Peluang dan tantangan Pemilu 2024

papua, pemilihan
Ilustrasi. -pixabay.com

Papua No.1 News Portal | Jubi

Oleh: Victor Ruwayari

Pasca Orde Baru, sistem pemilu Indonesia mengalami berbagai pergeseran. Sistem pemilu yang dianut di Indonesia saat ini adalah sistem pemilu yang dilakukan dalam tahapan pemilu legislatif (pileg), pemilu presiden (pilpres), dan pemilihan kepala daerah provinsi dan kabupaten/kota (pilkada).

Pemisahan sistem pemilu tersebut, dinilai kurang efektif dan efisien dalam pelaksanaan pemilu yang menganut pemerintahan sistem presidensial, karena menimbulkan berbagai permasalahan, seperti konflik yang terus terjadi antara berbagai kepentingan kelompok maupun individu, pemborosan anggaran dalam penyelenggaraannya, maraknya politik uang, politisasi birokrasi, dan tingginya intensitas pemilu di Indonesia.

Intensitas penyelenggaraan pemilu, pilpres dan pilkada yang terlampau sering tersebut, berdampak pada rendahnya tingkat partisipasi masyarakat sebagai akibat kejenuhan publik.

Persoalan lain dari format pemilu tersebut adalah fakta, bahwa penyelenggaraan pemilu legislatif selalu mendahului pemilu presiden, padahal pada saat yang sama kita sepakat untuk memperkuat sistem presidensial.

Pemilu legislatif yang mendahului pemilu presiden dalam skema presidensial jelas sebuah anomali, mengingat di dalam sistem presidensial lembaga eksekutif terpisah dari lembaga legislatif.

Di sisi lain, penyimpangan ini berisiko pada implementasi sistem presidensial itu sendiri, baik dalam praktik politik, maupun pemerintahan. Salah satu risiko itu adalah berlangsungnya pencalonan pilpres yang “didikte” oleh hasil pemilihan legislatif.

Artinya, tidak semua parpol bisa mengajukan pasangan calon (paslon) untuk pemilihan umum presiden. Hanya parpol atau gabungan parpol yang memenuhi syarat ambang batas perolehan suara atau kursi minimal tertentu, yang dapat mengajukan paslon presiden dan wakil presiden.

Dengan demikian, nampak jelas bahwa baik pileg, maupun pilpres belum dirancang, untuk memperkuat dan meningkatkan efektivitas pemerintahan presidensial.

Pileg diselenggarakan hanya untuk sekadar mengisi keanggotaan lembaga-lembaga legislatif, sedangkan pilpres dengan seluruh prosesnya dilaksanakan hanya untuk memilih presiden dan wakilnya, tanpa dikaitkan dengan kebutuhan akan optimalisasi kinerja pemerintahan presidensial hasil pemilu itu sendiri.

Singkatnya, tujuan governability atau terbentuknya pemerintahan, yang dapat memerintah secara efektif, cenderung terabaikan dalam format pemilu-pemilu kita.

Untuk menjawab berbagai permasalahan tersebut, diperlukan adanya terobosan kebijakan solutif, berupa rumusan desain/format pemilu dengan hasil, yang mampu menjamin terlaksananya efektivitas dan optimalisasi sistem presidensial, yang responsif dan partisipatif.

Selain itu dari segi teknis, desain/format tersebut mampu menjadi penawar atas kejenuhan publik, sehingga pada akhirnya, partisipasi masyarakat dalam demokrasi elektoral pun meningkat, dengan harapan pemilu akan menjadi intermediant perwujudan demokrasi yang lebih substansial.

Di sisi lain konsekuensi pelaksanaan pemilu serentak telah dilaksanakan pada tahun 2019 sebagai perwujudan dari keputusan MK RI Nomor, 14/PUU-11/2013. Namun pemilu serentak tahun 2024 hingga kini belum terealisasi dengan jelas pelaksanaannya.

Penyelenggara pemilu (KPU sebagai inisiator penyelenggaraan pemilu) sudah harus siap dengan mendesain berbagai program tahapan, demi tahapan menyongsong pemilu tahun 2024.

Berdasarkan hal di atas, penulis memberikan beberapa pandangan tentang peluang dan tantangan mewujudkan pemilu serentak 2024, dalam perspektif penyelenggara pemilu, yang terkait dengan permasalahan tersebut.

Pemilu serentak dianggap akan mengurangi kelemahan-kelemahan praktik politik yang selama ini terjadi. Ada beberapa peluang dan tantangan pemilu serentak (pilpres dan pileg) bagi penyelenggara pemilu, antara lain:

Peluang

Adanya pemilu serentak bagi penyelenggara pemilu adalah efisiensi biaya pemilu itu sendiri. Dalam konteks Indonesia, penyelenggara pemilu meliputi KPU dan Bawaslu, yang dalam pelaksanaan tugasnya secara etis dikontrol oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).

KPU bertanggung jawab atas penyelenggaraan pemilu, mulai dari pendataan pemilih, menerima dan memvalidasi nominasi kontestan pemilu, baik partai politik, maupun kandidat, melaksanakan pemilu, perhitungan suara dan rekapitulasi suara.

Sementara Bawaslu bertugas mengawasi pelaksanaan pemilu, agar sesuai dengan asas pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.

Dalam pelaksanaan peran dan fungsi tersebut, tentunya terkait banyak aspek teknis pemilu dan manajemen pemilu yang harus dilakukan.

Sistem pemilu yang berbeda membutuhkan pengaturan dan persiapan, serta manajemen pemilu yang berbeda. Peluang terbesar dari penyelenggara pemilu dengan dilaksanakannya pemilu serentak, adalah efisiensi anggaran pemilu, karena pemilu tidak lagi dilaksanakan berkali-kali.

Tantangan

Perubahan sistem pemilu dari pemilu bertahap menjadi pemilu serentak membawa konsekuensi teknis penyelenggaraan pemilu yang cukup besar. Pelaksanaan pemilu serentak membutuhkan kapabilitas dan profesionalitas penyelenggara pemilu yang baik.

Meskipun pemilu serentak rentang waktu pelaksanaan pemilu menjadi lebih pendek dan penggunaan anggaran lebih efisien, persiapan penyelenggaraan pemilu membutuhkan waktu yang cukup panjang.

Aspek teknis penyelenggaraan pemilu menjadi lebih rumit. Logistik pemilu menjadi lebih banyak, sehingga harus dipersiapkan secara matang agar pelaksanaan pemilu tidak mengalami hambatan.

Masalah kapabilitas penyelenggara pemilu ini sangat penting untuk suksesnya pemilu serentak. Apabila terdapat permasalahan kapabilitas dalam menangani logistik, pemilu legislatif dan pemilu presiden secara terpisah merupakan pilihan.

Pemilu serentak juga membutuhkan kertas suara yang lebih banyak dan waktu yang dibutuhkan pemilih dalam bilik suara menjadi lebih banyak. Oleh karena itu, penyelenggara pemilu dituntut untuk bisa mendesain surat suara yang lebih sederhana.

Selain itu, sosialisasi kepada pemilih harus dilaksanakan secara lebih luas, baik dari segi kualitas, maupun kuantitasnya, agar tetap tercipta pemilu yang berkualitas pula.

Beberapa tantangan lain dalam penyelenggaraan pemilu serentak, terkait dengan penyederhanaan dalam penyelenggaraan pemilu, adalah perubahan sistem pemilu, yang berbasis pada pilihan partai (sistem proporsional daftar tertutup) dan penyederhanaan sistem kepartaian, serta penataan kembali daerah penelitian.

Aspek sinkronisasi undang-undang, terutama Undang-Undang Pemilihan Umum Presiden, UU Pemilu dan UU Partai Politik, juga menjadi sangat penting bagi penyelenggara pemilu.

Semua kebijakan yang mendukung penyelenggaraan pemilu serentak akan terwujud, apabila penyelenggara pemilu menjalin kerja sama yang baik dengan DPR dan Pemerintah.

Selain memperhatikan peluang dan tantangan pemilu serentak di atas, secara teknis, hambatan penyelenggaraan pemilu serentak 2024 harus bisa menghitung dan menjawab persoalan tentang norma pengaturan pemilu serentak itu.

Misalnya, jadwal, tahapan dan program, termasuk pola rekrutmen penyelenggara pemilu sampai ke tingkat bawah yang tidak mengganggu berlangsungnya jadwal, tahapan dan program satu siklus pemilu utuh, sampai soal eksekusi di lapangan, yang melibatkan pengamanan pemilunya (penyelenggara, logistik, proses pemilu, pengumuman hasil, pelantikan).

Sepanjang semua hal teknisnya diperhitungkan dan pengaturan dasarnya dimuat dalam ketentuan undang-undang, pelaksanaan teknisnya tidak akan ada masalah.

Untuk meminimalisasi hambatan dalam penyelenggaraan pemilu serentak tahun 2024, beberapa hal (upaya) yang dapat dilakukan adalah adanya Undang-Undang Pemilu Serentak, yang mengatur garis besar penyelenggaraan Pemilu Serentak itu. Tidak perlu rigid (kaku) karena ini yang akan dituangkan dalam peraturan KPU.

Koordinasi dengan berbagai pihak yang berhubungan dengan pemilu, tentu menjadi hal yang harus selalu dijalin bahkan sejak saat ini. (*)

Penulis adalah komisioner KPU Kabupaten Sarmi, Papua

 

Editor: Timoteus Marten

Leave a Reply