Oleh: Soleman Itlay
Pemerintah Indonesia dan kelompok pro kemerdekaan Aceh (GAM) melakukan perundingan segitiga pada 15 Agustus 2005 di Helsinki, Finlandia. Perundingan mereka cenderung membicarakan status otonomi khusus (Otsus) di Aceh.
Saat itu tim perundingan Aceh dan Indonesia diinisiasi oleh Jusuf Kalla, mantan wakil presiden Indonesia. Kalla membentuk tim lobi atau semacam Pansus Otsus, untuk melakukan perundingan/dialog antara RI-GAM.
Dia memercayakan Hamid Awaluddin untuk melakukan lobi mewakili Indonesia berbicara dengan Martti Ahtisaari, mantan presiden Finlandia, agar sudi menjadi penengah guna melerai perdebatan Otsus antara RI-GAM. Lobi itu membuahkan hasil dan Ahtisaari menerima tawaran itu.
Manuver politik Indonesia kepada Finlandia (Martti) untuk dapat menjadi pihak ketiga atau mediator berhasil. Kemudian mereka (Indonesia – Finlandia) memiliki indikasi melakukan win-win solution secara diam-diam untuk memenangkan kolonial Indonesia.
Di samping itu, Indonesia serius meningkatkan kepercayaan kepada GAM, untuk menekan kecurigaan, ketidakpercayaan kepada GAM, sebaliknya agar kelompok kontra Otsus Aceh itu untuk mengakui bahwa Finlandia benar-benar pihak ketiga yang paling netral, independen, berkompeten dan profesional.
Perdebatan seputar agenda perundingan RI-GAM
GAM berharap agar agenda pengakuan kedaulatan politik bangsa Aceh, referendum, pelanggaran HAM dan lainnya ikut dibicarakan, tetapi Finlandia tidak mengorganisir tuntutan tersebut secara baik, juga karena Indonesia melakukan intervensi, sehingga agenda prioritas GAM tidak dimasukkan di dalam agenda perundingan antara RI-GAM.
Pada hari pertama, GAM meminta supaya perundingan keluar dari konteks Otsus agar tidak terkesan kaku. Sementara itu, Martti dan Indonesia menghendaki agar perundingan itu dilakukan dalam konteks Otsus saja.
Perbedaan pendapat ini sempat memanaskan meja perundingan, sampai-sampai pimpinan mediator Martti mengatakan kepada perwakilan GAM, “Coba lihat undangan dan agenda yang saya kirimkan kepada Anda semua. Di situ jelas terlihat bahwa kita melakukan dialog dalam kerangka Otonomi Khusus Aceh. Bukan dalam kerangka kemerdekaan.”
Seperti dilansir aceh.tribunnews.com dari Serambinews, 15 Agustus 2015 dalam berita berjudul “Cerita di Balik Perundingan GAM-RI di Helsinki” ia melanjutkan, “Saya percaya, Anda ke tempat ini pasti sudah membaca undangan dan agenda tersebut. Karena itu, Anda harus menyetujuinya sebelum ke sini.”
GAM bersikeras untuk memasukkan agenda mereka, tetapi usulannya menjadi sia-sia karena mereka menyampaikannya pada hari “H”, sehingga itu mustahil dan tidak mudah untuk melakukan agenda tersebut. GAM mendapat tamparan telak dengan tekanan psikologi politis yang sangat luar biasa. Tak hanya dari rakyatnya, lebih parah datang dari Martti, sang mediator perundingan segitiga GAM-RI.
“Jangan coba-coba lagi membawa agenda kemerdekaan di sini. Anda akan membuang-buang waktu saya di sini. Kalau Anda tetap mau merdeka, silakan tinggalkan meja perundingan dan tidak pernah kembali lagi kesini,” tegas Martti kepada perwakilan GAM.
Perdebatan panas mewarnai meja perundingan karena Indonesia membentuk tim perundingan secara sepihak bersama Finlandia, tim perundingan bukan lahir atas kesepakatan kedua belah pihak. Indonesia melakukan manuver politik dengan memanfaatkan hubungan bilateral dengan Martti.
Mereka memilih mekanisme perundingan insurgent dan belligerent. Tetapi menyusun format perundingan secara sepihak dan semaunya Indonesia dengan tetap menjamin aspek dispensasi politik terhadap Martti. Di sinilah masalahnya—memanaskan meja perundingan dan menimbulkan ketidakpuasan bagi bangsa Aceh hingga saat ini.
Perundingan GAM-RI ini menjadi sebuah pelajaran berharga bagi Indonesia dan West Papua. Bahwa dalam polemik Otsus Papua juga butuh dialog yang lebih bersifat perundingan segitiga, yang mengutamakan prinsip demokratis dan tetap merujuk pada mekanisme internasional yang legal, bukan dialog kedua belah pihak (Jakarta-Papua) semata.
Polemik Otsus Papua bisa melibatkan pihak ketiga
Boleh dikatakan Otsus di West Papua merupakan kebijakan domestik Indonesia. Tidak bisa melibatkan pihak asing untuk menjadi penengah. Dengan kata lain cukup untuk melakukan dialog dalam skala Jakarta-Papua, seperti yang selama ini didorong oleh JDP.
Tetapi semua orang harus memahami sejarah masa lalu yang penuh dengan perundingan sepihak tadi. Apapun masalahnya, persoalan West Papua saat ini membutuhkan perundingan segitiga dalam kontrol pihak ketiga.
Situasi dan kondisi Papua terkini sebagai akibat dari polemik Otsus, saat ini butuh pihak ketiga. Barang tentu pada 2021, situasi West Papua berubah dan semakin tidak kondusif akibat operasi militer, penembakan, penculikan, momentum PON 2021, bencana alam dan manusia.
Oleh karena itu, untuk menghindari konflik dan pertumpahan darah, juga kerugian material, sekaligus dalam rangka menjaga stabilitas keamanan dan kedamaian, mobilitas dan aksesibilitas ekonomi, maka diperlukan suatu perundingan segitiga yang legal. Kalau perundingan GAM-RI itu digelar dalam konteks kebijakan Otsus Aceh semata, mengapa perundingan yang sama tidak dilakukan untuk membicarakan status Otsus di West Papua yang akan berakhir pada 2021?
Tidak ada batasan yang mengikat soal itu. Justru perundingan segitiga seperti itu bisa dilakukan dalam konteks otsus di West Papua. Karena mekanisme insurgent dan belligerent sangat menjamin dengan adanya partisipasi dari negara/organisasi lain, dengan tetap merujuk pada pertimbangan akan adanya konflik besar-besaran.
Tidak pada satu mekanisme itu, kurang dan lebih mekanisme perundingan segitiga seperti jenis national liberation movement, international public companies, transnational corporation pun sangat relevan dalam rangka menyelesaikan persoalan West Papua yang berakar pada sistem politik aneksasi, atau yang penuh dengan unsur ideologi politik dan kepentingan ekonomi di West Papua.
Yang paling penting untuk perundingan segitiga dalam konteks West Papua dan kolonial Indonesia adalah:
Pertama, harus membuka ruang demokrasi, agar Indonesia dan West Papua duduk di sebuah tempat yang resmi dan membicarakan segala sesuatu;
Kedua, kalau sudah duduk bersama-sama, kedua belah pihak harus sepakat membentuk tim perundingan atau sama-sama meminta kepada PBB atau organisasi kawasan/negara merdeka yang tidak punya hubungan bilateral dengan Indonesia atau sebuah komunitas yang tidak memiliki hubungan diplomasi politik dengan orang West Papua.
Bisa saja, kedua belah pihak meminta kepada PBB agar mempercayakan kepada sebuah negara berdaulat atau sebuah organisasi yang independen, berkompeten dan profesional untuk memfasilitasi perundingan segitiga. Bisa juga kedua belah pihak, meminta langsung kepada sebuah negara atau lembaga tertentu untuk menjadi mediator perundingan segitiga.
Soal koordinasi dengan PBB nanti ditugaskan kepada mediator itu agar dialah yang menyampaikan rencana, target dan harapan untuk melakukan perundingan segitiga yang dimaksud. Bisa juga menempuh jalur lain, karena ‘banyak jalan menuju Roma”. Yang paling penting adalah jalan tersebut harus benar-benar jalan resmi, demokratis dan atas pengakuan dari kedua belah pihak;
Ketiga, agenda perundingan segitiga harus ditelaah, dipetakan, dirumuskan, dimasukan dan diorganisir secara komprehensif. Tidak boleh pilih kasih atau mengutamakan agenda satu kelompok satu saja. Tuntutan dari kedua belah pihak saat ini harus dijadikan sebagai agenda penting dalam perundingan segitiga tersebut.
Niscaya ini jauh lebih efektif dan akan diterima oleh semua pihak karena semua orang merasa bahwa tim perundingan ini sangat aspiratif dan demokratis. Kelak pasti tidak akan menimbulkan kekecewaan dan kecaman, gugatan dan protes. Karena prosesnya sangat terakomodir baik dari kedua belah pihak.
Di dalam tim itu harus dan wajib melibatkan orang-orang dari kedua belah pihak, maka tidak perlu lagi membentuk tim Pansus Otsus atau mengorganisir milisi maupun masyarakat sipil yang berpotensi menimbulkan kerusuhan, pertumpahan darah, pelanggaran HAM dan genosida di tanah yang katanya diberkati oleh Tuhan itu.
Bicara di meja MSG
Dalam perundingan itu, dari Indonesia mempunyai tim perwakilan sendiri, yang meliputi presiden, panglima, Kapolri, Mendagri, Dirjen otonomi daerah, pemerintah daerah, termasuk pemerintah Provinsi Papua, DPR Papua, MRP, pengusaha, milisi kolonial dan lainnya. Dari pihak orang West Papua cukup diwakili oleh ULMWP bersama TPNPB/OPM.
Semua organisasi pergerakan, perjuangan dan perlawanan sudah berafiliasi di dalam organisasi lama dan baru yang koordinatif itu. Jadi, rakyat maupun organisasi ‘kiri’ tidak perlu dilibatkan.
Kalau semua pihak dilibatkan, maka nanti bisa (baku) rebut, kacau, dan menimbulkan kerusuhan. Untuk menghindari itu, cukup melakukan perundingan segitiga dari tim perwakilan Indonesia (terserah mau kasih nama apa) dan ULMWP/TPNPB/OPM).
Salah satu tempat yang paling efektif adalah di MSG. Indonesia saat ini menjadi anggota asosiasi di sini, sedangkan ULMWP menjadi anggota observer.
Keduanya, bisa melakukan perundingan segitiga di sana. Bisa juga di tempat (negara lain). Yang penting tempat di tempat perundingan itu, keselamatan nyawa semua orang dan lainnya harus diutamakan. (*)
Penulis adalah masyarakat Papua, tinggal di Jayapura