Pemilik ulayat palang kantor PT Plasma Nutfa Marind Papua

Masyarakat Kampung Boepe memalang kantor PT Plasma Nutfa Marind Papua – Jubi/Frans L Kobun
Masyarakat Kampung Boepe memalang kantor PT Plasma Nutfa Marind Papua – Jubi/Frans L Kobun

Papua No. 1 News Portal | Jubi

Perusahaan dinilai berbelit-belit dan tidak berniat baik melakukan pembayaran. Warga warga pun sepakat memalang kantor.

Read More

Pertemuan  di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Merauke antara puluhan masyarakat dari Kampung Boepe, Distrik Kaptel yang dihadiri beberapa pejabat pemerintah setempat serta perwakilan PT Plasma Nutfa Marind-Papua telah menghasilkan suatu kesepakatan.

Kesepakatannya adalah melakukan revisi beberapa poin dalam Memorandum of Understanding (MoU) yang dibuat perusahaan bersama masyarakat pemilik ulayat.

Dalam pertemuan itu juga disepakati agar puluhan orang yang sudah berbulan-bulan tinggal di kota dipulangkan perusahan ke Kampung Boepe sambil merevisi MoU dengan batas waktu kurang lebih dua minggu.

Namun bukan itu yang diinginkan dan diharapkan masyarakat Boepe. Mereka justru berharap perusahaan membayar utang kepada ketua adat dan ketua marga terlebih dahulu karena sudah menunggak hingga satu bulan.

Sesuai kesepakatan, ketua marga dibayar Rp1,5 juta per bulan dan ketua adat Rp1 juta per bulan. Karena menurut mereka perusahaan tidak menunjukan iktikad baik untuk membayar akhirnya masyarakat mengambil keputusan melakukan pemalangan Kantor PT Nutfa Marind Papua yang beralamat di Jalan Raya Mandala-Merauke.

Aksi pemalangan itu dengan memasang sasi di pintu masuk. Tujuannya meminta perusahaan membayar utang honor para ketua adat maupun ketua marga yang nilainya lebih Rp200 juta.

Juru bicara masyarakat dari Kampung Boepe, Robert Amos Ndiken, mengatakan kesepakatan di lembaga DPRD Merauke untuk dilakukan revisi MoU tidak dipersoalkan masyarakat pemilik ulayat.

Namun paling utama yang mereka inginkan adalah saat pertemuan, perusahaan membayar honor para ketua marga dan ketua-ketua adat. Karena itu menjadi tuntutan utama.

“Memang sudah beberapa bulan puluhan masyarakat dari Kampung Boepe berada di kota memperjuangkan apa yang menjadi haknya, tetapi sepertinya tidak diresponi baik oleh PT Nutfa Marind-Papua,” katanya.

Sebagai ungkapan kekecewaan masyarakat memutuskan melakukan pemalangan kantor sekaligus melarang aktivitas perusahaan mengelola HTI di Kampung Boepe.

Masyarakat, lanjut dia, sudah berulang kali berjuang agar perusahaan menyelesaikan pembayaran yang telah disepakati secara tertulis ketika mulai beroperasi beberapa tahun silam.

“Kami melihat pihak perusahaan selalu berkelit dan tidak ada niat baik melakukan pembayaran sehingga disepakati melakukan pemalangan kantor dengan memasang sasi, itu artinya segala aktivitas, baik di kantor perusahaan maupun di lokasi tidak boleh berjalan terlebih dahulu,” ujarnya.

Menurutnya, masyarakat sudah terlalu baik selama ini. Mereka tidak melakukan hal-hal yang mengganggu aktivitas perusahan di Boepe. Namun ketika yang diminta tak direspons pemalangan kantor menjadi solusi paling tepat.

Ia mengatakan pihaknya telah siap dengan segala resiko. Jikla polisi datang ke lokasi pemalangan perlu dibicarakan dulu. Tidak serta merta langsung membuka palang begitu saja.

“Kami mempunyai aturan adat di mana kalau belum ada pembayaran oleh perusahaan, sasi tak boleh dicabut,” ujarnya.

Puluhan warga Kampung Boepe menghadiri pertemuan di DPRD Merauke – Jubi/Frans L Kobun

Ketua DPRD Merauke, Benjamin Latumahina, mengatakan dalam pertemuan sempat terjadi ketegangan antara masyarakat dengan pihak perusahaan, karena masyarakat menginginkan honor ketua adat dan ketua marga harus diselesaikan.

“Saya memahami apa yang menjadi keinginan dan harapan masyarakat, namun ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, termasuk revisi terhadap sejumlah poin dalam MoU antara perusahaan dengan pemilik ulayat,” katanya.

Dalam pertemuan itu telah ada kesepakatan bersama, d mana Pemerintah Kabupaten Merauke bersama perusahaan serta utusan masyarakat adat melakukan perbaikan kembali isi MoU.

“Itu disepakati bersama dan DPRD Merauke memberikan batas waktu hingga dua minggu ke depan di mana sejumlah poin perlu direvisi kembali sehingga apa yang menjadi hak masyarakat segera mungkin diselesaikan perusahaan,” ujarnya.

Wakil Ketua DPRD Merauke, Dominikus Ulukyanan, menambahkan pihaknya mengambil langkah mempertemukan semua pihak, termasuk perusahaan di ruangan rapat dewan karena adanya surat MoU yang dibuat dan disepakati.

Dalam salah satu poin surat tersebut tercantum pembayaran honor para ketua marga maupun ketua adat setiap bulan, masing-masing Rp1,5 juta untuk ketua marga dan Rp1 juta untuk ketua adat.

Dari pengaduan masyarakat ternyata selama 15 bulan honor ketua adat dan ketua marga belum dibayar perusahaan.

“Saya kira kita harus selesaikan bersama dalam ruangan sidang dewan sehingga menjadi lebih jelas,” katanya.

Apalagi, menurutnya, dari pengakuan masyarakat, mereka sudah tiga bulan berada di kota memperjuangkan hak mereka, namun tak kunjung direspons perusahaan.

“Kami sebagai wakil rakyat mempunyai tugas dan tanggung jawab membela serta memperjuangkan apa yang menjadi hak masyarakat yang tak kunjung diperhatikan perusahaan, setelah kegiatan investasi sudah berjalan,” katanya. (*)

Editor: Syofiardi

Related posts

Leave a Reply