Papua No. 1 News Portal | Jubi
Oleh Dr Joseph D. Foukona*
Menyusul keputusan pemerintah, pada 25 Maret lalu Gubernur Jenderal Kepulauan Solomon, Sir David Vunagi, menetapkan keadaan darurat kesehatan masyarakat menanggapi pandemi Covid-19 di negara itu.
Kepulauan Solomon adalah salah satu dari beberapa negara di dunia yang masih bebas kasus virus Corona. Peraturan Pemerintah (PP) Emergency Powers (Covid-19) Tahun 2020 memberikan wewenang kepada Perdana Menteri Manasseh Sogavare untuk menetapkan kebijakan melindungi negara itu dari pandemi dan mencegah penyebarannya jika ada kasus yang dilaporkan.
Pembatasan perjalanan telah diberlakukan, penerbangan internasional dihentikan (kecuali pesawat kargo), dan sekolah-sekolah ditutup. Perbatasan maritim dengan Papua Nugini antara Kepulauan Shortland dan Bougainville juga ditutup.
Keputusan pemerintah untuk menerapkan keadaan darurat diterima secara meluas sebagai kebijakan yang penting diambil untuk melindungi negara itu dari Covid-19. Dari kulitnya keputusan itu juga terlihat sejalan dengan konstitusi Kepulauan Solomon.
Namun, baru-baru ini ada desakan yang tegas untuk memeriksa apakah pemerintah telah memolitikkan keadaan darurat itu, dan apakah tindakannya masih sesuai konstitusi.
PP baru ini memberikan PM kekuatan untuk memerintahkan pembatasan pergerakan orang-orang, kapal,dan pesawat terbang, membatasi pertemuan di tempat publik, menangguhkan media, dan menyatakan tempat publik sebagai zona darurat. Pembatasan ini melanggar hak-hak dasar manusia, seperti hak untuk bepergian, hak berkumpul dengan bebas, dan kebebasan berekspresi sebagaimana diabadikan dalam konstitusi.
Posisi pemerintah saat ini adalah bahwa PP Covid-19 yang baru telah membatasi hak-hak dasar manusia yang diakui dalam Konstitusi. Namun, pembatasan ini tidak mutlak.
Pengadilan Tinggi Kepulauan Solomon, dalam kasus hukum Douglas v Attorney General [1999] SBHC 147 menjelaskan isu ini sebagai berikut: “Jika ada pembatasan yang terkandung didalam, atau diterapkan dibawah otoritas hukum apapun, diberlakukan sesuai dengan keadaan darurat publik, terbukti tidak dapat dibenarkan secara layak, (pembatasan) itu bisa dianggap tidak konstitusional dan tidak valid.”
Intinya adalah ada pertimbangan bahwa pembatasan terhadap hak-hak dasar orang di Kepulauan Solomon harus “bisa dibenarkan dengan layak… dengan tujuan untuk menangani situasi tertentu.”
Oleh karena itu, pertanyaannya haruslah apa saja yang dapat dibenarkan sebagai ‘layak’ atau sewajarnya dalam menangani pandemi Covid-19 – yang merupakan situasi dimana keadaan darurat publik telah diberlakukan. Sejumlah peristiwa yang terjadi baru-baru ini mendatangkan pertanyaan tentang apa yang ‘layak’, dan apakah tindakan pemerintah yang diambil sejauh ini telah benar-benar fokus, terutama, pada penanganan pandemi di negara itu.
Contohnya adalah pertanyaan tentang proses produksi (hasil) pembalakan hutan di seluruh negeri itu, dan penambangan fosfat di Rennell, yang masih terus berlanjut, termasuk pengiriman ke luar negeri, meskipun sudah ada deklarasi agar perbatasan ditutup.
Kapal kargo MV Worship Light diperbolehkan oleh bea cukai untuk menurunkan muatannya di dekat Honiara, padahal sebelumnya kapal itu diduga melanggar “peraturan maritim internasional dan domestik.” Pemimpin Provinsi Barat, David Lani Gina, juga mempertanyakan mengapa kapal kargo lainnya diizinkan berlabuh di Noro dan tidak melakukan karantina 14 hari seperti yang diwajibkan oleh peraturan pemerintah mengenai Covid-19.
Keduanya adalah contoh dimana peraturan yang ada tidak diterapkan sehingga berpotensi menodai tujuannya untuk mencegah penyebaran Covid-19.
Beberapa kasus lainnya juga memicu pertanyaan tentang tindakan apa yang bisa dikategorikan sebagai pembenaran keputusan dengan layak, terkait pencegahan penyebaran virus Corona.
Claude Posala, seorang pekerja kesehatan senior yang vokal terhadap isu-isu kesehatan, telah diberhentikan dari pekerjaannya pada 6 April, karena diduga melanggar peraturan akibat postingannya di media sosial dituding provokatif terhadap pemerintah.
Baru-baru ini juga pemerintah nasional mengancam akan menangguhkan Pemerintah Provinsi Malaita (MPG) karena gubernur provinsi itu, Daniel Suidani, dituduh mengeluarkan pernyataan yang menentang upaya pemerintah melawan Covid-19. Ini termasuk Ketika a memperingatkan pemerintah tentang menerima bantuan peralatan penanganan Covid-19 dari Tiongkok.
Setelah pemimpin kelompok oposisi, Matthew Wale, memperingatkan pemerintah agar tidak menangguhkan MPG “pada saat dimana persatuan sangat diperlukan”, pemerintah menanggapinya dengan klaim bahwa pernyataan Wale dimaksudkan untuk “menciptakan ketidakharmonisan” serta “memprovokasi kebencian terhadap pemerintah selama keadaan darurat negara itu.” Pemerintah menambahkan Wale “akan dilaporkan ke kepolisian karena melanggar tindakan darurat Covid-19.”
Contoh-contoh seperti itu menunjukkan bahwa pemerintah Kepulauan Solomon telah memolitikkan keadaan darurat ini, menggunakan kekuasaannya untuk memarginalisasikan siapapun yang mempertanyakan keputusannya, sementara mereka juga tidak konsisten dalam penerapan dan penegakan peraturan itu.
Peraturan Covid-19, di sampulnya, masuk akal secara konstitusional, dan memungkinkan pemberlakuan perintah yang dapat membatasi hak-hak dasar. Namun penerapan dan penegakannya juga harus konstitusional, yang dalam hal ini berarti cara penerapannya harus bisa dibenarkan. (The Interpreter)
*Dr Joseph D. Foukona saat ini bekerja sebagai Asisten Profesor dari Universitas Hawai’i, Manoa, AS. Dia juga adalah mantan dosen senior di Universitas South Pacific, Law School, di Port Vila, Vanuatu.
Editor: Zely Ariane