Papua No. 1 News Portal | Jubi
(Suatu realitas hidup di Kota Jayapura)
Oleh Innocent Nurmalay
Pengantar
Pesatnya jumlah penduduk di kota amat mempengarui perubahan kehidupan masyarakat, baik secara positif maupun negatif. Usaha pemerintah dalam melaksanakan pembangunan infrastruktur, transportasi, dan pembangunan lainnya membuat banyak orang mulai meninggalkan tempat tinggalnya dan datang ke kota guna memperbaiki kehidupan ekonomi, pendidikan, kesehatan, dll.
Kehadiran kaum migran dan urban yang tak terbendungkan itu kemudian membuat pemerintah setempat menyediakan lahan-lahan kosong sebagai tempat pemukiman mereka. Positifnya, daerah/kota mengalami perkembangan yang amat pesat di berbagai aspek kehidupan.
Namun, di sisi lain perkembangan kota juga menjadi salah satu pemicu terjadinya bencana lingkungan. Kurang lebih enam masalah lingkungan yang sedang dihadapi: ledakan penduduk, penipisan SDA, perubahan iklim global, kepunahan tumbuhan dan hewan, kerusakan tumbuhan dan hewan, kerusakan habitat alam, serta peningkatan polusi, dan kemiskinan.
Gejala lingkungan ini hendak mengatakan bahwa begitu besar kerusakan alam yang terjadi dalam kehidupan kita.
Menanggapi situasi dunia sekarang ini, para ahli menyimpulkan bahwa bencana lingkungan disebabkan oleh praktik pembangunan yang tidak berkelanjutan. Artinya, konsep pembangunan yang baik harus memenuhi kebutuhan manusia tanpa bencana dan perlu mempertimbangkan kebutuhan generasi mendatang dalam memenuhi kebutuhannya. Namun, kenyataannya penerapan konsep pembangunan berkelanjutan jauh dari harapan bersama.
Tulisan ini akan membahas tentang paradigma pembangunan dan realitanya, serta masukan yang dapat memungkinkan kita untuk mengatasi bencana lingkungan yang sedang dihadapi sekarang ini, dan pada waktu-waktu yang akan datang.
Paradigma pembangunan
Lingkungan hidup tak ada habisnya menjadi bahan pembicaraan banyak pihak. Banyak pemerhati lingkungan yang menyuarakan hal yang sama–agar manusia menjaga keutuhan alam, tempat kita tinggal. Menjaga bumi dan isu kerusakan lingkungan merupakan dua hal yang saling terkait.
Bahwa kita tidak bisa menutup mata terhadap kondisi alam–rumah kita–yang sedang rusak ini. Bumi yang kita diami ini sedang sakit, merintih dan merana karena segala kerusakan yang telah ditimpakan padanya. Karena tanpa suatu tanggung jawab kita telah menggunakan dan menyalahgunakan kekayaan yang kita miliki.
Benarlah bahwa bumi kita telah menjadi rusak oleh kita sendiri, mereka yang berkuasa, dan orang-orang kecil yang tak tahu dampak tindakan perusakan lingkungan, dll.
Kerugian-kerugian dan perubahan-perubahan terhadap lingkungan mestinya diperhitungkan, dengan keuntungan yang diperkirakan akan diperoleh dari suatu proyek pembangunan. Itulah sebabnya dalam setiap usaha pembangunan, ongkos-ongkos sosial untuk menjaga kelestarian lingkungan perlu diperhitungkan, sedapat mungkin tidak memberatkan kepentingan masyarakat sebagai penikmat pembangunan tersebut.
Sony Keraf dalam pandangannya mengenai pembangunan melihat tiga hal penting yang perlu diperhatikan ketika berbicara mengenai pembangunan, yaitu aspek ekonomi, sosial-budaya dan aspek lingkungan hidup.
Perhatian pada ketiga aspek tersebut mengisyaratkan adanya suatu cara pandang yang menyeluruh dan terintegrasi berkaitan dengan berbagai aspek kehidupan manusia yang saling mempengaruhi dan saling menentukan satu terhadap yang lain. Jadi, ketiga aspek ini harus berjalan bersama-sama. Sebab, jika salah satu aspek saja yang diperhatikan dan diberi posisi yang dominan, sementara aspek lain diabaikan, maka kecenderungan tersebut akan melahirkan gangguan yang mengakibatkan ketimpangan dan kerusakan, baik lingkungan maupun hidup manusia.
Agar tidak terjadi kerusakan dan gangguan dalam berbagai aspek kehidupan dan manusia, paradigma pembangunan integratif harus ditempatkan dalam semangat dan prinsip pembangunan yang disebut sebagai pembangunan berkelanjutan.
Paradigma dan praktik pembangunan berkelanjutan harus ditandai beberapa prinsip:
Pertama, prinsip demokrasi. Prinsip ini menginginkan agar aspirasi masyarakat menjadi dasar implementasi pembangunan dan bukan atas kehendak kepentingan individu (kelompok) tertentu. Untuk itu, diperlukan komitmen dan mekanisme politik yang memungkinkan prinsip pembangunan berkelanjutan diwujudkan. Prinsip ini juga mengandaikan adanya partisipasi masyarakat dalam merumuskan kebijakan pembangunan agar kepentingannya diakomodir, transparan tentang agenda pembangunan dan adanya akuntabilitas;
Kedua, prinsip keadilan. Prinsip ini mau menempatkan semua orang dan kelompok dalam peluang yang sama pada proses pembangunan, termasuk menikmati hasil-hasilnya. Jadi, semua orang/kelompok harus mempunyai peluang dan akses yang sama terhadap sumber-sumber ekonomi yang diatur negara; tidak ada yang diistimewakan;
Ketiga, prinsip keberlanjutan. Prinsip ini mengandung paham bahwa pembangunan yang dilaksanakan harus mempertimbangkan aspek sumber daya ekonomi, sosial-budaya dan lingkungan dalam jangka panjang. Dengan demikian, prinsip ini mengharuskan kita untuk memilih alternatif pembangunan yang hemat terhadap sumber daya, hemat dalam penggunaan energi dan meminimalisasi limbah dalam setiap kegiatan pembangunan dan produksi ekonomi.
Selain itu, prinsip ini juga menuntut perhatian kita akan prinsip keadilan bagi generasi berikutnya secara berkelanjutan, yang harus dihindari dari kerugian-kerugian material, spiritual, sosial-budaya dan terjaminnya mutu kehidupannya.
Realita: pembangunan dan bencana banjir
Pembangunan dan bencana lingkungan yang ingin dibicarakan di sini lebih terfokus pada pembangunan dan pengelolaan lingkungan, serta lingkungan sosial yang berpengaruh secara langsung pada hidup manusia, khususnya di Kota Jayapura.
Banjir adalah salah satu bencana lingkungan yang selalu menimpa beberapa tempat di Kota Jayapura kala curah hujannya berskala besar.
Bahaya banjir yang menimpa beberapa kawasan disebabkan oleh beberapa faktor sosial, yakni tindakan kita manusia yang membuang sampah sembarangan.
Sampah merupakan masalah yang tidak ada habisnya, karena semakin majunya gaya hidup manusia, semakin banyak sampah yang dihasilkan. Berdasarkan catatan Dinas Kebersihan Kota Jayapura, sekitar 1 atau 2 ton sampah diangkut ke TPA dalam sehari.
Kebanyakan sampah itu berasal dari pemukiman, hasil kegiatan rumah tangga seperti sampah plastik, botol plastik, dsb.
Sampah yang berkapasitas besar per hari ini jika tidak dibuang pada tempatnya tentu berakibat fatal. Selain bahaya banjir, kota ini akan terlihat kotor, tidak indah dan bersih. Baiklah bagi kita semua lebih peduli terhadap sampah dengan cara membuang sampah pada tempatnya.
Faktor lain yang ingin disoroti dalam tulisan ini terkait banjir yang selalu melanda pemukiman masyarakat adalah pola pembangunan yang tidak berkelanjutan. Salah satu contoh pembangunan yang menyebabkan banjir adalah perumahan di kompleks Organda, Abepura. Beberapa rumah di Perum Organda terpaksa ditinggalkan pemiliknya karena keseringan banjir pada musim hujan.
Lokasi Organda dulunya adalah rawa-rawa yang ditumbuhi hutan sagu. Lokasi ini digusur, ditimbun dan dijadikan perumahan warga.
Pembangunan tersebut amat menolong masyarakat dan para pengusaha. Namun, dalam perjalanan waktu lokasi tersebut menjadi tempat rawan banjir karena sikap manusia, yang kadang kala menyalahgunakan fungsi rawa itu sendiri, yakni sebagai tempat menampung, menyerap dan melepaskan air secara perlahan, tanpa mencari suatu solusi yang memadai.
Penyalahgunaan lokasi rawa sebagai penampung mengakibatkan genangan air tidak memiliki tempat resapan, dan genangan air tersebut mencari tempat yang lebih rendah dan menenggelamkan pemukiman warga setempat.
Persoalan lain; bahaya banjir yang melanda pemukiman masyarakat disebabkan juga oleh pengerukan tanah dan karang. Pengerukan tanah dan karang guna menjawab tuntutan pembangunan kota merupakan suatu hal yang positif. Jalan menjadi lebar dan bagus, pembangunan berdiri teratur, dsb.
Namun, pola pembangunan tersebut dapat menimbulkan tanah longsor, sebab, hancurnya bebatuan di lereng-lereng gunung mengakibatkan bebatuan tidak lagi memiliki kekuatan dan mudah hancur menjadi tanah, yang sewaktu-waktu dapat berjatuhan ketika curah hujan meninggi.
Longsor tersebut bisa saja menutupi bagian dataran rendah, bahkan menimbun aliran sungai atau saluran air menjadi dangkal dan tertutup, sehingga daya tampung air berkurang, bahkan selokan-selokan tertutup. Kemudian, terjadilah peluapan yang berujung pada bencana banjir.
Penutup
Bertolak dari persoalan di atas, dapat dikatakan bahwa aktivitas pembangunan di Kota Jayapura belum berorientasi pada paradigma pembangunan berkelanjutan. Tampaknya orientasi pembangunan dan pengolahan lingkungan seperti yang digambarkan di atas menunjukkan bahwa pengelolahan lingkungan dan sumber dayanya memperlihatkan orientasi pembangunan yang hanya mengunggulkan hasil produksi dan pertumbuhan ekonomi, serta demi kemajuan kota yang berdampak pada kerusakan lingkungan dan ancaman bagi kehidupan yang berkelanjutan.
Pembangunan berwawasan lingkungan sebenarnya berorientasi pada peningkatan kesejahteraan manusia dan kelestarian lingkungan alam.
Untuk mencapainya, Denis Goulet berpendapat, suatu pembangunan yang etis hendaknya memperhatikan tiga rasionalitas, yaitu rasionalitas teknis (menyelesaikan sesuatu dengan tindakan konkret dan menggunakan pengetahun teknis untuk memecahkan persoalan pembangunan), rasionalitas politis (mampu berkompromi, negosiasi, akomodasi dengan cara-cara yang ramah dan menarik dengan berbagai pihak), dan rasionalitas etis (mengedepankan nilai-nilai yang berpihak pada manusia).
Pendekatannya, mempertimbangkan tentang baik/buruk, wajar (tidak wajar), benar dan salah. James R. Khan kemudian secara tegas menyoroti pentingnya peran penting manusia dalam mengambil suatu keputusan, bahwa studi tentang ilmu pengetahuan alam tidak cukup lengkap untuk melakukan analisis masalah ekologi, sebab ilmu pengetahuan alam tidak menganalisis tentang perilaku manusia. Padahal persoalan pengelolaan lingkungan dengan pendekatan ekologi secara esensial amat ditentukan oleh paham pembangunan lingkungan yang bersifat berkelanjutan atau tidak.
Dengan demikian, pembangunan kota yang berujung pada kesejahteraan masyarakat umum atau sebaliknya mendatangkan bencana lingkungan yang mengancam kesejahteraan masyarakat pada dasarnya tergantung pada kebijaksanaan manusia dalam mengambil setiap keputusan, khususnya pihak-pihak yang berwewenang, baik dari pemerintah daerah maupun dari tokoh-tokoh masyarakat.
Maka dari itu, penting bagi semua pihak untuk menjalin kerja sama yang baik guna membahas persoalan pembangunan dan dampaknya bagi lingkungan dan kehidupan manusia sekarang dan generasi yang akan datang. Pihak AMDAL, dalam hal ini, memerlukan keberanian dalam mengambil keputusan untuk melaksanakan pembangunan kota yang asri dengan tidak menimbulkan bencana lingkungan bagi kehidupan masyarakat.
Jadi, bertolak dari fungsi kerjanya—AMDAL yang hadir untuk membantu proses pengambilan keputusan tentang kelayakan lingkungan hidup dari rencana usaha atau kegiatan, memberi masukan untuk penyusunan desain rincian teknis dari rencana, penyusunan rencana pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup, memberi informasi bagi masyarakat atas dampak yang ditimbulkan dari suatu rencana usaha, kemudian mengeluarkan izin usaha—mesti mengutamakan seluruh aktivitas pembangunan yang berkaitan dengan aspek lingkungan, kehidupan sosial, ekonomi, politik dan sebagainya.
Di sisi lain, peran pemerintah dan masyarakat patutnya mendukung setiap keputusan yang diputuskan oleh AMDAL melalui suatu penelitian lokasi, secara positif, sejauh itu tidak merugikan aspek-aspek kehidupan manusia. Sebab sebuah kerja sama yang baik, pada akhirnya akan menuai suatu keputusan bersama yang baik dan memiliki suatu hasil yang menguntungkan semua pihak. (*)
Penulis adalah mahasiswa STFT Fajar Timur Abepura