Papua No.1 News Portal | Jubi
Oleh Dewan Editorial Samoa Observer
Kalian pasti setuju bahwa ada sesuatu yang tidak benar sejak awal, ketika seperangkat RUU yang sekarang membentuk UU pengadilan khusus tanah dan hak kepemilikannya Land and Titles Court (LTC) yang baru-baru ini diberlakukan, pertama kali diajukan oleh pemerintah Samoa yang dipimpin oleh Partai Perlindungan HAM (Human Rights Protection Party/ HRPP) di parlemen negara itu pada Maret tahun lalu.
Dan meskipun menerima oposisi dari berbagai pihak, baik dari lokal dan internasional, termasuk kecaman berbagai ahli hukum dan badan hukum terkemuka, pemerintah HRPP tetap berpegang pada senjatanya bagaikan penganut paham Machiavelli sejati Desember lalu dan memaksa RUU yang diusulkan itu maju ke parlemen, memastikan ketiganya disahkan dengan suara 41–4.
Dalam mengejar sebuah demokrasi utopia, Perdana Menteri Tuilaepa Dr. Sa’ilele Malielegaoi dan Jaksa Agungnya, Savalenoa Mareva Betham-Annandale, dalam beberapa minggu terakhir secara terbuka and gigih membela ketiga UU itu dan berbicara tentang ‘dunia baru yang berani’ dalam demokrasi Samoa.
Di tengah-tengah selebrasi pemimpin-pemimpin pemerintah Samoa itu, pekan lalu terungkap bahwa semua Anggota Parlemen Samoa sebenarnya belum menerima salinan akhir dari UU yang disahkan, tiga minggu setelah itu disahkan oleh parlemen.
Dalam demokrasi manapun, jika semua anggota parlemen tidak mengetahui detail UU yang penting sebelum memberikan suara di lantai parlemen, itu tidak diperbolehkan untuk menjaga integritas dari proses legislatif.
Oleh karena itu, bagi seorang anggota parlemen, untuk mengetahui detail sebuah RUU sebelum pemungutan suara itu sangat penting, dan jika mereka tidak mendapatkan salinan UU final yang baru hampir satu bulan setelah disahkan, itu merupakan dosa besar.
Tapi ini Samoa, dan seperti yang dikatakan Jaksa Agung Savalenoa pada Desember setelah UU LTC diresmikan, ini bisa menjadi bentuk demokrasi yang unik untuk Samoa.
Dan tampaknya akan ada lebih banyak kejutan yang menanti orang-orang Samoa saat perwakilan rakyat yang mereka pilih mendapatkan salinan UU baru mereka.
MP dari sisi oposisi telah mengungkapkan bahwa pengesahan RUU Lands and Titles Court 2020, RUU Amendemen Peradilan 2020, dan RUU Amendemen Konstitusi 2020 oleh parlemen juga berarti ada larangan akan pemberian gelar matai sa’o (posisi ketua suku tertinggi) pada orang-orang yang menetap di luar Samoa.
Menurut Komisi Reformasi Hukum, sa’o memiliki sejumlah arti seperti kepala tituler, kepala keluarga dan kepala suku utama di tingkat desa. Sebuah keluarga atau aiga yang besar bisa saja memiliki beberapa pemegang gelar matai, namun gelar kehormatan yang tertinggi dan yang paling senior dari keluarga biasanya, tetapi tidak selalu, merupakan gelar yang dipegang oleh pendiri keluarga atau mungkin nama pendiri yang diambil nama keluarganya oleh keluarga tersebut. Orang yang memegang gelar ini disebut sebagai Matai Sa’o atau Matai Sili dari keluarga itu, dan diyakini sebagai orang dengan gelar tertinggi di sebuah aiga.
MP dari dapil Lotofaga dan mantan Wakil Perdana Menteri Samoa, Fiame Naomi Mata’afa, mengatakan kepada Samoa Observer dalam sebuah wawancara pada Senin lalu (11/1/2021), bahwa pemberian gelar matai sa’o sekarang akan dibatasi hanya untuk mereka yang tinggal di Samoa.
“Anda tidak memenuhi syarat untuk memegang gelar seperti itu jika Anda tidak tinggal di Samoa,” kata MP tersebut. “Ada banyak matai dengan status gelar itu yang tinggal di luar Samoa. Pertanyaan yang paling utama adalah jika ada persyaratan itu sekarang bagi orang-orang itu untuk kembali ke Samoa – apakah hukum akan berlaku penyesuaian mundur?”
Jika klaim tersebut benar dan seorang Matai Sa’o harus menetap di Samoa, maka tampaknya ketetapan yang kontroversial ini baru dimasukkan ke dalam RUU kontroversial itu setelah Komite Khusus Parlemen yang bertanggung jawab untuk menyelesaikan proses konsultasi publik.
Jadi apakah terbongkarnya hal ini dapat menjelaskan keputusan dengan parlemen mayoritas HRPP itu untuk menolak mosi yang diajukan Fiame pada bulan Desember agar ada pembahasan temuan Komite Khusus Parlemen dan untuk dengan tergesa-gesa mengesahkan UU yang diusulkan, hal yang bertentangan dengan norma-norma demokrasi parlementer?
Kita sungguh terkejut ketika kita mendengar bahwa parlemen telah menolak untuk membahas laporan komite, tetapi setelah itu ketika kita mengetahui bahwa ada ketetapan baru ditambahkan ke UU itu, yang tidak dicantumkan sama sekali dalam konsultasi publik tahun lalu, ini sangat identik dengan kediktatoran dan bagaikan sebuah tamparan di wajah semua orang Samoa.
Dan hal ini juga sangat berbahaya: bagaimana pemerintah Samoa saat ini perlu campur tangan pada masalah-masalah yang biasanya dianggap sebagai domain masing-masing keluarga.
Pendirian orang-orang di seluruh Samoa sangat tegas ketika mereka memberi tahu komite bahwa mereka tidak terima upaya Pemerintah untuk membatasi pemberian gelar matai sa’o, dan ingin ketentuan tersebut segera dihapus dari UU yang final.
Dan sekarang di sinilah kita, hampir satu bulan telah berlalu setelah UU itu diberlakukan, dan orang-orang baru diberi tahu bahwa UU baru itu termasuk sebuah ketentuan yang membatasi pemberian matai sa’o hanya kepada mereka yang tinggal di Samoa.
Pemimpin partai politik yang baru dibentuk, Fa’atuatua i le Atua Samoa ua Tasi (FAST), La’aulialemalietoa Leuatea Schmidt, mengatakan ketentuan baru itu salah dan sama saja dengan pemerintah mendikte urusan keluarga-keluarga.
“Itu adalah sesuatu yang tidak boleh dilakukan sama sekali,” tegas La’auli saat dihubungi Samoa Observer. “Ini memberikan banyak persyaratan bagi keluarga. Banyak matai yang membantu keluarganya dengan bekerja dari luar negeri.”
Seolah-olah peringatan dari masyarakat tentang pentingnya menghapus proposal untuk membatasi pemberian gelar matai sa’o belum cukup, dan kini terungkap bahwa pemerintah telah memasukkan ketentuan yang membatasi gelar tersebut hanya untuk penduduk yang menetap di Samoa.
Masyarakat Samoa sudah selayaknya merasa dibohongi oleh pemerintah yang dipilih mewakili kepentingan mereka terkait dengan penanganan UU tersebut melalui proses legislasi hingga akhirnya disahkan.
MP dari kubu oposisi, empat diantaranya telah memberikan suara untuk menolak RUU itu pada Desember lalu, tahun lalu juga telah memperingatkan akan potensi konflik di masyarakat yang dapat dipicu oleh UU baru dan ini adalah arah yang dapat ditempuh negara itu jika pemerintah tidak berhati-hati.
Kita semua suka kejutan tahun baru, tetapi bukan yang seperti ini, terutama jika itu menyangkut aiga dan kestabilan yang diberikan aiga kepada setiap laki-laki, perempuan, dan anak-anak di Samoa. (Samoa Observer)
Editor: Kristianto Galuwo