Parlemen Tonga tanpa perwakilan perempuan: saatnya untuk perubahan

Yang Mulia Putri Angelika Lātūfuipeka Halaevalu Mataʻaho Napua-o-kalani Tukuʻaho saat membuka acara Women’s Parliament 2021. - Parlemen Tonga

Papua No.1 News Portal | Jubi

 

Oleh ‘Ofa-Ki-Levuka Guttenbeil-Likiliki

Seperti sejumlah pemilu sebelumnya pada 2008, 2010 dan 2014, tidak ada caleg perempuan yang mencalonkan diri dalam pemilu Tonga tahun 2021 ini yang berhasil memenangkan kursi dapil.

Dari total 38.500 suara dalam pemilu kali ini, 34.198 suara diberikan untuk memilih caleg pria dan hanya 4.352 yang memilih 12 caleg perempuan, penurunan yang signifikan dari pemilu 2017 dimana suara perempuan mencapai 14%, menjadi 11% pada 2021. Satu-satunya petahana Anggota Parlemen perempuan yang maju, Losaline Ma’asi, juga tidak berhasil untuk mempertahankan kursinya untuk periode yang kedua. Dalam pemilihan cepat pada 2017, ia memenangkan 35% (1.034) dari total jumlah suara di dapilnya, Tongatapu 5. Kemarin, dia hanya memenangkan 23% (614).

Yang Mulia Putri Angelika Lātūfuipeka Halaevalu Mataʻaho Napua-o-kalani Tukuʻaho, pada pembukaan acara Women’s Parliament 2021, sebuah inisiatif yang bertujuan untuk mempromosikan partisipasi perempuan dalam dunia politik, hanya tiga hari sebelum pemilu diadakan, mengingatkan kita mengenai pentingnya untuk bergerak lebih dari sekedar kemauan untuk meningkatkan jumlah perwakilan perempuan di parlemen, tapi kita harus memiliki rencana aksi yang konkret untuk mencapainya. Yang Mulia Putri Angelika mengeluarkan pernyataan yang kuat, yaitu bahwa pengaturan politik yang diterapkan saat ini itu belum cukup untuk meningkatkan jumlah keterwakilan perempuan di parlemen. Hal ini sangat penting untuk memulai dialog dan kembali membahas dan memberikan pemahaman kepada pengambil-pengambil keputusan tentang Tindakan Khusus Sementara (temporary special measures/ TSM), yaitu langkah-langkah seperti mengalokasikan kursi untuk perwakilan perempuan, tindakan afirmatif dalam penentuan kuota dari partai politik, dan kuota legislatif yang sudah lama dibahas di Tonga.

Kaum perempuan di Tonga sudah diberikan hak pilih universal sejak tahun 1951. Ini adalah tonggak politik yang penting perempuan, perubahan yang dipimpin oleh mendiang Ratu Sālote Tupou III, yang merupakan satu dari hanya dua perempuan dalam sejarah Tonga yang bisa menduduki posisi raja dengan kuat. Namun, sejak 1951, hanya enam perempuan yang terpilih menjadi anggota parlemen.

Yang lebih ironis lagi, mayoritas dari masyarakat yang, bukan hanya mendaftar, tetapi juga memilih dalam pemilu, dalam semua pemilihan umum sejak 2005, adalah perempuan.

Jadi lebih banyak pemilih perempuan daripada laki-laki dalam pemilu ini juga. Tapi mengapa tidak ada satupun caleg perempuan yang berhasil? Untuk menjawab pertanyaan ini, saya akan merujuk pada dua penelitian.

Dua penelitian ini dilakukan untuk mempelajari persepsi pemilih tentang perempuan sebagai pemimpin di Tonga, yang dilakukan pada periode 2016-17 dan 2020-21, dengan menggunakan metodologi penelitian yang sama. Hasilnya menunjukkan bahwa mayoritas pemilih yang memenuhi syarat percaya bahwa pengambilan keputusan dan peran kepemimpinan yang besar sebaiknya diserahkan kepada laki-laki, dan bahwa peran seperti pekerjaan rumah tangga dan mengasuh anak adalah tanggung jawab perempuan. Studi yang sama juga membandingkan perspektif lainnya yang menunjukkan adanya standar ganda di masyarakat, termasuk: suami harus bekerja dan Ibu harus tinggal di rumah, jika kedua orang tua bekerja di luar rumah dan seorang anak sakit maka adalah tanggung jawab sang Ibu untuk tinggal di rumah dan membawa anak ke dokter, serta caleg laki-laki boleh merokok, minum alkohol dan menikah dua kali, tetapi caleg perempuan tidak boleh.

Namun hal yang paling kunci, keyakinan yang meluas bahwa kepemimpinan dan peran kunci pengambilan keputusan itu paling sesuai untuk laki-laki, sayangnya ini telah menyebabkan hasil yang kita lihat di setiap pemilu.

Untuk mengubah narasi ini, seseorang perlu memiliki pemahaman yang baik tentang perbedaan antara kesetaraan dan keadilan.

Di Tonga, perempuan tidak memiliki pengalaman sosial, budaya, politik, dan ekonomi yang sama dengan laki-laki. Masyarakat tidak memandang perempuan dengan cara yang sama seperti mereka memandang laki-laki. Standar moral dan harapan-harapan domestik tidak dijunjung tinggi dengan ketat terhadap laki-laki, tidak seperti standar yang diharapkan dari perempuan. Ini, secara otomatis, menyebabkan kemunduran untuk perempuan, lebih jauh lagi, dan lalu terlihat jelas bahwa lapangan bermain antara laki-laki and perempuan itu sama sekali tidak setara.

Keadilan itu memaksa kita untuk menggali lebih dalam dan berpikir lebih kritis. Untuk memahami pengalaman hidup perempuan, kita perlu membongkar dikotomi, baik yang pribadi maupun publik, yang sudah terbangun, yaitu ekspektasi patriarki dari masyarakat terhadap perempuan. Ekspektasi-ekspektasi sosial bahwa perempuan harus memprioritaskan mengurus keluarga dan urusan rumah tangga, merawat anak-anak, dan memenuhi kebutuhan suami mereka, hal-hal ini akan terus menghasilkan sikap-sikap yang tidak memihak perempuan sebagai pemimpin dalam pemilu.

TSM adalah langkah-langkah atau kebijakan-kebijakan yang dilakukan untuk membantu perubahan sikap dan perilaku selama periode waktu yang tidak permanen, agar masyarakat umum menjadi lebih terbuka terhadap perwakilan perempuan di parlemen. Khususnya bagi generasi yang lebih muda, ini dilakukan dengan ekspektasi bahwa dengan tingginya keterwakilan perempuan di parlemen, ini akan berubah menjadi norma bagi mereka, bukan lagi sesuatu yang luar biasa. Setelah kebijakan-kebijakan TSM lalu dibatalkan, negara akan beralih kembali ke prosedur pemungutan suara yang biasanya dengan harapan bahwa pemilih sudah tidak lagi memandang kepemimpinan berdasarkan peran gender. Contohnya seperti di Rwanda, amandemen pada konstitusinya yang dilakukan pada tahun 2003 telah menetapkan bahwa setidaknya 30% dari kursi parlemen harus dikhususkan untuk perwakilan perempuan. Pada 2018, komposisi anggota parlemen perempuan telah meningkat menjadi 60%.

Sebaliknya, dalam empat pemilu terakhir di Tonga, tidak pernah ada satu pun pemilu yang berakhir dengan lebih dari 8% keterwakilan perempuan di parlemen, dan seringkali, seperti saat ini, sama sekali tidak ada caleg perempuan yang menang. Kita memerlukan perubahan yang signifikan. Kita harus menargetkan agar ada setidaknya 30%, bahkan lebih, perwakilan perempuan di parlemen. Ini dapat kita lakukan dengan mengambil langkah di sisi legislatif. Jika hal ini masih tidak mungkin dicapai sekarang, maka kita perlu mengembangkan gerakan perempuan kita selama empat sampai lima tahun ke depan dan terus berjuang agar ada perubahan revolusioner dalam sikap dan pola pikir masyarakat – hal itu terbukti bisa dilakukan untuk meningkatkan keterwakilan perempuan. (Devpolicy Blog/ Development Policy Centre)

‘Ofa-Ki-Levuka (‘Ofa) Guttenbeil-Likiliki adalah direktur dari pusat krisis perempuan dan anak, Women and Children Crisis Centre (WCCC) di Tonga. Ia juga merupakan seorang aktivis hak-hak perempuan dan produser film.

 

Editor: Kristianto Galuwo

Leave a Reply