Pembukaan lahan merajalela di Jayapura

Papua-Gambar citra satelit hutan hujan tropis Nimbokrang
Gambar citra satelit hutan hujan tropis Nimbokrang (tahun 2011) – Jubi/Istimewa

Papua No. 1 News Portal | Jubi

Jayapura, Jubi – Peninjauan izin lahan oleh pemerintah Indonesia yang setengah hati telah menciptakan insentif buruk bagi perusahaan yang putus asa untuk mempertahankan cadangan lahan yang tidak aktif.

Greenpeace menyerukan agar kebijakan tersebut diklarifikasi, untuk memastikan perusahaan yang izinnya terdaftar untuk dicabut tidak diperbolehkan melakukan panic clearing tersebut.

Read More

Pada 6 Januari 2022, Presiden Indonesia Joko Widodo mengumumkan pembatalan ratusan izin sektor kehutanan, termasuk keputusan pelepasan kawasan hutan untuk perusahaan perkebunan kelapa sawit. Beberapa dari mereka berada di Provinsi Papua dan Papua Barat, dan muncul di dalam laporan Greenpeace “Stop Baku Tipu Perizinan”.

Di antara perusahaan yang pelepasan kawasan hutannya dicabut adalah PT Permata Nusa Mandiri (PT PMN) di Kabupaten Jayapura, Provinsi Papua.

Menurut laporan Mongabay, pemilik tanah adat mengatakan tidak ada aktivitas di kamp perusahaan selama hampir dua tahun, kemudian pembukaan hutan tiba-tiba dimulai kembali dalam beberapa hari setelah pengumuman presiden.

Pengamatan di lapangan dan satelit menunjukkan bahwa jalan dan blok penanaman kelapa sawit sedang dibuka dengan cepat di beberapa wilayah hutan. Greenpeace memperkirakan bahwa sampai 19 Feb 2022, sekitar 70 hektar hutan telah ditebang, oleh masyarakat adat setempat lokasi tersebut diidentifikasi sebagai situs ekowisata untuk mengamati Burung Cenderawasih.

Pelepasan kawasan hutan yang dicabut tercantum dalam Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) No.1/2022 tanggal 5 Januari.

Dasar untuk memilih izin mana yang dicabut tetap tidak jelas, bahkan Greenpeace telah mengajukan surat keterbukaan informasi ke KLHK, dan tanggapannya tidak menjawab apapun.

Greenpeace prihatin bahwa banyak izin yang seharusnya dicabut dalam proses peninjauan izin Moratorium Kelapa Sawit, tidak dimasukkan.

Sawit Papua
Ilustrasi, perkebunan sawit di Boven Digoel, Papua yang dibangun pada area pelepasan kawasan hutan 2011 – Dok Auriga/Ulet Ifansasti/Greenpeace 2018

 Selanjutnya, paparan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya kepada Komisi IV DPR mempersoalkan pencabutan tersebut, memenuhi syarat sebagai “deklaratif” dan menyarankan agar beberapa pencabutan yang dilakukan melalui keputusan KLHK No.1/2022 dapat dibatalkan oleh meja “klarifikasi/verifikasi”, sebelum pencabutan “definitif” diumumkan.

“Saya khawatir pemerintah telah menyerah pada proses peninjauan izin, yang seharusnya melindungi hutan yang tersisa dan melindungi hak-hak adat. Pencabutan izin harus dikoordinasikan secara baik dengan pemilik hak adat, pemerintah daerah (kabupaten dan provinsi) dan dilaksanakan secara transparan, dan harus memastikan peniadaan kegiatan pembukaan lahan oleh perusahaan,” kata Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia Nico Wamafma dalam rilis media, Kamis (24/2/2022).

“Lahan hutan harus diambil kembali dari perusahaan perkebunan dan dikembalikan ke pemilik asli yang sah, tetapi langkah terakhir yang penting ini hilang dari proses saat ini,” kata Wamafma yang berbicara dari Sorong, Papua Barat.

Beberapa perusahaan yang izin pelepasan hutannya dicabut juga memiliki izin lain yang dikeluarkan oleh instansi lain, IUP – izin usaha perkebunan; dan HGU – hak guna usaha.

Permintaan keterbukaan informasi Greenpeace kepada Badan Pertanahan Nasional dan Kementerian Pertanian mengenai nasib izin untuk perusahaan-perusahaan ini tidak terjawab.

 PT Permata Nusa Mandiri, perusahaan yang baru-baru ini memulai pembukaan lahan dan telah diungkap oleh Greenpeace sebelumnya, perusahaan ini memiliki hubungan dengan taipan Anthoni Salim, memperoleh izin HGU pada 15 November 2018, meskipun Moratorium Kelapa Sawit selama tiga tahun telah berlaku.

Dengan dicabutnya izin pelepasan hutan perusahaan seluas 16.182 hektar melalui Keputusan KLHK No. 1/2022, operasi pembukaan hutan berikutnya di dalam Kawasan Hutan akan tampak ilegal menurut UU Kehutanan.

Namun kegagalan pemerintah pusat untuk berkoordinasi dengan pemerintah daerah dan Badan Pertanahan Nasional untuk memastikan pembatalan izin lain seperti IUP dan HGU telah menyebabkan kebingungan di lapangan mengenai legalitas pembukaan hutan tersebut.

 Baca juga: Presiden serahkan SK Perhutanan Sosial dan Pelepasan Kawasan Hutan Papua

Syahrul Fitra, juru kampanye hutan senior Greenpeace Indonesia menyatakan peninjauan izin di bawah Moratorium Kelapa Sawit seharusnya dikoordinasikan di semua tingkat pemerintahan dan lintas lembaga.

“Sayangnya KLHK di Jakarta tampaknya berjalan sendiri tanpa melibatkan instansi lain dan pemerintah daerah. Sekarang kebingungan merajalela, dan ada insentif yang salah. Perusahaan bereaksi dengan bergegas membuka hutan, tidak diragukan lagi berharap untuk terlihat aktif beroperasi, dan menghadirkan lanskap tandus sebagai fait accompli,” kata Fitra.

Sudah seharusnya PT PNM menghentikan segala aktivitas mereka di lapangan, terutama aktivitas pembukaan lahan. Pemerintah harus menindak jika perusahaan tetap melakukan aktivitas konversi lahan.

Saat ini evaluasi izin di Provinsi Papua juga tengah dilakukan. Sudah saatnya bagi Pemerintah Provinsi Papua mengumumkan hasil evaluasi terhadap PT PNM ini, dengan memperhatikan tuntutan masyarakat adat. (*)

Editor: Jean Bisay

Related posts

Leave a Reply