Pemerintah Fiji dan Tuvalu diminta serius tangani KDRT

Mantan Perdana Menteri Tuvalu, Enele Sopoaga. - ABC News/Q&A
Mantan Perdana Menteri Tuvalu, Enele Sopoaga. – ABC News/Q&A

Papua No. 1 News Portal | Jubi

Suva, Jubi – Mantan Perdana Menteri Tuvalu, Enele Sopoaga, berkata laki-laki yang melakukan kekerasan terhadap perempuan harus diikat ‘di pohon kelapa sepanjang malam, dibiarkan sementara ia digigit nyamuk, dan lihat apa yang terjadi besok paginya’.

Read More

Sopoaga mengeluarkan pernyataan itu saat menanggapi pertanyaan tentang kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak dan maskulinitas yang toksik di kawasan Pasifik, dalam episode khusus program televisi Q&A yang difilmkan di Universitas Pasifik Selatan di ibu kota Fiji, Suva.

Episode program yang dijalankan oleh Australian Broadcasting Corporation ini berpusat pada persoalan-persoalan yang mempengaruhi Pasifik, termasuk perubahan iklim, campur tangan asing, dan ikatan erat antara Pasifik dengan Australia.

Pertanyaan mengenai KDRT diajukan oleh seorang audiensi yang bertanya apakah harapan konvensional bahwa seorang perempuan Pasifik harus patuh adalah ‘faktor dalam isu KDRT atau kekerasan terhadap perempuan?’.

Virisila Buadromo, seorang aktivis perempuan dari Fiji, menegaskan bahwa pemerintah perlu segera menangani ‘epidemi’ maskulinitas toksik dan ‘masalah-masalah seputar ketaksetaraan gender’.

“Perempuan-perempuan Pasifik memiliki catatan paling buruk dalam masalah kekerasan terhadap perempuan secara global, kita memiliki jumlah keterwakilan perempuan terendah di parlemen, dan kita juga berada di garis depan perubahan iklim,” katanya. “Perempuan di wilayah kita juga merupakan salah satu kelompok yang paling rentan di dunia.”

Aiyaz Sayed-Khaiyum, Jaksa Agung Fiji, menerangkan bahwa pemerintah negara itu telah mengambil langkah-langkah dalam mengakui dan menyusun kebijakan untuk menghadapi isu-isu ini.

Mengutip kata-kata Perdana Menteri Fiji, Sayed-Khaiyum menegaskan bahwa budaya ‘memukuli’ seseorang, terutama perempuan, ‘sudah berakar’ di Fiji, namun ini ‘tidak dapat lagi diterima di zaman modern’.

Dia mengatakan solusinya dimulai dengan mengakui adanya permasalahan ini. “Kenyataannya adalah kita harus mulai membicarakan hal-hal ini secara terbuka di ruang publik,” jelasnya. “Cukup banyak hal telah berubah di Fiji; kita sekarang memiliki hukum pidana.”

Buadromo menegaskan bahwa UU baru itu ada berkat pekerjaan organisasi perempuan. “Banyak UU dan kebijakan yang diberlakukan setelah terjadi, ini bagus – tapi pada saat itu perempuan sudah dipukuli atau dibunuh,” tegasnya.”Yang ingin saya tahu, dan apa yang saya rasa semua orang ingin tahu adalah, apa yang kita lakukan untuk menghentikannya sebelum sampai ke titik itu?”

Sopoaga menanggapi dengan pengalamannya di Tuvalu, dimana kekerasan terhadap perempuan sering kali dikaitkan dengan konsumsi alkohol. Ia lalu menambahkan “Saya setuju kita perlu mengambil pendekatan yang komprehensif di masyarakat dan tidak hanya merujuk serta menyalahkan satu sektor.”

Sopoaga dan Sayed-Khaiyum juga menanggapi pertanyaannya lainnya mengenai pengaruh Tiongkok di Pasifik. (ABC News)

 

Editor: Kristianto Galuwo

Related posts

Leave a Reply