Pasifik: optimisme mengalahkan Covid-19

Akibat jumlah turis yang mengunjungi Honiara berkurang, seniman lokal seperti Peter sekarang mengalami kesulitan dalam menjual hasil karya seninya. - Solomon Times/ Georgina Kekea
Akibat jumlah turis yang mengunjungi Honiara berkurang, seniman lokal seperti Peter sekarang mengalami kesulitan dalam menjual hasil karya seninya. – Solomon Times/ Georgina Kekea

Papua No. 1 News Portal | Jubi

Oleh Georgina Kekea

Read More

“Minggu ini saja saya hanya mendapatkan SBD $ 200,” kata Peter Likaveke, warga Honiara yang aslinya dari pedesaan Kepulauan Solomon.

Peter adalah pengukir dari sebuah provinsi bernama Choiseul yang terletak di sebelah tenggara Bougainville di Papua Nugini, dan merupakan salah satu provinsi terluar Kepulauan Solomon.

Saat ini Peter tinggal di Honiara dan menjual hasil ukirannya untuk mencari nafkah. Seperti banyak seniman lain di Honiara, ada banyak ruangan yang disediakan untuk seniman lokal seperti Peter di Galeri Nasional Kepulauan Solomon.

Tempat ini merupakan pusat seni yang dijalankan oleh Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata pemerintah Kepulauan Solomon, bagi penduduk setempat untuk menjual hasil seni dan kerajinan, lukisan dan hasil tempaan.

Tapi ruangan ini tidak gratis. Biaya sewa per ruangan, tergantung dari ukurannya, mulai dari SBD $500/bulan sampai SBD $1000/bulan. Peter menyewa ruangan yang $ 1000/bulan. Ruangan ini ia gunakan bersama dengan kerabatnya.

Kamis lalu (26/3/2020), ketika diwawancarai, Peter berkata dia belum berhasil menjual satupun ukirannya.

“Saya juga mempekerjakan satu staf penjualan yang berdagang dari satu lokasi ke lokasi lainnya. Hari ini dia pergi sampai ke King George tetapi seperti yang kalian lihat, dia tidak menjual apa pun hari ini,” kata Peter.

King George adalah lokasi di sebelah timur Honiara. Untuk sampai ke King George, ia harus berjalan kaki sekitar 5 km dari kawasan pusat perdagangan atau CBD Honiara. Pedagang lokal di Honiara sering kali berjalan kaki bolak balik rute ini mencoba menjajakan barang-barang mereka.

Ketika jumlah pengunjung di Honiara jatuh, orang-orang seperti Peter sekarang kesulitan mencari nafkah dari hasil kerja keras mereka.

Tidak seperti keperluan sehari-hari seperti sembako dan tisu toilet, barang-barang seperti ukiran dan hasil seni lainnya sekarang jatuh ke bagian akhir daftar belanja orang-orang. Bagi sebagian besar orang, barang-barang ini bahkan tidak masuk dalam daftar belanja mereka. Tetapi bagi Peter, uang yang diperoleh dari ukirannya adalah sumber pendapatannya.

Selama sekitar 30 tahun, hanya ini kehidupan Peter.

“Saya datang dari Katurasele di Choiseul Selatan. Saya punya keluarga di kampung saya. Ada beberapa cucu saya di kota,” kisah Peter.

Uang yang ia peroleh digunakan untuk menyokong keluarganya di kampung dan untuk kebutuhan sehari-harinya.

Pembatasan perjalanan yang diberlakukan oleh pemerintah nasional negaranya serta pembatasan secara global yang menghentikan pergerakan turis di seluruh dunia, benar-benar merupakan pukulan bagi orang-orang seperti Peter.

Dengan hilangnya kunjungan tahunan dari pengunjung yang menggunakan kapal pesiar ke Kepulauan Solomon, pelanggannya utama Peter sekarang adalah pengunjung yang datang ke Kepulauan Solomon untuk urusan bisnis. Sekarang, LSM-LSM dan pemangku kepentingan lainnya juga membatalkan pertemuan-pertemuan dan forum, ini berarti tidak ada lagi kesempatan bagi Peter.

“Pasar dalam negeri kita sangat kecil. Dan produk ini tidak seperti mie dan taiyo (tuna kalengan) yang dibeli orang-orang setiap hari. Saya tidak tahu harus bilang apa lagi. Kalau saya tidak bisa membayar sewa, saya harus menutup studio saya dan pulang,” kata Peter.

Di sebelah Galeri Nasional, ada hotel bintang 4, Heritage Park Hotel. Mempekerjakan 178 staf, hotel ini juga menghadapi permasalahan yang sama. Direktur Umum, Sanjay Bhargava, mengungkapkan sejumlah besar pemesanan kamar dan fasilitas lainnya di hotel itu telah dibatalkan.

“Ada banyak pembatalan selama Februari, Maret, semua sampai Agustus, September. Pemesanan kamar telah dibatalkan, konferensi telah dibatalkan. Semua pertemuan besar yang dijadwalkan sebelumnya, semuanya dibatalkan,” ungkap Bhargava.

Dia mengatakan mereka rugi SBD $ 40 juta dari hanya karena pembatalan pemesanan kamar saja.

“Kita telah menerima 485 pembatalan pemesanan kamar sampai sekarang”, tambah Bhargava.

Sebanyak 60 persen dari staf di Heritage Park Hotel adalah perempuan yang sebagian besar merupakan penduduk lokal. Tahun-tahun sebelumnya, Dewan Direksi dan tim manajemen Heritage Park Hotel sering kali bangga dengan pencapaian hotel itu. Dana perwalian pemerintah Kepulauan Solomon, Solomon Islands National Provident Fund, mencakup 20% saham hotel itu.

Tetapi dengan prospek yang suram sejak 2020 dimulai, Bhargava berkata, tanpa mengetahui dengan pasti berapa lama pandemi ini akan berlanjut, satu-satunya harapan mereka adalah agar situasi ini segera berakhir.

“Jika keadaan semakin memburuk, kita harus mulai menyusun rencana baru. Saat ini, kita tidak memiliki rencana kontijensi, tetapi pasti akan ada jika situasinya memburuk,” tegas Bhargava.

Pemotongan gaji, termasuk PHK, adalah langkah yang ia harap tidak akan terjadi. Namun, dia menambahkan, sudah ada langkah-langkah diambil untuk mengurangi biaya. Perekrutan staf baru sudah pasti merupakan salah satu langkah pertama yang akan dihentikan.

“Yang bisa saya katakan adalah agar orang-orang tidak panik. Upaya-upaya pencegahan yang perlu dilakukan orang, seperti menjaga kebersihan tangan, itu penting”.

Bagi Peter Likaveke, pengukir lokal, yang bisa dia katakan adalah agar orang-orang tetap optimis.

“Tetap percaya bahwa semuanya akan baik-baik saja. Tetap tersenyum dan semakin banyak tertawa, bahkan ketika situasi tidak baik. Inilah yang mendorong saya untuk terus berusaha,” katanya. (Solomon Times Online)

 

Editor: Kristianto Galuwo

Related posts

Leave a Reply