Papua No. 1 News Portal | Jubi ,
BERBAGAI kasus mencuat selama tahun 2018. Selain kriminalitas yang mendominasi, juga sejumlah kasus lain. Salah satunya adalah pemalangan berbagai fasilitas umum seperti bandara, sekolah, perkantoran, sampai kepada lokasi perusahan.
Aksi pemalangan yang dilakukan bervariasi. Mulai dari penanaman sasi, penggembokan bangunan kantor, dan lain-lain. Itu dilakukan oleh masyarakat Marind yang tidak lain adalah pemilik tanah ulayat.
Catatan Jubi selama tahun 2018, terdapat sembilan kasus pemalangan fasilitas umum maupun tanah. Dari sejumlah kasus dimaksud, sebagian besar ‘menggantung’ dan tak ada penyelesaian.
Sejumlah bangunan kantor maupun sekolah serta fasilitas umum lain yang dipalang adalah Lembaga Penyiaran Publik (LPP) Radio Republik Indonesia (RRI) Merauke, Sekolah Dasar Inpres (SDI) dan Puskesmas Muting, SMPN I Merauke, SDLB Merauke, area Bandara Mopah seluas 60 hektar, lapangan Jawa, serta PT Marind Nutfa Permai di Distrik Kaptel yang melakukan investasi perkebunan kelapa sawit.
Umumnya tuntutan ganti rugi yang diminita adalah dalam bentuk uang dengan nilai bervariasi.
Misalnya saja pembayaran tanah RRI yang dituntut Ananias Gebze senilai Rp 21 miliar sebagai pemilik ulayat. Sejak tahun 2013 silam, bersangkutan melakukan berbagai usaha dengan membangun komunikasi bersama pimpinan LPP RRI maupun pemerintah.
Hanya saja, usaha dimaksud tak membuahkan hasil. Sehingga pada September 2018, Ananias bersama keluarganya mendatangi LPP RRI membawa sejumlah atribut adat seperti janur, sekaligus melakukan pemalangan di salah satu pintu masuk kantor tersebut.
Aksi yang dilakukan menyita perhatian berbagai kalangan dan sempat membuat aktivitas di LPP RRI, tak berjalan normal. Namun demikian, Bupati Merauke, Frederikus Gebze, turun tangan dan melakukan mediasi.
Lalu memberikan jaminan kepada pemilik ulayat untuk siap diselesaikan.
“Saya turun langsung bicara dengan masyarakat dan pemerintah akan mengakomodir dalam APBD perubahan,” kata bupati.
Hanya saja, tidak diketahui apakah tuntutan ganti rugi senilai Rp 21 miliar direalisasikan semua atau tidak?
Berikutnya adalah pemalangan SDI dan Puskesmas Muting seluas 10 hektar oleh Silvester Yanggai Ndiken yang dilakukan pada Oktober 2018. Pemalangan dilakukan dengan menanam sasi.
Meski dipalang, namun pemilik ulayat memberikan kompensasi. Dimana aktivitas belajar mengajar maupun pelayanan kesehatan tetap berjalan sebagaimana biasa.
Sementara permintaan tuntutan ganti rugi kepada Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Merauke adalah Rp 500 juta.
“Kurang lebih tiga tahun, kami berjuang dan meminta pemerintah membayar. Hanya saja, tidak direspons. Sehingga langkah yang dilakukan adalah pemalangan,” ungkap Silvester.
Dikatakan, pasca pemalangan, belum ada realisasi pembayaran sampai sekarang.
“Tidak tahu kapan pemerintah akan bayar. Jika tak ada realisasi, kami menghentikan semua aktivitas di sekolah maupun puskesmas,” tegasnya.
Fasilitas umum lain yang dipalang adalah lapangan Jawa oleh pemilik ulayat Kristianus Bugau Mahuze dan Moses Wanggar Mahuze pada pertengahan September 2018 dengan menanam sasi.
Besarnya tuntutan ganti rugi lahan tersebut adalah Rp 37 miliar. Tanah dimaksud diklaim sebagai miliknya dan belum diselesaikan LPP RRI.
“Memang sampai hari ini belum ada penyelesaian pembayaran oleh LPP RRI maupun pemerintah. Sehingga masih tetap dipalang dengan memasang sasi,” tegas Kristianus Bugau Mahuze.
Dikatakan, sepanjang belum ada penyelesaian, tak boleh ada aktivitas pembangunan oleh siapapun.
Pemalangan SMPN I Merauke dilakukan masyarakat Marind Imbuti dari empat marga yakni Mahuze, Gebze, Kaize, serta Basik-Basik.
Aksi itu dilakukan tanggal 22 September 2018 dengan menanam sasi di pintu masuk sekolah, juga mendirikan tenda sekaligus ditempati sejumlah warga. Akibatnya, anak-anak diliburkan dan kegiatan belajar mengajar terhenti selama beberapa hari.
Bupati Merauke, Frederikus Gebze, didampingi Kapolres, AKBP Bahara Marpaung, serta Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan setempat, Felix Liem Gebze, harus turun tangan melakukan komunikasi bersama masyarakat.
Perwakilan masyarakat empat marga, Ignasius Boli Gebze, menegaskan aksi pemalangan dilakukan lantaran tak ada respons positif pemerintah.
“Berulang kali kami berjuang, hanya saja, para pengambil kebijakan seperti masa bodoh,” katanya.
Besarnya tuntutan ganti rugi, demikian Boli Gebze, senilai Rp 4 miliar.
“Hari ini harus bayar. Kalau tidak, kami akan gembok semua ruangan kelas ,” tegasnya.
Setelah adanya negosiasi bersama pemerintah, akhirnya dijanjikan akan diakomodir dalam APBD perubahan. Olehnya, pemilik ulayat diminta membuka sasi maupun tenda sekaligus pulang ke rumah masing-masing.
Saat itu juga, Bupati Freddy memberikan bantuan dana senilai Rp 50 juta. Sekaligus meminta masyarakat empat marga tak melakukan pemalangan lagi. Karena nantinya akan diselesaikan pemerintah.
Berikutnya adalah pemalangan SMP dan SMA Luar Biasa Merauke yang beralamat di Jalan Nowari oleh Samirudin yang mengklaim sebagai pemiliknya.
Usai pemalangan dengan menggembok beberapa ruangan kelas, sehingga berdampak terhadap tidak berjalannya proses belajar mengajar, membuat Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Merauke, Felix Liem Gebze, harus turun tangan menyelesaikan.
“Memang pemalangan bukan baru sekali dilakukan, tetapi sudah beberapa kali. Lalu perlu diketahui bahwa tanah yang digunakan untuk membangun SMP dan SMA Luar Biasa adalah aset pemerintah,” ungkapnya.
Olehnya, jelas dia, ketika ada yang mengklaim sebagai pemilik, silakan menempuh jalur hukum.
“Nanti pemerintah akan siap menghadapi di pengadilan,” tegasnya.
Khusus tanah Bandara Mopah seluas 60 hektar, dari catatan Jubi, kurang lebih empat kali dalam tahun 2018, masyarakat pemilik ulayat dari Yobar, Spadem, dan Kayakai melakukan aksi demonstrasi di kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Merauke maupun di luar area bandara setempat.
Aksi demonstrasi itu dipimpin Waros Gebze sebagai salah satu pemilik ulayat. Mereka meminta ganti rugi senilai Rp 800 miliar kepada pemerintah.
“Ini tanah kami dan harus diselesaikan pemerintah. Jika tidak, pemilik ulayat akan menduduki areal 60 hektar yang belum dibayar,” kata Waros.
Dia pun mengaku sampai sekarang belum ada pembayaran. Sehingga pemilik ulayat dari tiga tempat itu berencana melakukan aksi demonstrasi kembali.
Rupanya aksi selama beberapa kali dilakukan, membuat Bupati Merauke, Frederikus Gebze, harus bekerja keras dengan membentuk tim khusus agar melakukan komunikasi ke Kementerian Perhubungan RI di Jakarta.
Pemkab Merauke, jelas bupati, tak bisa mengalokasikan anggaran dari APBD untuk membayar. Karena keterbatasan anggaran sehingga harus diambilalih kementerian terkait.
Sementara persoalan tanah ulayat di Distrik Kaptel yang sempat dipersoalkan pemilik ulayat pada Oktober 2018, telah diselesaikan secara baik. Dimana, PT Nutfa Marind Mandiri menyatakan kesediaan membayar uang tali asih kepada delapan marga masing-masing senilai Rp 300 juta.
Proses pembayaran dilakukan setelah delapan marga menggembok pintu kantor perusahan dan areal yang digunakan untuk ivestasi kelapa sawit.
Setelah pemalangan dan pertemuan dilakukan selama beberapa kali, akhirnya perusahaan menyanggupi membayar, namun dilakukan secara bertahap.
Oleh karena adanya kesepakatan demikian, pemilik ulayat membuka gembok dan tak melakukan pemalangan lagi. Karena uang tali asih telah diselesaikan pihak perusahaan. (*)