Papua tolak intervensi Presiden atur minuman beralkohol

Papua
Aksi massa menolak peredaran minuman keras di Kabupaten Jayapura, Sentani, Jumat (14/2/2020) - Jubi/Engelbert Wally.
Papua No. 1 News Portal | Jubi

PROVINSI Papua kini diizinkan memproduksi minuman beralkohol sejak 2 Februari lalu. Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah mengatur perizinan investasi untuk industri minuman beralkohol (minol), tetapi hanya kepada empat provinsi, yaitu Bali, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, dan Papua.

Presiden mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal yang diteken kepala negara pada 2 Februari 2021. Aturan itu merupakan turunan dari Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Read More

“Persyaratan, untuk penanaman modal baru dapat dilakukan pada provinsi Bali, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, Papua dengan memperhatikan budaya dan kearifan setempat,” tulis lampiran III perpres tersebut.

Respons penolakan langsung disampaikan dari provinsi tertimur Indonesia. Salah satu alasannya, karena Provinsi Papua memiliki Perdasi Nomor 15 Tahun 2013 tentang pelarangan peredaran minuman keras di Bumi Cenderawasih.

Anggota DPD Papua Barat, Filep Wamafma, yang menilai tak ada artinya meningkatkan investasi melalui industri minol namun di sisi lain kasus kriminalitas di Bumi Cenderawasih terus meningkat tiap tahunnya. Bahkan, ia menilai aturan tersebut tak akan menyelesaikan pelbagai persoalan keamanan.

“Persoalan hari ini enggak hanya persoalan politik, tapi pelanggaran-pelanggaran hukum dan kriminal diakibatkan oleh minuman beralkohol. Sehingga kita sebagai senator mempertanyakan komitmen pemerintah dalam menyelesaikan persoalan di sini,” kata kata Filep kepada CNNIndonesia.com, Jumat (26/2/2021).

Baca juga: MRP tolak perpres investasi miras di Tanah Papua

Hal serupa disampaikan Ketua Pokja Agama MRP, Yoel Mulait, di Jayapura, Minggu (28/2/2021). Penolakan disampaikan Mulait, karena peraturan itu peluang bisnis bagi pengusaha tetapi ancaman bagi OAP. Mulait mencontohkan angka kematian dan kriminalitas di Bumi Cenderawasih yang sebagian besar dipicu oleh minol.

“Kondisi hari ini, tingkat kriminalitas tertinggi termasuk kematian akibat minuman beralkohol dan narkoba sesuai data Polda Papua,” ungkapnya.

Dukungan MRP terhadap pelarangan minol mendapat dukungan semua pimpinan agama. Hal itu terungkap dalam rapat konsultasi dengan pimpinan sembilan organisasi gereja di Tanah Papua pada 24 Februari lalu.

Menurutnya langkah pemerintah pusat itu bertentangan dengan pelbagai peraturan daerah yang sudah dibuat oleh Pemda setempat terkait pelarangan minuman beralkohol.

“Apabila pemerintah mengizinkan minuman beralkohol di pasok di Papua, apa artinya Pemda dan rakyat tokoh agama dan tokoh gereja selalu berkeinginan agar minol itu haram di Papua?” katanya.

Penolakan juga datang Provinsi Papua Barat. Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) di Bumi Kasuari, Ustaz Ahmad Nausrau, mengatakan keputusan pemerintah itu bertentangan dengan apa yang sedang diperjuangkan oleh para tokoh agama dan pemerintah daerah yang sedang berjuang membebaskan generasi mudanya dari kecanduang minuman beralkohol.

“Peraturan tersebut akan memberi ruang bagi rusaknya generasi muda,” katanya.

Pemprov Papua sangat menyadari bahaya minol bagi generasi muda. Gubernur Lukas Enembe sempat meneken Peraturan daerah provinsi (Perdasi) Nomor 15 Tahun 2013 tentang pelarangan peredaran minuman beralkohol. Dasar dari penerbitan Perdasi Minol adalah UU Nomor 21 Tahun 2001, yaitu perlindungan bagi OAP.

Perdasi dikeluarkan setelah polda mengeluarkan rilis pada 2012 bahwa angka kriminalistas di berbagai polres di Bumi Cenderawasih, 75-90 persen diakibatkan oleh minuman beralkohol. Tingginya angka kriminalitas itupun berkorelasi positif dengan tingkat kematian anak muda saat itu.

Namun dalam pelaksanaannya, Perdasi tersebut kalah dalam sebuah gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) pada 17 Oktober 2017, karena dianggap regulasi itu bertentangan dengan aturan lebih tinggi. Akhirnya sejak 2017, Perdasi itu tidak pernah terlaksana dengan maksimal.

Mantan anggota DPRP jalur Otsus, Jhon Gobay, sempat mengusulkan agar wilayah ini meminta kepada Menteri Perdagangan, untuk mengeluarkan aturan yang isinya mendukung Perdasi 15 Tahun 2013.

“Saya kira itu adalah solusi agar ada kekuatan hukum yang lebih tinggi untuk ikut menguatkan perdasi itu,” katanya.

Namun kini Presiden mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 10 Tahun 2021 yang bertolak belakang dengan keinginan provinsi tertimur Indonesia ini. (*)

Editor: Yuliana Lantipo

Related posts

Leave a Reply