Papua No.1 News Portal | Jubi
Suva, Jubi – Intervensi Perdana Menteri Fiji, Frank Bainimarama, yang menghentikan penyiaran debat publik antara gerakan keagamaan dan kelompok gereja telah mendatakan kritikan dari Dewan Gereja-gereja Pasifik (PCC).
Bainimarama angkat suara tentang intervensinya dalam sesi talanoa dengan warga desa di Nayavu di Wainibuka, setelah meresmikan pos polisi masyarakat yang direnovasi pada 14 Agustus.
Kepada penduduk desa itu, ia mengumumkan bahwa dia telah memerintahkan berbagai media-media penyiar untuk menghentikan debat antara seorang pemimpin gerakan keagamaan baru dan perwakilan dari organisasi-organisasi Kristen di negara tersebut.
PM itu lalu menerangkan bahwa dia telah membuat keputusan itu setelah menonton acara debat tersebut. Bainimarama mengaku ia khawatir isi diskusi tersebut akan membingungkan kelompok-kelompok agama. Ia juga mengungkapkan kekhawatirannya karena banyak orang Fiji yang mudah terbawa suasana akibat pembahasan dalam debat tersebut.
Namun Dewan Gereja-gereja Pasifik (PCC) telah menolak campur tangan perdana menteri itu, menyebutkannya sebagai otoriter.
Sekretaris Jenderal PCC, Pendeta James Bhagwan, berkata intervensi pemerintah dalam hak masyarakat, yaitu kebebasan untuk memilih dan beragama, itu tidak demokratis.
Bhagwan menegaskan bahwa debat adalah bagian dari kebebasan berpendapat.
“Itu adalah HAM yang fundamental. Debat nasional yang hidup akan membuahkan kemajuan dan mendorong pemikiran, mendorong toleransi, dan menciptakan simpati. Ini adalah sebuah bagian dari proses demokrasi dan tidak berbahaya selama tidak ada yang berniat untuk menyakiti orang lain atau kelompok lain.”
Jika ada kekhawatiran tentang debat yang dapat mengganggu keamanan, hal itu harus ditangani melalui jalur hukum menggunakan UU Ketertiban Umum atau UU lainnya yang dapat digunakan oleh negara.
Acara debat itu, yang disiarkan melalui TV, juga ditayangkan di media sosial. Sejumlah acara talkback lalu membahas beberapa permasalahan ini, katanya.
“Dalam hal acara talkback, debat ini telah mendorong masyarakat untuk melakukan refleksi mengenai peran gereja mereka – apakah gereja itu hidup dan menjalankan pelayanan Injil, itu juga memberikan kesempatan bagi orang-orang untuk berdiskusi tentang bagaimana pendapat mereka terhadap apa yang dilakukan pendeta-pendeta dan gereja mereka.
Menurut Bhagwan, jika gereja benar-benar khawatir dengan sistem kepercayaan gerakan keagamaan itu, mereka dapat bertemu langsung dengan pemimpin tersebut dan membahas masalah tersebut secara pribadi.
Itu, ungkapnya, adalah cara yang Kristen and lebih bermartabat.
Menurut Bhagwan, persoalan lain adalah kualitas moderator debat yang buruk.
Sementara itu, pemimpin gerakan Lotu Vanua atau First Nation Spiritual Revival Movement berkeras bahwa dirinya berhak untuk memilih agamanya.
Timoci Nacola mengatakan Konstitusi telah memberinya kebebasan beragama.
Mantan bankir dan pegawai negeri itu menegaskan bahwa Fiji adalah negara sekuler dan setiap orang memiliki hak untuk memilih siapa yang ingin mereka sembah.
Ketika diminta komentarnya, Kantor Perdana Menteri dan Asosiasi Media Fiji (FMA) tidak menanggapi. (RNZI)
Editor: Kristianto Galuwo