Pemetaan partisipatif di Tanah Tabi (4)

Papua No. 1 News Portal | Jubi ,

Oleh : Timo Marten, Engel Wally, Yance Wenda

Bupati Jayapura, Mathius Awoitauw, ketika dikonfirmasi menyebutkanm akan membentuk gugus tugas untuk melakukan pemetaan wilayah adat. Drafnya sudah ada. Sebab katanya, untuk melakukan pemetaan ini tentu terdiri dari sejumlah pihak.Pihaknya sudah mengkoordinasikan hal tersebut.

Awoitauw bahkan mengakui masyarakat DAS Nambluong langsung melakukan pemetaan di wilayah itu. Namun ia menyarankan agar membuat satu gugus tugas yang terdiri dari Aliansi Masyarakat Adat, NGO, pemerhati lingkungan, dan masyarakat lokal.

Setelah gugus tugas dibentuk maka bupati akan membuat SK terhadap tim ini untuk melakukan pemetaan. Menurut bupati berlatar belakang pekerja LSM ini, tim gugus tugas memperlancar pemetaan.

Tim ini juga tentu didukung DAS, Dinas Pemberdayaan Masyarakat Kampung (DPMK), dan semua pihak yang berhubungan langsung dengan wilayah yang akan dipetakan.

“Pekerjaan ini harus diorganisir dan itu di luar pemerintah, sebab akan sulit di birokrasi jika diurus DPMK,” kata Awoitauw.

Supaya semua pekerjaan berjalan dengan baik dan lancar, maka tugas DAS adalah melakukan pendampingan dan selalu ada di lapangan untuk mengawasi jalannya pemetaan wilayah tersebut. Tim gugus tugas ini memang harus orang-orang yang polos (netral) dan tidak mudah terkontaminasi oleh paham lain di luar adat dan budaya.

Sosialisasi Perda Kampung Adat

Bupati Awoitauw membenarkan Perda Kampung Adat belum disosialisasi. Namun ia berkilah, hal tersebut harus dilakukan DAS di tiap wilayah adat, sebab DAS merupakan perpanjangan tangan masyarakat adat.

“Pemerintah setiap tahun juga memberikan anggaran operasional kepada DAS dalam melaksanakan aktivitas dan program kerja mereka,” ujarnya.

Menurut Awoitauw, akan muncul banyak persoalan jika DAS tidak sering mengunjungi warganya. Mekanisme ini harus dibangun dengan baik. Harus ada kekuatan di luar pemerintahan untuk mendampingi pekerjaan tersebut hingga tuntas.

Diakuinya, respons terhadap kebangkitan masyarakat adat di Jayapura sangat baik, sebab itu ditandatangani oleh perwakilan sembilan DAS. Kebangkitan masyarakat adat mengandaikan bahwa DAS harus ada untuk masyarakat adat.

“Jadi, persoalan ini sudah bukan ranah pemerintah daerah. Memang harus diakui DAS tidak dapat menyelesaikan persoalan masyarakatnya dalam waktu yang singkat,” ujarnya.

“Intinya di kampung-kampung adat yang terbentuk sudah harus menjalankan apa yang menjadi kekhususan mereka. Baik pemerintahan adat, sistem perekonomian, pengelolaan sumber daya alam menjadi pendapatan masyarakat,” lanjut bupati dua periode ini.

Kewenangan perlu dikembalikan

Berbicara tentang masyarakat adat berarti menyangkut kewenangan mereka. Masyarakat adat harus diberi kewenangan untuk mengelola sumber-sumber daya yang ada.

Sesuai Perda Nomor 8 Tahun 2016, masyarakat adat diberi kewenangan untuk mengelola hutan, dusun, air, tanah dan tanaman dan tumbuhan, yang dimanfaatkan untuk pengembangan mereka.

Namun perda ini dinilai belum cukup jika ditelaah lagi. Soal hutan adat misalnya. Paradigma negara dinilai kontradiktif soal kepemilikan tanah dan hutan, untuk mendapatkan akses dan kelola yang melalui prosedur.

Menurut Direktur PTPPMA, Naomi Marasian, pihaknya melakukan pemetaan potensi kayu. Misalnya melalui blok, rencana tebang dan statusnya. Namun program ini juga terhambat izin NSPK (norma standar prosedur kelola).

Hal ini menjadi perdebatan beberapa pihak, termasuk PTPPMA jika merujuk Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) Nomor 21 terkait pengelolaan sumber daya alam.

“Sebenarnya ada pergub. Ini tidak clear kewenangan pusat dan daerah. Jika mengacu perdasus nomor 21, sebanyak 5.000 hektare yang harus dikelola masyarakat. Masyarakat pernah studi banding di PNG tahun 2007 untuk kelola hutan. Di sana mereka tahu kubikasi kayu per diameter,” kata Marasian.

Menurutnya Perda Kampung Adat belum diimplementasikan dengan baik. Rumusannya bahkan belum jelas. Oleh karena itu, kewenangan masyarakat adat untuk mengelola hutan dan segala kekayan alamnya harus diberikan kepada mereka sendiri.

Bahwasannya negara tidak terpisahkan dari masyarakat adat. Maka negara bertanggung jawab melindungi masyarakatnya. 

“Jangan lihat rakyat itu bagian yang tersisa dari negara itu. Negara itu harus lihat karena rakyat itu tidak terpisah dari rakyat, karena rakyat ada sehingga negara itu ada,” katanya.

Naomi Marasian menilai negara telah bekerja sama dengan kapitalis untuk melakukan investasi dan eksploitasi hutan secara masif. Sedianya negara (pemerintah) melihat rakyatnya, potensinya, dan membantu masyarakat untuk dapat mengelola apa yang mereka miliki.

“Kalau tidak ada ini seperti pemerintah jalan sendiri rakyat jalan sendiri, jadi tidak sinkron. Padahal Papua ini sebenarnya tidak harus bergantung pada hutan luar. Kita kalau bicara rakyat itu tidak boleh bilang rakyat itu miskin, marjinal. Kalau cara pandang kita begitu, maka orang lain akan manfaat(kan) itu,” katanya. 

Di tiap kampung di Tanah Papua mempunyai marga atau fam. Tanah ulayat merupakan milik kampung. Tapi hak milik dan kelola merupakan milik marga. Namun demikian pimpinan adat mempunyai tugas untuk mengatur semuanya.

Soal subjek atau pemilik hutan adat ini dianggap penting untuk diakui oleh negara. Jika negara tidak mengakui hak milik tersebut, maka peluang tanah adat dirampas atau dicaplok semakin besar.

Meski kebangkitan masyarakat disahkan melalui SK Bupati Jayapura Nomor 319 Tahun 2014 dan Perda Nomor 8 Tahun 2016, masyarakat adat masih menunggu SK atau semacam legalitas hukum terhadap peta adat dan pengakuan terhadap hutan adatnya. Maka dari itu, perlu perda pengakuan kepemiikan hutan adat.

“Yang kita harapkan itu perda pengakuan subjeknya. Tapi ini SK yang keluar itu SK penyelenggaraan. Ada mekanisme lagi, dimana penetapannya akan dilakukan oleh SK bupati. Kalau memang Kabupaten Jayapura menuju ke sana itu sebenarnya tidak perlu dilakukan. Dan tidak perlu melakukan perubahan-perubahan wilayah yang sudah ada,” katanya. Habis! (*)

Related posts

Leave a Reply