Tradisi Suku Marind-Kaliki: Membakar Dahulu, Berburu Kemudian

Papua
1. Beberapa tokoh adat Kampung Kaliki, Distrik Kurik, Kabupaten Merauke sedang memberikan keterangan kepada jurnalis Jubi yang melakukan peliputan gambut di Kaliki – Jubi/Frans L Kobun

Papua No. 1 News Portal | Jubi

Merauke, Jubi – Wartawan Jubi, Frans L Kobun melakukan dua peliputan indepth bertema lingkungan. “Tradisi Suku Marind-Kaliki: Membakar Dahulu, Berburu Kemudian” adalah satu dari dua Liputan Khusus hasil dari fellowship Indepth Reporting Auriga.

  • Membakar hutan dan berburu tak bisa dipisahkan dari kehidupan Suku Marind di Kampung Kaliki, Distrik Kurik, Kabupaten Merauke, Papua.
  • Tradisi berburu dengan terlebih dahulu membakar belukar ini dilakukan setiap musim kemarau, antara Juli-September, saat hutan dan rawa gambut sedang kering-keringnya dan hewan buruan lebih suka tinggal di jantung hutan. 
  • Toh, ada sejumlah tempat yang hingga sekarang dilarang keras untuk dibakar. Alasannya: Bisa karena tempat tersebut merupakan perlintasan antar kampung, bisa juga karena lokasi itu adalah dusun milik marga Gebze, Ndiken, Balagaize, Basik-Basik, atau Mahuze.

PERBURUAN DIMULAI DENGAN membakar rawa atau hutan gambut di tempat hewan biasanya berkumpul. Lahan bekas kebakaran itu kemudian dibiarkan selama beberapa hari, sampai tanaman dan rumput di atasnya menumbuhkan tunas baru. “Biasanya tiga atau empat hari atau seminggu lamanya,” kata Ketua Adat Mayo Kampung Kaliki, Melkius Gebze pertengahan Juni lalu.

Read More

Tunas-tunas muda itu, kata Melkius, akan mengundang binatang buruan seperti rusa, babi, maupun saham (kanguru dalam bahasa suku Marind) untuk makan. Saat berburu pun tiba.

Warga berangkat ke lokasi perburuan sembari membawa kebutuhan makan-minum, mulai dari umbi-umbian, sagu, hingga air minum, untuk beberapa hari. Mereka berburu berkelompok, biasanya terdiri dari 7-8 orang, agar lebih mudah saat mengejar dan mengepung hewan buruan.

Tentu saja mereka membawa peralatan ‘bertempur’ lengkap, seperti busur dengan anak panahnya serta parang. Senjata-senjata itu diasah tajam lebih dahulu. Parang nantinya akan digunakan membacok binatang jika jaraknya dekat. Busur dan anak panah digunakan untuk berburu dari jauh. Biasanya untuk rusa. “Itu semua peralatan yang perlu dipersiapkan karena kami berburu secara tradisional,” ujar Melkius.

Melkius mengungkapkan, lokasi perburuan sangat jauh dari kampung. Jaraknya bisa puluhan kilometer. Biasanya butuh setengah hari berjalan kaki untuk sampai lokasi.

Tiba di lokasi, warga tidak langsung mencari hewan. Mereka lebih dulu membangun bivak (hunian sementara) untuk mengaso. Dindingnya dari kulit kayu bus, sejenis kayu putih yang tumbuh di hutan. Atapnya dari daun pohon lontar. Baru keesokan harinya perburuan dilakukan, dari pagi, siang, hingga malam. Untuk berburu di malam hari mereka menggunakan senter.

Perburuan dilakukan berhari-hari, biasanya sampai empat hari, tergantung jumlah hewan buruan yang diperoleh. “Kadang-kadang dalam sehari kami tak bisa mendapat buruan, sehingga harus bertahan hingga hari berikutnya,” kata Melkius.

Hewan hasil buruan dipotong di tempat. Dagingnya saja yang dibawa pulang ke kampung. Sekali berburu mereka biasanya bisa membawa pulang daging rusa dua ekor, babi satu ekor, dan kanguru hingga tiga ekor. Warga biasanya berburu lima sampai enam kali dalam satu musim. “Seperti biasa, warga belum akan pulang ke kampung kalau belum mendapatkan buruan,” kata Melkius.

Sebagian hasil buruan itu dijual ke Distrik Kurik atau ke tengkulak yang datang ke kampung. Daging rusa dijual Rp 50.000/kg jika dijual di distrik, dan hanya Rp 30.000/kg jika dijual ke tengkulak di kampung. Adapun daging babi maupun kanguru dijual Rp 20.000/kg. Uang hasil menjual daging dimanfaatkan membeli kebutuhan hidup sehari-hari, dari beras, kopi-gula, dan lainnya.

Meskipun harga jual daging di Distrik Kurik lebih tinggi, warga Kaliki tak selalu bisa menjualnya di sana. Penyebabnya adalah kondisi jalan yang memprihatinkan. Jika dihitung, saat ini jalan ke Distrik mungkin punya lebih banyak lubang dibanding bagian yang rata. Di musim hujan seperti sekarang, lubang-lubah itu menjadi kubangan air. Besar dan dalam. Karena jalan ke distrik rusak, perjalanan harus ditempuh selama satu jam di musim kemarau dan hingga dua jam lebih di musim hujan. Potensi alam Kaliki pun, mulai dari umbi-umbian, sayur, pisang, dan—itu tadi–hasil buruan sulit dipasarkan.

Kampung Gambut

papua
Hamparan lahan gambut di Kampung Kaliki, Distrik Kurik, Kabupaten Merauke – Jubi/Frans L Kobun

Kaliki adalah salah satu kampung di Merauke yang berdiri di atas gambut. Gambut dalam Bahasa setempat disebut hoom. Artinya tanah goyang. Luas wilayah 32.530 hektar. Kedalaman gambut di Kaliki berkisar antara 50 sentimeter hingga 1 meter. Wilayah dengan ketebalan gambut hingga satu meter terdapat di sekitar Kali Bian.

Menurut Kepala Badan Sosial Ekonomi Yayasan Santo Antonius (Yasanto) Merauke, Djago Bukit, lahan gambut di Kampung Kaliki itu ada yang berupa hutan primer berupa lahan kering yang lebat kayunya, rawa primer dengan gambut yang basah secara permanen, dan rawa sekunder gambut kering.

Dihuni 126 kepala keluarga (KK) dengan 500 jiwa, warga Kaliki hampir seluruhnya menggantungkan mata pencarian pada lahan gambut. Di hoom itulah mereka berburu, menangkap ikan, meramu, dan—yang belakangan dikembangkan—bercocok tanam.

Menurut tokoh agama Kampung Kaliki, Pendeta Sevnat Oram Gat Mahuze, cara berburu dengan lebih dulu membakar hutan atau rawa gambut merupakan tradisi turun temurun suku Marind yang tinggal di Kaliki dan kampung-kampung di sekitarnya. Dengan teknik ini, warga mendapatkan binatang buruan untuk dikonsumsi atau dijual selama musim kemarau. “Kebiasaan membakar hutan untuk berburu ini boleh dibilang telah mendarah-daging, karena dengan teknik ini mereka dapat berburu binatang yang hasilnya bisa menopang hidup keluarganya,” kata dia.

Tapi, seiring perkembangan zaman, tradisi ini mengalami sejumlah perubahan. Kornelis Kaize, tokoh adat Kampung Kaliki mengatakan, di masa lalu hanya warga Kaliki dewasa yang membakar hutan. “Tapi saat ini anak kecil pun bisa membakar hutan,” kata dia.  “Siapa saja yang memegang korek gas dan bepergian ke hutan pasti membakar hutan, baik di wilayah yang di dalamnya terdapat gambut kering maupun di rawa gambut,” dia menambahkan.

Jika sekarang apinya dari korek gas, ujar Kornelis lagi, dahulu api itu dibuat sendiri. “Dengan menggesek-gesekkan bambu kering berulang kali hingga serbuknya terbakar,” ujarnya. “Begitu asap sudah muncul di serbuk, serbuk itu diambil dan ditiup hingga munculah api. Api itu lalu dibuang ke lokasi hutan yang hendak dibakar.”

Menurut Kornelis, dahulu lahan yang dibakar juga hanya di tempat-tempat atau titik tertentu saja. Adapun sekarang, “Kalau ada korek gas dipegang, pasti membakar ketika bebergian ke hutan,” ujarnya.

Toh, ada sejumlah tempat yang hingga sekarang dilarang keras untuk dibakar. Alasannya: Bisa karena tempat tersebut merupakan perlintasan antar kampung, bisa juga karena lokasi itu adalah dusun milik marga Gebze, Ndiken, Balagaize, Basik-Basik, atau Mahuze. “Dusun tak boleh dibakar karena di dalamnya terdapat sumber air, juga ikan dan beberapa jenis tumbuhan yang dijadikan sebagai bahan untuk anyaman tikar maupun topi,” kata Kornelis.

Namun yang paling berharga di dalam setiap dusun itu adalah pohon sagu. Menurut Kornelis, di dusun banyak tumbuh pohon sagu, yang menjadi makanan pokok warga. Karena itulah dusun merupakan sumber kehidupan masyarakat yang harus dilestarikan.

Soal pentingnya dusun sagu ini warga sudah paham betul. Menurut Djago Bukit, sebelum membakar lahan warga biasanya akan mengamankan dahulu wilayah yang ditumbuhi sagu dengan cara membersihkan area di sekitarnya. “Saya biasa melihatnya secara langsung di sejumlah titik di dalam area hutan di Kampung Kaliki,” katanya.

Namun adakalanya pohon sagu tetap kena api. Dampaknya tak sama antara pohon sagu yang tumbuh di hutan gambut kering dan gambut basah, karena perbedaan kandungan air di dalam gambutnya. Di area gambut basah atau gambut di rawa, ujar Djago, gambutnya tak mungkin kering. “Kalau terbakar, hanya bagian atasnya saja, karena di bawahnya tetap basah meskipun pada musim kemarau panjang,” katanya.

Karena itu, jika terbakar sagu di area gambut basah hanya hangus bagian kulit serta beberapa daunnya. “Api tidak sampai ke bagian dalam karena basah dan dipastikan (pohon sagu) tidak mati,” kata dia. “Hanya kalau terjadi kebakaran hebat barulah ada satu atau dua pohon yang terbakar.”

Lain halnya dengan pohon sagu di hutan gambut kering. Api bagi pohon sagu ini bisa mematikan. Namun, ujar Djago, jumlah pohon sagu di gambut kering di Kaliki untunglah tidak banyak. “Hanya ada beberapa, karena sagu lebih banyak berada di pinggir rawa.”

Toh, menurut Djago, yang juga menjadi Koordinator Lapangan FKKM Bogor di Kabupaten Merauke, kebakaran rawa gambut tetap berdampak pada ekosistem di dalamnya. Ikan dan tumbuh-tumbuhan akan mati. “Lebih jauh lagi, kebakaran itu pasti ikut menyumbang terhadap iklim dan pemanasan global.”

Kornelis membenarkan api dari kebakaran gambut pernah menyebabkan terbakarnya dusun sagu. Ia juga tahu kegiatan tersebut merusak ekosistem. “Memang ini juga menjadi salah satu dampak ketika kebakaran hutan terjadi di sejumlah titik yang praktis terjadi dari tahun ke tahun,” katanya.

Meski begitu, ujar dia, sampai saat ini tak ada aturan yang melarang warga untuk membakar hutan gambut kering maupun rawa. “Sejauh ini tak ada sanksi maupun larangan disertai penegakan hukum, sehingga kegiatan membakar hutan masih dianggap hal biasa dan terus dilakukan secara kontinyu setiap tahun, saat musim kemarau datang,” kata dia. Kalau ada larangan, ujarnya, “Tentunya akan dipatuhi.”

Meski tak ada larangan, menurut Pendeta Sevnat Oram Gat Mahuze, warga selalu diingatkan soal risiko dari membakar hutan. “Sungguhpun kebiasaan membakar hutan telah mendarah-daging dan selama ini bisa menopang hidup keluarga, ketika melakukan pengrusakan pasti akan datang resikonya secara perlahan,” kata dia. Contohnya, dusun sagu menjadi ikut terbakar selain ekosistem gambut ikut rusak.

Bercocok Tanam

Demi mengurangi kasus kebakaran di lahan gambut di Merauke itu, Badan Restorasi Gambut menggelar program Desa Peduli Gambut (DPG). Untuk wilayah Papua, ada dua kabupaten dampingan kemitraan DPG, yakni Merauke serta Mappi. Khusus Merauke, program digelar di tiga kampung, yakni Kaliki, Sumber Mulya, dan Sumber Rejeki. Dengan luas total 84 ribu hektare, ketiga kampung dipilih karena berada dalam kesatuan hidrologi gambut.

papua
Salah seorang warga Kampung Kaliki bersama Supervisor Kemitraan Desa Peduli Gambut Kampung Kaliki, Fourly sedang menunjuk gambut di salah satu area hutan di sekitar kampung – Jubi/Frans L Kobun

Supervisor Kemitraan Desa Peduli Gambut Kampung Kaliki, Fourly, mengungkapkan tahun lalu luas area kebakaran di hutan gambut maupun rawa di Kaliki mencapai sekitar 800 hektare. Adapun di Sumber Mulya dan Sumber Rezeki masing-masing sekitar 100 hektar.

Kebakaran di lahan gambut di Kaliki, kata dia, bukan hanya karena kegiatan perburuan. Kebakaran juga terjadi karena api dari pembakaran jerami padi di Kampung Sumber Mulya dan Sumber Rejeki yang terbawa angin ke lahan gambut yang kering. “Itulah beberapa temuan kita dapatkan di lapangan. Dari yang terpantau satelit,” katanya. “Proses bakar membakar lahan bukan hanya orang Kaliki, namun juga dari kampung-kampung sekitar.”

Fourly mengklaim, luas kebakaran tahun lalu itu mengalami penurunan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. “Kalau tahun sebelumnya mencapai 1000-2000 hektar,” katanya.

Dia mengatakan salah satu penyebab menurunnya kasus kebakaran di Kaliki adalah berkat adanya pendampingan melekat, sekaligus sosialisasi kepada masyarakat tentang gambut kering maupun gambut rawa yang dilakukan secara terus menerus. Bisakah kebakaran dihentikan?

Fourly menganggap hal tersebut merupakan target yang berat. “Kita hanya bisa berusaha mengurangi luasan yang terbakar.”

Pendeta Sevnat Oram Gat Mahuze punya saran agar warga bisa berhenti membakar gambut. Menurutnya, masyarakat bisa dibendung agar tak membakar hutan di dalam area gambut kering maupun rawa jika pemerintah memberikan perhatian secara khusus. Perhatian itu bukan dalam bentuk uang, tetapi dengan menyediakan lapangan pekerjaan baru. “Sehingga ada sumber pendapatan diperoleh masyarakat untuk bisa menghidupi keluarga,” ujarnya.

“Sepanjang tidak ada perhatian dalam bidang pemberdayaan ekonomi keluarga maupun kegiatan lainnya, sudah pasti kebiasaan membakar akan menjadi tradisi setiap tahun,” dia menekankan.

Saran pendeta Sevnat itu masuk akal. Warga Kaliki memang perlu sumber pendapatan baru agar berhenti berburu dengan membakar hutan. Apa yang dilakukan di luar musim berburu bisa menjadi contoh.

Menurut Kepala Kampung Kaliki, Thimotius Balagaize, di luar musim berburu dengan api, masyarakat Kaliki yang berjumlah 126 KK melakukan kegiatan mengolah lahan, entah dengan parang maupun cangkul, dan menanam umbi-umbian, sayur, Lombok, hingga pisang.  Dalam dua tahun terakhir, menurutnya, warganya juga sibuk membukaan lahan sawah seluas kurang lebih 100 hektare untuk kegiatan penanaman padi, setelah adanya bantuan peralatan maupun pendampingan melekat dari tenaga PPL. “Kini kami sedang sibuk melakukan panen dengan menggunakan harvester combine (mesin pemotong gabah),” kata dia. (*)

Editor: Yuliana Lantipo

 

Related posts

Leave a Reply