Papua No. 1 News Portal | Jubi
SUSAH-SUSAH gampang dalam merawat para warga lanjut usia (lansia). Para perawat harus betul-betul telaten dan sabar saat meladeni mereka.
Perawat sekaligus sebagai pengasuh mesti siap bersiaga selama seharian penuh untuk mengurusi dan melayani kebutuhan setiap lansia. Tidak hanya waktu, tenaga, dan kesabaran mereka juga harus ekstra.
“Satu oma (lansia) minimal dilayani dua pengasuh. (Kondisi) para lansia kembali seperti anak kecil sehingga penanganan harus ekstra. Ada saja yang mereka inginkan,” kata Pemimpin Panti Asuhan Santo Vincentius, Suster Florensia N Hokeng, kepada Jubi, dua pekan lalu.
Panti Asuhan Santo Vincentius merawat sebanyak empat lansia. Para pengasuh berusaha seoptimal mungkin melayani mereka secara manusiawi. Apa pun permintaan para lansia, langsung direspons oleh pengasuh.
Panti asuhan di Jalan Domba, Kota Merauke, ini sebetulnya banyak menerima permintaan pengasuhan terhadap lansia, tetapi belum bisa dikabulkan. Mereka masih kekurangan tenaga pengasuh.
“Mengasuh lansia jauh lebih rumit (repot) daripada mengurus anak-anak disabilitas,” ujar Suster Hokeng.
Hokeng bisa membandingkan kedua model pengasuhan itu lantaran mereka juga mengasuh anak-anak penyandang disabilitas. Ada sekitar 27 penyandang disabilitas diasuh panti yang dikelola Kesusteran Asosiasi Lembaga Misionaris Awam (ALMA) Merauke, tersebut.
“Kami masih memiliki tiga ruangan, yang saat ini ditempati anak-anak penyandang tunanetra. Ruang bisa dimanfaatkan untuk lansia (baru) ketika sudah ada orang yang siap dan menjaga mereka,” jelas Hokeng.
Tanpa diskriminasi
Panti Asuhan Santo Vincentius merawat para lansia secara profesional dan penuh kasih. Mereka tidak membeda-bedakan pelayanan berdasarkan latar belakang suku, ras, maupun agama.
Ini terlihat dari perlakukan mereka terhadap Oma Aty. Dia merupakan satu-satunya muslim dari empat lansia penghuni panti. Pengasuh tetap merawat dan melayani Aty sebagaimana tiga lansia lainnya.
Aty hidup sebatang kara. Dia ditampung di panti selepas menjalani perawatan di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Merauke.
“Dia janda dan sudah tidak memiliki keluarga. Awalnya dia sakit dan dirawat di RSUD Merauke,” ungkap Hokeng.
Panti Asuhan Santo Vincentius menjadi tempat tinggal Aty sejak Agustus tahun lalu. Dia sebelumnya sempat ditampung di Yayasan Santo Antonius (Yasanto) sekeluarnya dari RSUD Merauke. Karena Yasanto khusus merawat orang dengan HIV/AIDS (Odha), Aty akhirnya diboyong ke Santo Vincentius.
“Pelayanan panti asuhan tidak memandang suku, ras, maupun agama. Kami selalu memberi kesempatan kepada Oma Aty untuk berdoa setiap hari sesuai ajaran Islam (salat),” jelas Hokeng.
Perawatan paripurna membuat para penghuni merasa terlayani dan betah menetap di panti. Mereka salut dengan kesabaran dan ketekunan para pengasuh.
“Apa saja yang kami butuhkan, dilayani. Para suster dan pengasuh tidak kenal lelah dalam melayani kami,” kata Theresia Samkakai, lansia penghuni Panti Asuhan Santo Vincentius. (*)
Editor: Aries Munandar