Papua No.1 News Portal | Jubi
Jubi, PNG – Para pekerja seks di Papua Nugini (PNG) mendesak pemerintahnya agar mengesahkan undang-undang untuk melindungi mereka, setelah salah seorang temannya ditemukan sekarat dipinggir jalan raya ibu kota Port Moresby karena diperkosa secara berkelompok (gang-raped) dan dipukuli.
Salah seorang di antaranya berkata kepada The National: “Iya, dia memang pelacur. Kami semua juga. Dan kami punya alasan kenapa ada dalam situasi ini. (Namun) kami juga warga negara PNG. Kami juga manusia.”
Para pekerja seks tersebut setuju diwawancara asalkan tak menyebutkan identitas mereka karena dapat menjerumuskan mereka ke masalah hukum. Mereka bilang terpaksa masuk dalam bisnis pelacuran bukan karena pilihan namun perkara menyelamatkan hidup belaka.
Salah seorang mengatakan terpaksa “menjual tubuhnya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya,” dan sadar tak ada hukum yang akan melindungi mereka.
Mereka takut melapor ke polisi atas tindakan tak manusiawi dan jahat terhadap mereka yang dilakukan oleh laki-laki hidung belang yang membayar layanan mereka. Jika melapor justru merekalah yang bisa dapat masalah.
“Teman saya sudah diperkosa bergilir dengan brutal. Dia bahkan harus mengalami jahitan di alat kelaminnya. Dia dipukuli sampai hampir mati,” orang tersebut menjelaskan.
‘Orang Samaritan’ penolong korban
Dia menjelaskan jika saja tak ada seorang “Samaritan yang baik menemukannya dan bergegas membawanya ke rumah sakit”, rekan kerjanya itu mungkin tak akan selamat dan tak akan bisa menceritakan kejahatan yang menimpanya itu.
“Dia bahkan tidak bisa ajukan tuntutan karena prostitusi itu ilegal. Kami tak punya hak (perlindungan).
“Kami bisa saja dibunuh besok dan tak seorangpun akan peduli karena kami hanya pelacur.
“Tetapi (masyarakat harus ingat) bahwa kami juga manusia dan kami juga warga negara Papua Nugini.”
Korban yang berusia 24 tahun itu mengatakan dirinya dibayar untuk menghabiskan waktu satu jam dengan kliennya.
Klien itu membawanya ke sebuah penginapan di Port Moresby tempat dimana delapan orang memerkosanya. Dia bilang sudah menjerit meminta pertolongan namun orang di luar hanya menertawakannya.
“Tak ada satu pun yang menolong menskipun saya menjerit meminta tolong. Ada orang-orang di luar. Saya bisa dengar mereka tertawa dan bilang (kau itu pelacur). Ya, benar saya dibayar satu jam untuk melayani klien, tapi itu hanya satu orang.”
Usulan UU digagalkan
“Pada 2016, usulan undang-undang untuk melindungi pekerja seks diajukan ke parlemen oleh anggota parlemen Sumkar saat itu Ken Fairweather. Namun gagal oleh kerasnya penolakan.
Pada Februari tahun ini, Menteri Kehakiman dan Kejaksaan Agung Davis Steven mengatakan posisi terkait UU prostitusi di PNG tidak jelas.
Dirinya sedang menunggu Jaksa Penuntut Umun “memberikannya dukungan hukum spesifik untuk hal-hal semacam itu”.
Penjabat Sekeretaris Departemen Pengembangan Komunitas, Agama, dan Pemuda Pala Yondi sebelumnya mengatakan departemennya sangat prihatin terkait serangan, pelecehan dan perkosaa. tersebut karena tak ada perangkat hukum yang bisa menlindungi.
Konferensi Keuskupan Katolik PNG dan Keuskupan Kepulauan Solomon Rochus Tatamai menyalahkan maraknya pekerja seks akibat “krisis ekonomi” saat ini. (Oleh Rebecca Kuku di Port Moresby)
*Pacific Media Centre menerbitkan kembali artikel The National ini atas izinnya.
Editor: Kristianto Galuwo