Jubi | Portal Berita Tanah Papua No. 1,
Oleh Ligia Judith Giay
DALAM beberapa artikel yang dimuat untuk menyikapi rasisme yang dialami orang Papua di Yogyakarta beberapa bulan lalu, ada satu hal yang saya anggap luar biasa mengganggu; yaitu komentar netizen bahwa orang Papua yang menyebabkan masalah ini, dan karenanya orang Papualah yang bisa menyelesaikan masalah ini. Saudara mungkin kenal pernyataan-pernyataan ini, biasanya diselubungi dengan kata-kata yang elegansinya beragam.
‘Suka mabuk-mabukan dan bikin onar, tapi teriak-teriak rasis!’
‘Namanya separatis ya pantaslah diperlakukan kayak gitu!’
Dua pernyataan ini sendiri memang rasis, kedua-duanya merujuk pada stigma untuk membuktikan bahwa orang Papua sudah selayaknya diperlakukan demikian. Ini celetukan standar dari orang-orang yang tidak mengerti, tapi seenaknya asal bicara. Orang-orang yang tidak pernah memikul tanggung jawab untuk orang-orangnya. Orang-orang yang selalu bisa berlaku sebagai individu yang tidak harus turut memikul dosa orang lain. Saya pernah punya teman dari Pandeglang yang tidak pernah bayar uang kost (baca: indekos), tapi toh tidak terbayang bahwa bapak kostnya akan kapok memberikan kamar kost-an pada orang Pandeglang lain. Orang-orang Pandeglang lain tidak akan harus membuktikan bahwa dia orang yang rajin bayar kos. Teman saya yang tidak pernah bayar kost tidak merusak reputasi orang Pandeglang. Orang Papua tidak punya privilese ini di luar Papua.
Tapi yang paling mengganggu dari komentar itu sebenarnya adalah usaha untuk melemparkan tanggungjawab kembali kepada orang Papua, bahwa semua yang menyulitkan orang Papua adalah konsekuensi dari tindakan orang Papua sendiri. Orang-orang ini percaya bahwa kalau saja orang Papua bisa berubah maka rasisme ini akan berakhir. Kalau saja orang Papua tidak separatis, bukan tukang buat onar atau pemabuk, maka orang Papua pasti akan diperlakukan lebih baik. Kepercayaan ini bukan hanya naif tapi juga salah.
Hal yang sama pernah dilakukan komunitas orang kulit hitam di Amerika, di bawah panji respectability politics. Myisha Cherry, seorang ahli etika, menulis bahwa penjelmaan respectability politics hari ini adalah keyakinan bahwa untuk menghindari penindasan dan diskriminasi, orang-orang yang ditindas perlu ‘berlaku baik-baik.’ Pada awal abad ke-20, gerakan perempuan di gereja kaum orang berkulit hitam berusaha untuk melawan stigma dengan berperilaku sedemikian rupa untuk membuktikan bahwa mereka layak dihormati (respectable). Usaha ini tidak berhasil tahun 1920an, sama seperti perilaku baik orang Papua tidak akan mengakhiri rasisme ini.
Tidak sulit melihat apa yang bisa kita pelajari dari kegagalan respectability politics. Perang melawan stigma bukan perang yang bisa dimenangkan orang Papua hanya dengan mengubah perilaku. Orang-orang yang menuntut orang Papua untuk mengubah perilaku agar orang Papua tidak jadi sasaran rasisme perlu menjawab berapa orang Papua yang harus berperilaku seperti apa untuk mengakhiri rasisme. Berapa persen orang Papua yang harus layak masuk surga supaya semua orang Papua layak dibela netizen? Orang Papua yang seperti apa yang layak dibela? Bagaimana caranya agar orang Papua yang karakter dan latar belakangnya tak diketahui bisa dibela netizen, sama seperti ibu Saeni?
Separatis. Tukang bikin onar. Tubuh Papua memuat semua kemungkinan itu sampai dia membuktikan bahwa dia pengecualian dari stigma itu. Dan seorang Papua sepertinya baru layak diperlakukan layaknya manusia setelah dia membuktikan bahwa dia tidak seperti stigma itu. Dan seorang Papua perlu waktu untuk membuktikan bahwa dia tidak seperti stigma. Padahal kita hanya melihat orang Papua dari jauh, dari berita. Lalu bagaimana orang Papua itu bisa membuktikan bahwa dia bukan tukang buat onar dan layak dibela? Solusi yang paling mudah memang kembali ke asas praduga tak bersalah, tapi stigma membuat ini tidak mungkin.
***
Orang Indonesia sendiri (dan di sini maksud saya non-Papua) punya pengalaman berhadapan dengan stigma. Pada tahun 1965, semua tubuh Indonesia berpotensi memuat simpati terhadap komunisme, hingga terbukti sebaliknya. Ratusan ribu orang mati, lalu bagaimana caranya mereka membuktikan kalau mereka bukan komunis, dan karenanya layak dibela? Ratusan ribu orang mati, dibuang ke Buru, dipenjara, dipaksa menjadi eksil, tapi Indonesia masih ribut tentang perlukah Jokowi minta maaf.
Ketidakmampuan Indonesia untuk mencapai rekonsiliasi soal 1965 pertanda buruk untuk Papua. Karena kalau orang Indonesia biasa saja bisa didiskon kemanusiaannya, bagaimana nasib orang Papua? Kalau orang sendiri yang (diduga) komunis saja dianggap layak mati, kami yang bukan Indonesia ini bisa berharap apa? Kalau 1965 saja mau dilupakan, harapan kami tentang penyelesaian Biak Berdarah bagaimana?
Kasus 1965 adalah studi kasus susahnya menjadi manusia utuh di Indonesia. Begitu kena stigma, manusia utuh yang ‘layak dibela netizen‘ turun status menjadi ‘sudah sepantasnya jadi korban X’. Karena itu para penyintas peristiwa 1965-1966 harus membuktikan bahwa mereka bukan komunis sebelum mereka bisa minta dibela. Karena itu orang Papua harus membuktikan bahwa mereka bukan separatis tukang buat onar sebelum bisa minta dibela. Dan karena itu korban pemerkosaan harus membuktikan bahwa perilakunya tidak ‘mengundang’ sebelum bisa minta dibela. Karena di Indonesia, untuk dibela netizen, seorang korban harus sempuna, seutuh-utuhnya manusia. Karena hanya sekedar berupa manusia saja tak cukup untuk meminta diperlakukan layaknya manusia.
***
Saya tahu kalau para netizen mungkin tidak terlibat dalam rasisme yang dialami orang Papua, tapi apakah berlebihan kalau saya berharap supaya komentar-komentar bodoh yang merujuk pada stigma dihentikan? Saya pikir saya cukup puas kalau saudara tidak menonton sambil mencibir ala pemain sinetron; ‘Tau rasa dia!’ ‘Siapa suruh jadi separatis!’
Dan di sini ironinya, kalau netizen berpikir bahwa Indonesia akan menyelesaikan pelanggaran HAM di Papua karena niat baik dan prakarsa sendiri, saudara salah. Luhut dan sekarang Wiranto, hanya sibuk kelihatan berusaha menyelesaikan pelanggaran HAM, karena teriakan tanpa henti orang-orang yang disebut separatis. (*)
Penulis lahir dan besar di Jayapura. Sebelumnya menempuh pendidikan di Ilmu Sejarah di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta dan sekarang kuliah Sejarah di Leiden, Belanda