Papua No. 1 News Portal | Jubi
Oleh Tess Newton Cain
Seharusnya kita tidak terkejut mengamati beragam tanggapan dari pemimpin-pemimpin dan masyarakat Pasifik tentang usulan untuk memasukkan negara-negara mereka ke dalam ‘gelembung’ perjalanan antar-Australia dan Selandia Baru, atau Trans-Tasman ‘travel bubble’ jika diperluas.
Tanggapan-tanggapan ini menunjukkan beberapa hal: adanya kekhawatiran ekonomi dan politik, dan kecemasan sosial yang juga harus dipertimbangkan. Kekhawatiran semua pihak pun berbeda-beda. Beberapa menyampaikan alasan mereka mengenai keprihatinannya lebih tegas daripada yang lain. Satu-satunya hal yang mengejutkan tentang perkembangan ini adalah bahwa masih ada pihak-pihak yang terkejut melihat reaksi ini.
Di Kepulauan Cook, Perdana Menteri Henry Puna telah menegaskan bahwa negaranya (yang tidak memiliki kasus Covid-19) perlu membuka kembali perbatasannya untuk wisatawan. Kepulauan Cook adalah salah satu negara yang paling bergantung pada sektor pariwisata di wilayah ini. Baru-baru ini lulus sebagai negara ‘maju’, pemerintahnya sekarang menimbang-nimbang untuk melepaskan status itu agar bisa mendapatkan bantuan keuangan yang saat ini sangat diperlukan. Namun, rasa cemas jika terlalu cepat mengambil keputusan dan mempertaruhkan kedatangan virus Corona yang mematikan sangat memberatkan pemimpin politik Pasifik.
Kawasan ini memiliki sejarah panjang dalam hal diserang oleh penyakit yang dibawa oleh orang asing, dan di Pasifik, orang-orang punya ingatan yang panjang. Bahkan jika mereka tidak punya ingatan yang baik, wabah campak yang mematikan di Samoa tahun lalu, yang menyebabkan lebih dari 80 kematian, masih sangat segar dibenal mereka. Baru-baru ini, Ralph Regenvanu, yang merupakan pemimpin blok Oposisi di Vanuatu, menegaskan bahwa pemeriksaan di negara keberangkatan masih diwajibkan sebelum memasuki negaranya.
Jadi, untuk sementara ini, tampaknya masih banyak orang di Pasifik yang siap untuk mengorbankan ekonomi untuk melindungi kehidupan manusia. Meski sudah banyak upaya yang dilakukan untuk meningkatkan sistem kesehatan di seluruh wilayah Pasifik, masih ada kekhawatiran bahwa mereka akan kewalahan jika wabah ini terjadi.
Pertanyaannya adalah, berapa lama ketegasan ini bisa dipertahankan? Di sejumlah negara, pemerintah telah memperkenalkan paket-paket stimulus untuk mendukung usaha-usaha dan orang-orang yang mengalami kesulitan ekonomi karena kehilangan lapangan pekerjaannya dalam semalam. Tetapi, meneruskan program-program ini untuk jangka waktu yang lama akan sangat sulit.
Sementara diskusi lebih marak tentang ‘gelembung’ perjalanan Pasifik atau ‘Pacific Bubble’ telah difokuskan seputar sektor pariwisata, kemungkinan besar pembukaan koridor ‘gelembung’ awal untuk memfasilitasi pergerakan tenaga kerja akan didahulukan. Ada sejumlah alasan mengapa ini lebih mungkin. Pertama adalah karena sudah ada banyak pekerja Pasifik di Australia dan Selandia Baru. Saat ini mereka terdampar di sana akibat upaya repatriasi oleh pemerintah mereka berjalan lambat dan penuh kehati-hatian. Nasib mereka cukup baik, sampai titik tertentu, karena visa mereka bisa diperpanjang dan mereka dapat terus bekerja dan mengirimkan uang ke keluarganya.
Kedua, banyak pemilik usaha di Australia dan Selandia Baru telah membangun hubungan baik yang memungkinkan pekerja dari Tonga, Vanuatu, Samoa, dan negara Pasifik lainnya untuk kembali tahun demi tahun. Untuk menjaga efisiensi dan produktivitas, mereka cenderung akan mempertahankan hubungan ini. Ketiga, sumber-sumber pekerja musiman lainnya, melalui para backpacker contohnya, kemungkinan tidak akan tersedia untuk waktu yang cukup lama. Akses pada pekerja yang berasal dari negara bebas Covid-19 mungkin akan lebih menarik bagi pengusaha yang belum pernah menggunakan terlibat dalam program mobilitas tenaga kerja Pasifik sebelumnya. Namun, masih banyak yang perlu dipelajari tentang di mana kesenjangan dalam permintaan tenaga kerja musiman yang sebenarnya dan apa yang mungkin akan terjadi.
Sekali lagi, yang diperlukan di sini adalah memulai percakapan antara mitra yang setara. Percakapan ini harus fokus pada pengumpulan sumber daya yang ada untuk bersama-sama menghadapi tantangan ini. Ini memberikan peluang untuk mengubah kebijakan ‘Pacific step-up’: untuk menggantikannya dari sesuatu yang dilakukan ‘bagi’ atau ‘untuk’ Pasifik, menjadi ke sesuatu yang dilakukan ‘dengan’ wilayah tersebut.
Sama seperti pertanyaan mengenai membuka kembali perbatasan bagi pengunjung, yang reaksinya cukup mengejutkan, kemungkinan besar akan ada reaksi beragam juga untuk fasilitasi pergerakan tenaga kerja dari Pasifik. Vanuatu adalah anggota penting dalam skema pekerja musiman di Selandia Baru dan Australia. Pemerintah PM Charlot Salwai sebelumnya telah menangguhkan partisipasi Vanuatu pada bulan Maret, dan kita belum mendengar pernyataan dari pemerintah Loughman mengenai apakah program itu akan dilanjutkan.
Pemikiran mengenai ‘gelembung’ ini harus diperluas lagi untuk juga memungkinkan peluang bagi Australia untuk menjadi pasar yang lebih baik dan lebih besar bagi produk-produk Pasifik. Salah satu yang penting adalah memprioritaskan uji coba impor kava. Seperti komentar Dr. Transform Aqorau, CEO dari iTUNA Intel baru-baru ini:
“Bagi saya, ‘gelembung‘ sekarang adalah bekerja bersama-sama menuju suatu ekonomi regional di mana kita saling jual beli produk satu sama lain, saling membantu dengan mempermudah warga kita untuk melakukan perjalanan secara bebas dan bekerja dengan mudah dalam ‘gelembung’ kita.”
Kembali ke topik pariwisata, dimana pembicaraan ini kita mulai, pemimpin-pemimpin politik dan industri di beberapa negara menginginkan partisipasi penuh. Perdana Menteri Selandia Baru dan Australia mungkin telah memberi kesan bahwa pembicaraan mengenai ini belum dimulai. Namun, itu tidak sepenuhnya benar. Forum Australia New Zealand Leadership telah mempertemukan sekelompok pakar dengan pemangku kepentingan dari lembaga pemerintah dan industri untuk melihat apa yang perlu dilakukan agar orang-orang dapat bepergian dengan aman antara Australia dan Selandia Baru dalam waktu dekat. Kelompok ini dipimpin oleh Ann Sherry, yang terkenal di Pasifik karena dulu menjabat sebagai CEO Carnival Cruises. Sherry adalah orang yang tepat untuk memastikan bahwa pemangku kepentingan di Pasifik menjadi bagian dari percakapan ini saat itu dimulai. (Griffith Asia Institute)
Editor: Kristianto Galuwo