku vandalisme ini tidak seharusnya dilakukan, saya sangat kecewa dengan ini,” tegasnya kepada surat kabar ini. “Ini sangat tidak berguna, jika kalian mendukung kandidat lain, lakukan apa yang harus kalian lakukan untuk mendukung mereka, tetapi kalian tidak boleh keluar dan melakukan hal-hal semacam ini, terutama pada hari Minggu pagi.”
Sehari kemudian kita membaca bahwa FAST telah melepas papan reklame yang didirikan di depan rumah seorang pendeta gereja di Paia Savai’i untuk menghindari munculnya permasalahan di desa itu dengan sejumlah pendukung partai politik saingannya.
Pemimpin partai FAST, La’aulialemalietoa Leuatea Schmidt, membenarkan insiden tersebut dan mengatakan partai tersebut harus mengambil tindakan itu untuk ‘menjaga perdamaian’.
Tetapi itu bukan satu-satunya masalah yang dihadapi partai politik terbaru Samoa itu. Seperti yang lalu dibenarkan oleh tetua Matai (Tuua) dari Satapuala Vaili Mimita dalam sebuah wawancara dengan surat kabar ini, ada satu surat yang melarang FAST dan partai-partai politik lainnya untuk menempelkan bahan-bahan kampanye karena desa itu telah mendukung Partai Perlindungan HAM (Human Rights Protection Party/ HRPP) yang berkuasa dan ingin menghindari konflik di antara penduduknya.
“Dan lebih dari itu, surat tersebut juga ditandatangani oleh Kepala Suku Tertinggi, Toalepaialii Toivao,” kata Vaili. “Seperti yang tertulis di surat tersebut, Desa Satapuala mendukung pemerintah Partai Perlindungan HAM dan mereka tidak menerima FAST atau partai politik lainnya di Satapuala; untuk menghindari friksi internal di antara penduduk Desa Satapuala, dan memastikan bahwa perdamaian tetap terjaga.”
Vaili kemudian mengakui tidak ada satupun pendukung HRPP di Desa Satapuala, sebelum menegaskan kembali bahwa larangan tersebut dikeluarkan untuk menjaga situasi tetap tenang.
“Kami tahu ada caleg FAST dan pendukungnya di desa ini dan kami tidak akan melanggar hak-hak mereka, tetapi alasan utama mengapa kami memilih untuk tidak mengizinkan partai politik lain adalah untuk memastikan tidak ada friksi antar warga desa kami.”
Pimpinan Dewan Desa Satapuala patut dipuji karena menjaga perdamaian dan ketertiban, tetapi hal keputusan ini sudah pasti mengorbankan pemilih yang sudah memenuhi syarat untuk tidak menunjukkan dukungan pada partai lainya. Jadi, apakah ini akan menjadi normalnya, dimana dalam setiap pemilu para pendukung partai yang berkuasa bisa saja membuat seruan sepihak tentang apakah partai saingan dapat atau tidak dapat berkampanye di desa mereka? Ada banyak hal yang telah dibahas selama 10 bulan terakhir, dalam perdebatan antara pendukung hak-hak dewan desa versus individu, termasuk ketika RUU LTC yang kontroversial melalui proses legislatif Samoa sebelum disahkan.
Begitu pula dengan keputusan Dewan Desa Satapuala untuk melarang partai politik oposisi pemerintah, apakah ini merupakan manifestasi dari keprihatinan yang diungkapkan pihak-pihak seperti Samoa Law Society tahun lalu tentang bagaimana UU LTC akan secara bertahap menghilangkan hak-hak individu?
Dan apakah keputusan Dewan Desa Satapuala ini melanggar Pasal 13 Konstitusi Samoa tentang kebebasan berbicara, berkumpul, berserikat, bergerak, berpindah dan bertempat tinggal?
Ini sangat meresahkan, bahwa dalam 59 tahun sejarah Samoa sebagai bangsa yang berdaulat, perbedaan pendapat (dalam hal manifesto partai politik) dan afiliasi politik (menjadi pendukung atau anggota partai saingan) mendadak muncul sebagai permasalahan pada pemilu kali ini, dan ini terbukti menyebabkan perpecahan, dan dengan demikian mendorong masyarakat semakin dekat pada konflik.
Perlu diketahui bahwa pada hakikat semua hak politik warga negara Samoa, meski sudah dinyatakan dalam Konstitusi, lalu dirincikan lagi pada 2008, ketika pemerintah Samoa meratifikasi Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil Dan Politik.
Kita juga tahu akan desakan Perdana Menteri Samoa, Tuilaepa Dr. Sa’ilele Malielegaoi, dua minggu lalu kepada pendukung partainya yang setia agar menghadiri di roadshow partai FAST dan menantang ‘cuci otak’ yang dilakukan caleg dari partai saingan.
Para pemimpin politik Samoa harus bertanggung jawab dan mengimbau para pendukung mereka untuk menerima toleransi dan pandangan dan ekspresi politik yang berbeda. Jika mereka gagal untuk mengambil tindak tegas, berarti para pemimpin juga sama-sama bersalah atas tindakan apapun yang diambil pendukung mereka yang bertentangan dengan hukum negara. (Samoa Observer)
Editorial Samoa Observer
Editor: Kristianto Galuwo