Papua No.1 News Portal | Jubi
Fiji, Jubi – Sebuah kelompok advokasi HAM di Pasifik menyatakan bahwa pekerja seks dan komunitas LGBTQI di Fiji masih ragu-ragu untuk mengakses layanan publik akibat kekerasan, stigmatisasi, dan diskriminasi yang dilakukan terhadap mereka.
Hal tersebut diungkapkan saat konsultasi Diverse Voices and Action for Equality pekan lalu di Lautoka.
Jaringan advokasi pasifik, Pacific Rainbows Advocacy Network (PRAN), mengatakan bahwa bagi anggotanya menjadi korban penganiayaan itu adalah hal yang biasa.
Koordinator kelompok itu dan aktivis LGBTQI Bonita Qio menjelaskan bahwa hal seperti itu dibiarkan terjadi, dan karenanya itu terjadi setiap hari.
Qio adalah salah satu dari enam panelis dalam sesi talanoa konsultasi ini, dan ia mengatakan bahwa pekerja seks dan anggota komunitas LGBTQI di Fiji sudah menerima penganiayaan sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari mereka.
Qio juga menerangkan bahwa ia sangat paham akan tantangan dan kesulitan ini karena PRAN bekerja bersama-sama dengan pekerja seks dan komunitas LGBTQI di Nadi, Lautoka dan Ba. Menurutnya pekerja seks dan anggota komunitas LGBTQI menghadapi stigma dan diskriminasi, dan ini berdampak pada kesehatan mental mereka.
Penderitaan yang mereka alami akibat isu-isu ini telah membentuk kepribadian kita saat ini, katanya.
“Kami diolok-olok, orang-orang mengejek kami,” katanya. “Kata mereka kami adalah orang-orang yang menyebabkan penyakit ke Fiji. Ini mengancam keamanan kami, ketika kami pergi ke toko, pergi ke tempat lainnya, berjalan di jalanan. Saya kaget dengan bagaimana anggota komunitas kami bisa menghadapi sikap publik seperti ini.”
Qio lalu menambahkan kelompoknya telah mendirikan Daulomani Home di Lautoka untuk membantu anggota komunitasnya yang sedang menghadapi persoalan-persoalan ini. Daulomani Home menampung orang-orang tunawisma dan pekerja seks, dan mereka berharap agar dapat lebih banyak bekerja sama dengan Kementerian Perempuan, Anak, dan Pengentasan Kemiskinan.
Qio juga ingin ada lebih banyak hal yang dilakukan untuk mencegah kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan di Fiji.
Pemerintah Fiji telah dituduh pilih-pilih dalam penanganan isu HAM, dimana yang terbaru adalah pendiriannya tentang pernikahan sesama jenis.
Perdana Menteri Frank Bainimarama menegaskan bahwa tidak akan ada pernikahan sesama jenis di Fiji selama partainya masih berkuasa.
Aktivis HAM mengecam komentarnya, menekankan bahwa setiap warga negara Fiji dilindungi oleh Konstitusi. (RNZ Pacific)
Editor: Kristianto Galuwo