Papua No.1 News Portal | Jubi
Pada 7 April 1967, pemerintah Indonesia menandatangani kontrak karya pertama dengan PT Freeport di Timika, Papua. Gunung suci itu dilubangi dengan bor raksasa punya Amerika Serikat. Soeharto baru jadi Presiden Indonesia kurang lebih tiga pekan.
Tapi dia memberikan kontrak karya kepada Freeport selama 30 tahun. Penduduk Amungme, yang tinggal di sekitar gunung, di wilayah Waa dan Banti, marah. Sebab Nemangkawi adalah tempat berdiamnya arwah nenek moyang mereka. Tempat suci untuk berdoa dan berburu. Mereka memasang palang dengan pohon-pohon untuk menghentikan kegiatan Freeport.
Untuk meredam amarah, Freeport mendatangkan Moses Kilangin.
“Mereka pergi dan buat palang untuk halangi Freeport. Kemudian dalam cerita ayah saya, Moses Kilangin, setelah itu Freeport cari ayah saya. Karena cuma ayah saya yang mengerti. Ayah lalu dijemput Freeport. Begitu sampai dan lihat masyarakat membuat panah, tanam patok di sekeliling gunung. Ayah datang kemudian semua orang lihat, tanya “Bagaimana kamu buat itu? Kan ini tempat sakral? Kenapa masuk?” Ayah jelaskan, “Orang-orang ini lihat batu-batu menyala. Mereka mau tahu batu ini ada isi atau tidak. Mereka hanya lihat sedikit. Kalau ada isi, kita duduk bicara.” Masyarakat tunggu kapan mereka datang dan kasih tahu itu batu, sampai hari ini tidak terlaksana. Sampai hari ini!” kata anak Moses Kilangin, Yopi Kilangin.
Perkataan Yopi itu dikutip dari reportase panjang “Merebut posisi di Nemangkawi,” karya jurnalis Ninik Yuniati, Eli Kamilah yang dipublikasikan di laman Kantor Berita Radio (kbr.id), 20 Maret 2017.
Reportase itu mengutip buku otobiografi Moses Kilangin, “Moses Kilangin, Uru Me Ki”. Disebutkan, Moses mengaku heran karena Forbes Wilson begitu memaksa untuk naik ke Nemangkawi.
Yopi juga cerita, generasi tua yang masih hidup, kerap menangis jika mengingat tanah leluhurnya; Gunung Nemangkawi. Sebab gunung itu adalah ibu yang disucikan.
“Kalau ayah saya pas akhir-akhir hidupnya, itu memang menyaksikan. Ada rasa cukup terpukul. Sampai sekarang anak-anak yang lahir pada saat gunungnya masih ada sampai sekarang kalau ditanya menangis,” kenang Yopi Kilangin.
Yopi Kilangin juga mengatakan protes itu sampai merebut nyawa orang-orang suku Amungme.
“Protes-protes masyarakat yang muncul ini ditanggapi dengan tindakan militer. Ini muncul pelanggaran HAM. Tindakan apapun, ketidakpuasan, ataupun perkelahian sekuriti, itu dihadapi dengan alat negara. Kadang-kadang masyarakat pikir, kita protes untuk hidup kita, apakah kita musuh negara?” kata Yopi.
Dalam artikel Dea Anugerah “Freeport di Papua ialah Warisan Daripada Soeharto” (Tirto.id,21 Februari 2017), Hingga 1989, bijih tambang dari Ertsberg mengalir melalui pipa sepanjang 115 km ke Amamapare Freeport, menuju tempat kapal-kapal pengakut menunggu. Menurut catatan International Bussines Promotion, gunung itu menghasilkan 32 juta ton bijih sebelum rata dengan tanah.
Awalnya, Freeport hanya memiliki konsesi tambang dengan wilayah 10 ribu hektare. Rezim Soeharto memberi kontrak baru dengan izin perluasan hingga 2,5 juta hektare pada 1989. Belakangan diketahui, Freeport menemukan cadangan emas tak jauh dari Ertsberg. Tetapi kontrak Karya I yang seharusnya habis pada 1997 telanjur digantikan dengan Kontrak Karya II yang bakal jalan terus sampai 2021.
“Kontrak karya inilah yang coba diubah oleh Jokowi tahun ini. Pemerintahan Jokowi ingin mengubah status dari kontrak karya menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Tentu saja Freeport tidak tinggal diam. Mereka mengancam akan membawa Indonesia ke Arbitrase Internasional,” tulis Dea Anugrah.
Moses Kilangin meninggal dunia di Timika, Mimika, Papua, 14 Agustus 1999 pada usia 74 tahun. Lima hari sebelumnya, pada 9 Agustus 1999, dia bercerita kepada jurnalis Papua, Dominggus Arnold Mampioper, “Kini Freeport sudah masuk dan semua orang dapat berkat, tetapi ada juga yang tidak memperoleh apa-apa tetapi tujuan kita agar masyarakat Amungme memperoleh manfaat yang besar kalau tambang dibuka,”
Dominggus, yang kini kita kenal sebagai jurnalis senior di Papua, adalah putera dari Arnold Mampioper. Kolega Moses Kilangin. Dominggus menulis ulang pengalaman wawancaranya itu, lewat tulisan “Moses Kilangin dan Bandara Internasional di Timika” di situs kabarindonesia.com, 2 Oktober 2008.
Untuk menghormatinya, Freeport yang punya lapangan terbang sejak 1970 untuk keperluan operasionalnya itu, mengabadikannya sebagai nama bandar udara di Timika, Kabupaten Mimika, Papua.
Di kawasan bandara itu, berdiri megah patung tembaga bercampur perunggu, karya setinggi dua meter buatan perupa Nyoman Nuarta. Itu sosok Moses Kilangin tengah berdiri dengan setelan jas, topi dan tongkat bergaya Eropa. Itulah patung Uru Me Ki. Sang Guru Besar. Di bawah patung itu tertulis kata-kata tinggalannya: “Hendaklah kamu hidup saling sayang menyayangi, hormat menghormati, rendah hati dan senantiasa bekerjalah dengan jujur, adil dan sungguh-sungguh dan bijaksana”(*)
Editor: Angela Flassy