Papua No. 1 News Portal | Jubi
Jayapura, Jubi – Pelapor Khusus PBB di Jenewa, hari ini Selasa (1/3/2022) kembali menyatakan keprihatinan serius tentang memburuknya situasi hak asasi manusia di provinsi Papua dan Papua Barat yang sering disebut Tanah Papua. Para pelapor khusus ini mengutip pelanggaran hak asasi terhadap penduduk asli Papua, termasuk pembunuhan anak, penghilangan, penyiksaan dan pemindahan massal orang-orang.
Para Pelapor Khusus ini, yakni José Francisco Cali Tzay (Pelapor Khusus untuk Masyarakat Adat), Morris Tidball-Binz (Pelapor Khusus untuk Pembunuhan di luar hukum dan penangkapan sewenang-wenang) dan Cecilia Jimenez-Damary (Pelapor Khusus untuk Hak Pengungsi Internal) , melalui siaran pers yang diterima Jubi Rabu (2/3/2022) pagi, menyerukan akses kemanusiaan yang mendesak ke Tanah Papua, dan mendesak Pemerintah Indonesia untuk melakukan penyelidikan penuh dan independen terhadap dugaan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) masyarakat adat Papua.
“Antara April dan November 2021, kami telah menerima tuduhan yang menunjukkan beberapa contoh pembunuhan di luar proses hukum, termasuk anak-anak kecil, penghilangan paksa, penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi dan pemindahan paksa setidaknya 5.000 orang asli Papua oleh pasukan keamanan,” kata para Pelapor Khusus ini.
Mereka mengatakan perkiraan menyebutkan jumlah keseluruhan pengungsi, sejak eskalasi kekerasan pada Desember 2018, antara 60.000 hingga 100.000 orang. Mayoritas pengungsi belum kembali ke rumah mereka karena kehadiran pasukan keamanan yang kuat dan konflik bersenjata yang sedang berlangsung.
Beberapa pengungsi tinggal di tempat penampungan sementara atau tinggal bersama kerabat. Ribuan penduduk kampung yang mengungsi telah melarikan diri ke hutan di mana mereka terkena iklim yang keras di dataran tinggi tanpa akses ke makanan, perawatan kesehatan, dan fasilitas pendidikan.
“Selain pengiriman bantuan ad hoc, lembaga bantuan kemanusiaan, termasuk Palang Merah, memiliki akses terbatas atau tidak ada sama sekali kepada para pengungsi. Kami sangat terganggu oleh laporan bahwa bantuan kemanusiaan untuk pengungsi Papua dihalangi oleh pihak berwenang,” kata José Francisco.
Masalah gizi yang parah telah dilaporkan di beberapa daerah dengan kurangnya akses ke makanan dan layanan kesehatan yang memadai dan tepat waktu. Dalam beberapa insiden pekerja gereja dilarang oleh pasukan keamanan untuk mengunjungi kampung-kampung tempat pengungsi mencari perlindungan.
“Akses kemanusiaan yang tidak terbatas harus segera diberikan ke semua wilayah di mana penduduk asli Papua saat ini berada setelah mengungsi. Solusi jangka panjang harus ditemukan,” ujar Cecilia Jimenez.
“Kasus-kasus ini mungkin merupakan puncak gunung es mengingat akses ke wilayah tersebut sangat dibatasi sehingga sulit untuk memantau kejadian di lapangan,” kata Morris Tidball.
Ketiganya mengatakan situasi keamanan di dataran tinggi Papua telah memburuk secara dramatis sejak pembunuhan seorang perwira tinggi militer Indonesia oleh Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) di Papua Barat pada 26 April 2021. Ketiganya juga menyebutkan kasus penembakan dua anak, berusia 2 dan 6, pada tanggal 26 Oktober 2021 di Intan Jaya yang menyebabkan satu dari dua anak itu meninggal.
“Tindakan mendesak diperlukan untuk mengakhiri pelanggaran hak asasi manusia yang sedang berlangsung terhadap penduduk asli Papua,” kata ketiganya.
Mereka juga menambahkan pemantau independen dan jurnalis harus diizinkan mengakses wilayah tersebut.
Para Pelapor Khusus ini menegaskan langkah-langkah yang diambil oleh Indonesia harus memastikan semua dugaan pelanggaran menerima penyelidikan menyeluruh, cepat dan tidak memihak. Investigasi harus ditujukan untuk memastikan mereka yang bertanggung jawab, termasuk perwira atasan jika relevan, dibawa ke pengadilan.
Pelapor Khusus adalah bagian dari apa yang dikenal sebagai Prosedur Khusus Dewan Hak Asasi Manusia. Prosedur Khusus, badan ahli independen terbesar dalam sistem hak asasi manusia PBB, adalah nama umum untuk mekanisme investigasi dan pemantauan independen Dewan yang menangani situasi negara tertentu atau masalah tematik di semua bagian dunia. Para ahli Prosedur Khusus bekerja secara sukarela; mereka bukan staf PBB dan tidak menerima gaji untuk pekerjaan mereka. Mereka independen dari pemerintah atau organisasi mana pun dan melayani dalam kapasitas masing-masing. (*)
Editor : Dominggus Mampioper