Papua No. 1 News Portal | Jubi
Jayapura, Jubi – Kantor Komisi HAM PBB di Jenewa mendesak pemerintah Indonesia untuk menegakkan hak-hak masyarakat Papua atas kebebasan berekspresi, berkumpul dan berserikat secara damai sejalan dengan kewajiban internasionalnya, terutama menjelang 1 Desember, ketika sering terjadi aksi protes, ketegangan dan penangkapan.
“Kami juga meminta pihak berwenang untuk melakukan penyelidikan menyeluruh, independen dan tidak memihak terhadap semua tindakan kekerasan, khususnya pembunuhan, dan untuk semua pelaku – terlepas dari afiliasi mereka – untuk dimintai pertanggungjawaban,” kata Ravina Shamdasani, juru bicara Kantor HAM PBB regional Asia Tenggara di Bangkok, Thailand melalui pernyataan tertulis yang diterima Jubi, Senin (30/11/2020).
Menurut Ravina, Komisi HAM PBB terusik dengan meningkatnya kekerasan selama beberapa minggu dan bulan terakhir di provinsi Papua dan Papua Barat, serta meningkatnya risiko ketegangan dan kekerasan baru.
Dalam satu insiden pada 22 November, seorang remaja berusia 17 tahun ditembak mati dan seorang remaja berusia 17 tahun lainnya terluka dalam baku tembak oleh polisi, dengan mayat ditemukan di Gunung Limbaga, Distrik Gome di Papua Barat.
Sebelumnya, pada September dan Oktober 2020 ada rangkaian pembunuhan yang meresahkan setidaknya enam individu, termasuk aktivis dan pekerja gereja, serta warga non-pribumi tewas dalam rangkain pembunuhan tersebut. Juga, dua anggota pasukan keamanan tewas dalam baku tembak di Intan Jaya.
Penyelidikan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menemukan seorang pekerja gereja, Pdt. Yerimia Zanambani, seorang pendeta dari Gereja Injili Protestan, diduga telah dibunuh oleh anggota pasukan keamanan.
“Pembunuhannya hanyalah salah satu dari serangkaian kekerasan yang terjadi di seluruh kabupaten sepanjang tahun ini,” lanjut Ravina.
Selain itu, Komisi HAM PBB di Jenewa, menerima banyak laporan tentang penangkapan. Setidaknya 84 orang, termasuk Wensislaus Fatuban, seorang pembela hak asasi manusia dan penasihat hak asasi manusia untuk Majelis Rakyat Papua (MRP) dan tujuh anggota staf MRP, ditangkap dan ditahan pada 17 November oleh pasukan keamanan di Kabupaten Merauke di Provinsi Papua.
Penangkapan mereka terjadi menjelang konsultasi publik yang diselenggarakan oleh MRP tentang implementasi Undang-Undang Otonomi Khusus di provinsi Papua dan Papua Barat. Fatuban dan yang lainnya dibebaskan pada 18 November.
“Pakar hak asasi manusia PBB juga telah berulang kali menyatakan keprihatinan serius mengenai intimidasi, pelecehan, pengawasan dan kriminalisasi terhadap pembela hak asasi manusia untuk menjalankan kebebasan fundamental mereka,” kata Ravina.
Kekerasan dan penangkapan baru-baru ini adalah bagian dari tren yang diamati oleh Komisi HAM PBB sejak Desember 2018, menyusul terbunuhnya 19 orang yang bekerja di Jalan Tol Trans-Papua di Kabupaten Nduga oleh kelompok bersenjata di Papua.
Komisi HAM PBB mencatat terjadi peningkatan kekerasan lebih lanjut pada Agustus 2019, ketika protes anti-rasisme dan kekerasan yang meluas meletus di Papua dan di tempat lain setelah penahanan dan perlakuan diskriminatif terhadap siswa Papua di Jawa.
Tercatat juga oleh Jenewa, pasukan militer dan keamanan telah diperkuat di Papua dan banyak laporan tentang pembunuhan di luar hukum, penggunaan kekuatan yang berlebihan, penangkapan dan pelecehan dan intimidasi terus menerus terhadap pengunjuk rasa dan pembela hak asasi manusia.
“Kami prihatin dengan laporan bahwa elemen-elemen bersenjata dan milisi nasionalis terlibat aktif dalam kekerasan ini.” lanjut Ravina.
PBB, kata Ravina mendesak semua pihak untuk bekerja mencegah kekerasan lebih lanjut, terutama saat pembahasan tentang masa depan Otonomi Khusus Papua berlangsung. Sebab realitas di Papua saat ini menunjukan adanya kebutuhan mendesak akan sebuah platform untuk dialog yang bermakna dan inklusif dengan masyarakat Papua dan Papua Barat, untuk menangani keluhan ekonomi, sosial dan politik yang berkepanjangan.
“Ada juga kebutuhan untuk memastikan akuntabilitas atas pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu dan saat ini,” kata Ravina. (*)