Papua No. 1 News Portal | Jubi
Oleh Soleman Itlay
Pelapor khusus PBB bidang kesehatan, Danius Puras membuat pernyataan keras mengenai masalah hubungan antara pemerintah Indonesia dengan orang asli Papua yang tidak saling percaya. Puras mengangkat masalah tidak saling percaya setelah menyaksikan kondisi kesehatan orang Papua yang tak kunjung berubah di bawah kendali Pemerintah Indonesia.
Tanggal 31 Maret 2017, Puras mengunjungi Jayapura, ibu kota Provinsi Papua. Salah satu hal yang membuat beliau berkunjung ke Indonesia adalah karena rasa prihatin atas kematian 54 balita dan anak di bawah umur di wilayah Mbua, Kabupaten Nduga akhir tahun 2015—hingga detik ini belum terungkap virus bakteri kematiannya.
Pasca Kejadian Luar Biasa (KLB) itu, 26 balita dan anak di bawah umur kembali dilaporkan meninggal dunia pada awal tahun 2016. Jumlah tersebut merupakan hasil rangkuman dari Januari-Maret 2016 yang didata oleh Tim Solidaritas Korban Jiwa Wilayah Mbua. Dalam rentang waktu yang paling singkat itu, mengakibatkan kurang lebih 80 orang balita dan anak di bawah umur meninggal secara beruntun.
Keluarga korban masih menantikan pengungkapan penyebab kematiannya. Sebab sampai detik ini, masyarakat menilai virus “Hipertusis” yang disebutkan pemerintah membuat keluarga korban masih kurang percaya. Soalnya peristiwa ini tidak hanya mengorbankan kematian misterius bagi manusia, tetapi juga hewan ternak (babi).
Mulanya dikabarkan, bahwa Puras akan mengunjungi tempat kejadian tersebut. Namun, Pemerintah RI membatasi keinginan Puras untuk menyambangi pegunungan “Irimuliak dan Hiriakup”, sebutan lain untuk pegunungan “Trikora.” Beliau dibatasi karena alasan keamanan.
Masyarakat Mbua, terutama keluarga korban lantas kecewa dengan Pemerintah yang membatasi keinginan beliau.
Dalam tulisan ini penulis tidak membahas banyak hal tentang kasus tersebut, tetapi soal pernyataannya yang sangat keras dan harus diketahui dan direfleksikan lebih intensif.
Pernyataan beliau bakal membuka hati Indonesia dan Papua untuk saling percaya.
Orang Papua tidak pecaya Indonesia
Di kantor Sinode GKI di Tanah Papua ketika itu, Puras mengatakan, “saya lihat ada ketidakpercayaan antara pemerintah Indonesia dan orang asli Papua. Saya lihat orang Papua tidak percaya Indonesia.”
Hal ini dikatakan beliau terkait masalah kesehatan di Mbua. Ia menyatakan hal tersebut mewakili PBB.
Pernyataan dia bukan kelakar, tetapi menegur kedua pihak yang sama-sama yang saling tidak percaya. Ia ingin keduanya megakhiri saling ketidakpercayaan mereka dan tinggal dalam damai.
Ia meyakini ada masalah besar yang belum diselesaikan pemerintah selama bertahun-tahun. Pemerintah dan orang Papua harus merefleksikan hal ini baik-baik.
Bisa saja ia menampar keras Pemeirntah Indonesia, karena dianggap gagal memberikan pelayanan kesehatan yang baik bagi OAP.
Pernyataan beliau tidak hanya sekali saja, bahkan kepada media di Jakarta juga mengatakan hal yang sama.
Pemerintah Indonesia perlu menoleh ke belakang dan mengevaluasi total pendekatan pelayanan kesehatan yang membuat OAP tidak percaya dan mengembalikan kepercayaan yang semakin “botak” ini. Kalau tidak, Indonesia tidak akan mendapatkan kepercayaan dari OAP.
Kecurigaan PBB melalui Puras tidak bisa dianggap main-main oleh Pemerintah Indonesia. Apa yang beliau sampaikan diakibatkan oleh persoalan Papua, termasuk adanya pemusnahan etnis Melanesia secara sistematis, terustruktur, bertahap dan berkelanjutan hingga saat ini.
Jangan asal klaim Papua bagian dari Indonesia yang sulit dipisahkan tetapi sulit membuat mereka setia.
Indonesia degradasi kepercayaan
Pemerintah Indonesia sulit dan tidak akan mendapatkan pengakuan lagi oleh dunia kalau masih mempertahankan pendekatan yang lama terhadap Papua. Pemerintah harus mengubah pendekatan lama dan untuk membuat orang Papua setia dan tetap percaya.
Jika pemerintah tidak mau pusing dengan pernyataan Puras, Indonesia terancam kehilangan sebagaian wilayahnya, yaitu Papua.
Dunia tidak perlu memperbincangkan panjang lebar tentang Papua. Mereka rentan menjadi korban penipuan, dianiaya, ditangkap, disiksa, dipenjara, ditembak, dibunuh, diperkosa, diadili dan dihukum. Semua itu dilakukan secara sadar demi sumber daya alam mereka. Bertahun-tahun kedok kekerasan ditutup mati, tetapi kini perlahan-lahan semakin telanjang.
Dewasa ini orang Papua sadar dan melancarkan perlawanan dan perlahan-lahan membua kedok penipuan, sejarah aneksasi, pelanggaran HAM, pembatasan ruang demokrasi dan akses bagi jurnalis asing, ketidakadilan hukum, dll.
Sementara Indonesia pun menguatkan diplomasi untuk membendung gerakan orang Papua. Memakai jasa orang Papua untuk menguatkan posisi Indonesia dan melemahkan kampanye penderitaan orang Papua dimana-mana. Pemerintah Indonesia menghabiskan miliaran dan triliunan dolar AS untuk membekap pembohongan dengan cara menjelma seperti merpati putih yang tulus. Tetapi kelicikan seperti ular pun sudah ketahuan.
Indonesia bermanuver politik dengan penuh kebohongan. Menyangkal kejahatan dan kekerasan fisik dan nonfisik terhadap manusia Papua dengan kekuatan uang negara milik rakyat, menutup mulut orang-orang yang melawan keutuhan NKRI.
Menciptakan orang Papua sebagai Yudas murahan dan untuk kokohkan posisi Indonesia. Tapi ingatlah yang bijak.
Indonesia melalui Yudas Papua, pedagang identintas kulit hitam dan keriting rambut alias pengKhianat, termasuk duta besar Indonesia memutarbaliKkan fakta dan kebenaran penderitaan orang Papua di kawasan Pasifik, Eropa, Afrika, Amerika hingga di PBB. Yudas Papua, duta besar dan diplomat Papua mendegradasi kepercayaan Indonesia.
Diplomat Indonesia perkurus kepercayaan
Dalam sidang umum PBB di luar negeri, diplomat muda Indonesia beberapa waktu lalu menyebutkan bahwa pemerintah serius melancarkan pembangunan jalan, menurunkan lonjakan harga BBM menjadi satu harga BBM, memperhatikan secara penuh pelayanan kesehatan dan pendidikan, dll. Semua itu, diplomat muda Indonesia membuat Indonesia makin “kurus” dalam konteks kepercayaan.
Karena apa yang disampaikan di atas, terkesan sangat tidak seimbang dengan kenyataan di Papua.
Belakangan ini, Indonesia (baca: Pemerintah) mandi hujan kritikan oleh orang asli dan non-Papua. Indonesia menipu besar di kancah internasional. Para diplomat muda dan duta besar Indonesia di sejumlah negara mempraktikkan kebohongan yang besar. Indonesia memperburuk citra bangsa dan negara sendiri.
Tentu upaya Indonesia semakin membuat dirinya telanjang. Pemerintahan Jokowi-JK harus meminta maaf kepada orang Papua, dan dunia internasinal agar OAP percaya kepada pemerintah Indonesia. Jika tidak, mimpi IndoneSia untuk pendudukan di Papua melalui akan mati di Zaman bolong atas kebohongan.
Kelak Indonesia tidak akan punya pilihan lain
Kalau modelnya seperti itu terus-menerus, tidak bisa mengubah hati orang Papua yang dipenuhi kekecewaan. Kalau juga tidak mau ubah pendekatan, atau mau mempertahankan cara yang lama, sampai kapan pun Indonesia tidak akan dipercayai kalau menggunakan pola dan pendekatan serta mempertahankan cara-cara yang penuh kebohongan.
Dengan demikian, apa yang disampaikan oleh pelapor khusus PBB, Dainus Puras benar. Bahwa “Orang Papua Tidak Percaya Indonesia” kalau keadaan negara yang penuh kebohongan KKN, dan lain sebagainya memang sangat sulit mengembalikan kepercayaan yang makin botak.
Suatu saat pemerintah akan mengakui tanpa meminta pengakuan kesalahan sejarah masalah lalu oleh orang Papua. Tidak akan ada dialog sektoral yang ditawarkan Indonesia. Rayuan muslihat dan kebijakan setara Otsus ditawarkan setelah masa Otsus habis dan lain, orang Papua tidak akan terima dengan gampang. Berikut percaya atau tidak, Indonesia akan megiyakan pilihan bebas. (*)
Penulis adalah anggota aktif Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), St. Efrem Jayapura, Papua