Papua No. 1 News Portal | Jubi
Oleh Nic Maclellan
Hasil sementara referendum Kaledonia Baru untuk menentukan nasib politiknya sendiri menunjukkan bahwa suara anti-kemerdekaan memimpin jauh. Namun hasil ini disebabkan oleh tanggapan yang damai dan loyal dari desakan gerakan pro-kemerdekaan agar pendukungnya tidak berpartisipasi Minggu (12/12/2021).
Dengan 75.762 suara memilih untuk tidak merdeka, hanya 2.755 orang yang memilih ‘Ya’ untuk pertanyaan “Apakah Anda ingin Kaledonia Baru memiliki kedaulatan penuh dan merdeka?”. Hasil dikonfirmasikan kembali Senin ini.
Dukungan untuk suara ‘Ya’ sangat minim karena puluhan ribu pendukung pro-kemerdekaan memilih untuk tinggal di rumah, sesuai dengan desakan dari Front de Libération Nationale Kanak et Socialiste (FLNKS) dan koalisi meluas yang terdiri dari partai-partai pro-kemerdekaan, serikat pekerja, dan pemimpin adat Kanak.
Secara keseluruhan, jumlah pemilih yang datang berkurang hampir setengah jika dibandingkan dengan referendum tahun lalu, dari hampir 85,69% pada Oktober 2020 menjadi 43,9% dalam referendum Minggu ini.
Sebelum plebisit tersebut dimulai, Thierry Santa, pemimpin partai anti-kemerdekaan Rassemblement-Les Républicains mengungkapkan kepada Islands Business: “Tujuan kami – tujuan yang sangat ambisius – adalah untuk mempertahankan jumlah suara yang menolak kemerdekaan dengan jumlah yang kami peroleh pada tahun 2020.” Meskipun demikian, suara mereka turun, dari 81.503 pada tahun 2020 menjadi 75.762 kemarin, dimana jumlah pemilih yang terdaftar kali ini telah meningkat.
Sementara jumlah pemilih yang hadir di daerah pinggiran selatan ibukota Nouméa dan daerah lainnya dimana dukungan untuk kubu anti-kemerdekaan kuat, seperti Farino, partisipasinya minim.
Pemboikotan referendum besar-besaran
Sebaliknya, tingkat pemboikotan damai yang signifikan dilaporkan di wilayah-wilayah dimana mayoritas orang Kanak tinggal, seperti di Provinsi Utara dan Provinsi Kepulauan Loyalty yang terpencil.
Di Pulau Mare, persentase kedatangan pemilih turun dari 71,9% tahun lalu menjadi hanya 3,69%; di Kepulauan Belep, turun dari 81% menjadi 0,6%. Hanya 5% pemilih yang terdaftar di Ouvéa dan 4,8% di Lifou yang hadir di balai kota setempat – TPS di beberapa wilayah orang pribumi tidak melaporkan satu pun suara. Di daerah-daerah pro-kemerdekaan di pantai timur pulau utama, terjadi penurunan persentase pemilih yang serupa: di Hienghène, hanya 1,5% pemilih terdaftar yang datang ke TPS – padahal tahun lalu itu mencapai 91,4%.
Di Canala, partisipasi pemilih turun dari 91% pada tahun 2020, menjadi hanya 1,37% kemarin. Gambar-gambar yang beredar di media sosial menunjukkan Walikota Canala, Gilbert Tyuienon, menonton film di tabletnya, di depan kotak suara yang kosong, setelah dia mengizinkan petugas TPS untuk bersantai. Pemilih pertama di balai kota Canala itu baru muncul empat jam setelah referendum dimulai.
Secara simbolis, tidak ada satu orang pun yang memberikan suara dari orang-orang pribumi Kanak dari Suku Tiendanite, suku asal pemimpin FLNKS yang berpengaruh, mendiang Jean-Marie Tjibaou. Tahun lalu, di sana 100% suara memilih ‘Ya’ untuk kemerdekaan Kaledonia Baru.
FLNKS dan koalisi kelompok-kelompok pro-kemerdekaan lain telah meminta pendukung mereka untuk tinggal di rumah, pergi memancing, pergi ke gereja, atau mengurus kebun mereka. Banyak pemilih pro-kemerdekaan, baik orang Kanak maupun orang non-Kanak, sudah tidak terlibat dalam perdebatan politik.
Baca juga: Kesepakatan Nouméa 1998 berakhir, Kaledonia Baru hadapi ketidakpastian
Pemimpin-pemimpin pro-kemerdekaan telah lama menegaskan bahwa banyak keluarga-keluarga Kanak yang masih belum pulih dari lonjakan Covid-19 pada bulan September dan Oktober, yang telah menyebabkan lebih dari 12.479 kasus dan 280 kematian di Kaledonia Baru, dari populasi sekitar 272.000 jiwa.
Pada hari Minggu juga, masyarakat sejumlah desa lainnya sedang bersiap-siap untuk menghadapi depresi tropis di sebelah utara, yang terancam bisa berubah menjadi badai dan banjir dalam beberapa hari mendatang sebagai Siklon Tropis Ruby.
Menanggapi sikap non-partisipan dalam referendum Kaledonia Baru ini, suasana di seluruh pulau sepanjang hari Minggu itu damai dan tenang. Komisi Tinggi Prancis di Nouméa menegaskan bahwa tidak ada insiden atau gangguan apapun di TPS.
Masa depan yang penuh ketidakpastian
Beberapa pemimpin anti-kemerdekaan kini telah mengeluarkan pernyataan kemenangan, memuji para pemilih yang telah mengatakan ‘tidak’ untuk merdeka dalam tiga kesempatan di bawah Kesepakatan Nouméa 1998.
Presiden Provinsi Selatan, Sonia Backès, pemimpin partai anti-kemerdekaan Les Républicains calédoniennes (LRC), berkata lewat Twitter: “Besok pagi matahari akan terbit di atas Kaledonia Baru Prancis. Malam ini, Kaledonia Baru akhirnya menghembuskan napas lega. Kesepakatan Nouméa telah selesai, dan dengan itu selesai juga pengecualian atas ribuan pemilih. Kami telah memutuskan dalam hati nurani kami untuk tetap menjadi orang Prancis!”
Backès dan pemimpin aliansi Les Voix du Non anti-kemerdekaan lainnya sekarang akan mendorong revisi atas daftar pemilih yang berlaku saat ini, yang hanya mengizinkan warga Kaledonia Baru (orang Kanak dan penduduk yang sudah lama menetap di sana) untuk memilih dan menetapkan majelis rakyat di tiga provinsi dan Kongres Nasional. Desakan ini – untuk menambahkan puluhan ribu warga negara Prancis ke daftar pemilih – akan ditentang dengan tegas oleh gerakan pro-kemerdekaan. Rencana untuk merevisi alokasi dana antara tiga provinsi, mengurangi dana untuk Provinsi Utara dan Provinsi Kepulauan Loyalty, juga akan dilawan dengan keras.
Pengumuman kemenangan sejumlah pemimpin anti-kemerdekaan tidak disambut dengan berimbang oleh semua pihak di Republik Prancis. Sehari setelah referendum, editorial di satu-satunya surat kabar harian Kaledonia Baru, Les Nouvelles Calédoniennes (LNC), melaporkan bahwa: “Tidak mengejutkan bahwa, setelah FLNKS mendesak pendukungnya untuk tidak berpartisipasi dalam referendum, suara ’Tidak’ menang dengan mayoritas yang signifikan. Namun, tampaknya tidak ada penyelesaian, bahkan jika Presiden Republik Prancis berterima kasih kepada warga Kaledonia Baru karena telah memilih Prancis sebagai tanah air mereka.”
Meskipun referendum Minggu kemarin adalah pemungutan suara yang terakhir dari tiga referendum yang diatur dalam Kesepakatan Nouméa 1998, pemerintah Prancis telah mengusulkan agar ada negosiasi untuk pengaturan baru, yang akan rampung pada Juni 2023, yang kemudian akan ditetapkan oleh rakyat melalui referendum lainnya.
Menteri Luar Negeri Prancis, Sébastien Lecornu, telah tiba di Nouméa Jumat lalu, namun perjalanannya tampak sia-sia, menurut editorial LNC tadi. “Tidak ada hal yang telah diselesaikan dan diskusi telah berhenti…Kunjungan Sébastien Lecornu bahkan dipandang sebagai upaya provokasi oleh beberapa pemimpin separatis yang tidak ingin berunding dengan negara Prancis sebelum mengetahui hasil pemilihan presiden yang berikutnya.”
Presiden Prancis, Emmanuel Macron, akan kembali mencalonkan diri sebagai capres pada April mendatang. Prancis juga harus mengadakan pemilihan legislatif untuk Majelis Nasional-nya pada bulan Juni, lalu menunjuk Perdana Menteri dan Dewan Menteri-Menteri yang baru di Paris.
Pekan lalu, sebelum referendum, mantan Presiden Kaledonia Baru, Thierry Santa, mengungkapkan kepada Islands Business: “Saya yakin tidak akan ada pembicaraan tiga arah sampai pemerintahan baru terbentuk setelah pemilu nasional. Pemerintah saat ini tidak dapat menyelesaikan permasalahan Kaledonia Baru dalam beberapa bulan ke depan.”
Proses dekolonisasi ini belum berakhir dan perjalanan masih panjang. Terlepas dari hasil referendum kemarin, pelajaran dari pemboikotan pemilu itu jelas – tidak ada solusi politik tanpa keterlibatan sisi pro-kemerdekaan, baik Kanak dan non-Kanak, dan perwakilan mereka. (*)
Sumber: Island Business/PACNEWS
Editor: Kristianto Galuwo