Papua No. 1 News Portal | Jubi
Wempi Ramandei, anak asli Serui kelahiran 1972, beberapa waktu lalu menjabat Kasrem 172/PWY Jayapura dengan pangkat Kolonel Infanteri. Dia tak pernah bermimpi menjadi tentara, tapi dokter. Namun arah kemudi hidup anak ketujuh dari sembilan bersaudara kelak membawanya menjadi prajurit baret merah berpangkat kolonel infanteri.
Ramandei menyelesaikan pendidikan SD (1985), SMP (1988), hingga lulus SMA (1991) di Serui. Ketertarikannya pada korps berbaju hijau bermula ketika kelas 2 SMA jurusan IPA Biologi. Ketika itu, seorang tentara berpangkat letnan dua, Yohanes Senggi, sering bertandang ke rumahnya dan sering memberikan arahan, sehingga benih-benih menjadi tentara bertumbuh.
Karena bapaknya hanya lulusan Sekolah Rakyat di Kota NICA—kini Kampung Harapan, Sentani, dan mulai bekerja pada sekolah pertanian pada zaman Belanda yang kemudian menjadi pegawai negeri, dia mengurungkan mimpi menjadi dokter.
“Karena alasan ekonomi itulah saya terpaksa harus daftar ke taruna pada saat itu. Tahun 1991. Tapi mungkin belum waktunya. Tahun 1992. Kemudian pendidikan 3 tahun, lulus tahun 1995. Itulah yang membuat saya tertarik karena senior saya,” ujarnya beberapa waktu lalu di Jayapura.
Di bercerita, setelah taruna dilakukan pendidikan dasar-dasar kecabangan. Para infantri, sarjab, kemudian mengikuti latihan terjun. Setelah sarcab itu terakhir ada latihan terjun penutupan di Batujajar. Sebanyak 130-an perwira infantri melakukan latihan penerjunan. Saat itulah Kopassus menyeleksi perwira. Dari 130-an tersisa 22 orang dan hanya 15 orang yang lulus.
Ada satu hal yang menurutnya aneh. Biasanya para taruna menghadap atasan saat seleksi, Letjen TNI Prabowo ketika itu. Namun Ramandei muda hanya diberikan perintah untuk melaksanakan peraturan baris-berbaris, lalu disuruh keluar. Tidak menghadap ke tester perwira-perwira lainnya—Tidak ada wawancara, tapi disuruh keluar ruangan.
“Saya merasakan ada yang aneh, tidak biasa. Setelah itu kami selesai tes, kemudian latihan penerjunan juga selesai kami kembali lagi ke pusdik. Begitu mau penutupan dibacakan skep penempatan itu kami ada 15 orang,” katanya.
Setelah penutupan pendidikan kecabangan, dia mengingat waktu itu hari Jumat, dia pulang ke rumah orang tuanya di Jakarta. Namun dirinya kaget begitu didatangi sejumlah prajurit Kopassus dan memberitahukan bahwa tiga hari berikutnya (Senin) dilakukan pembukaan pendidikan, sehingga Ramandei harus kembali ke Batujajar untuk mengikuti pendidikan selama tujuh bulan hingga selesai (1996). Pada akhir 1996 dia bersama teman-temannya diberikan surat penempatan.
Setelah mengawali karier dari letnan dua sampai kapten, Ramandei ditempatkan di Dok Dua, sekitar 10 tahun. Setelah di Kopassus selepas pendidikan, karena kekurangan jabatan, karena senior-senior lulus 1994, 1993, itu setelah mereka Selapa, semua kembali.
Pada tahun 2003 itu Selapa paling banyak, Selapa cuci gudang. Sebagian besar mereka keluar sehingga tahun 2004 dia dipindahkan ke Rindam XVII/Cenderawasih sebagai wadan senjata.
Sebenarnya dia tak ingin kembali ke Papua selepas pendidikan, karena ingin mencari pengalaman, sehingga sewaktu mengisi angket dia meminta untuk ditempatkan di Sumatra, Kalimantan, Jawa, atau Sulawesi. Tapi pilihan terberat adalah Pulau Jawa, Kalimantan, atau Sumatra.
Setelah selesai pendidikan dia ditarik kembali ke Tanah Papua dan di sini Herman Asaribab (mantan Pangdam XVII/Cenderawasih) bertugas di Kodam dan Hamdan Ali Bogra (mantan Pangdam XVIII/Kasuari), serta Yobe di Timika, pulang kampung.
“Artinya kepulangan mereka untuk bertugas di Bumi Cenderawasih merupakan keinginan angkatan darat, sehingga harus diterima dengan ikhlas,” katanya.
Di Kodam XVII/Cenderawasih, Ramandei pun menjabat sampai berpangkat letkol, mulai kapten pindah dan sekolah lagi hingga menjadi letkol di Korem 172/PWY.
Dia mulai belajar menjadi pemimpin ketika beberapa bulan kemudian komandannya pindah. Tidak ada pengganti. Di Kaimana, dia belajar untuk memimpin—Dandim Kaimana (2016-2017). Menjadi pemimpin organisasi di militer, apalagi lembaga pendidikan tentara, bukan perkara mudah. Dia harus memahami dan bisa mengaturnya dengan baik supaya pendidikan berjalan baik. Lalu sekitar enam bulan dia tidak ada elhansat dan 2004-2007 di secata.
Pada suatu ketika di rumah Ramandei, Grup 2 Solo, Jawa Tengah, digelar ibadah. Seorang pelayan Tuhan berpangkat letkol memimpin ibadah. Sang Pelayan biasanya membawa serta anak-anaknya, termasuk Livina Naragale, yang kelak memikat hati pria Serui ini. Tanpa basa-basi, Ramandei berkenalan dengan gadis NTT berdarah Sabu-Manado ini. Keesokan harinya dia langsung ke rumah bapak mertua, untuk mengutarakan niatnya mempersunting Ina Sabu Nona Flobamora.
“Saya ketemu hari ini, besok saya langsung ke rumah. Saya tidak ajak kemana dulu, ngobrol, tapi saya langsung ke rumah. Jadi hari ini ketemu, kenalan, besok saya langsung ke rumah,” katanya sembari mengenang momen unik dan lucu tersebut.
Tahun 1997 dia bertugas di perbatasan RI-PNG di Pegunungan Bintang (Kiwirok, Oksibil, Okbibab, lalu pindah lagi ke Batom), dan kembali tahun 1999.
Hingga kini, beberapa waktu lalu dipercayakan menjadi Kasrem 172/PWY di Padang Bulan, Kota Jayapura. Ini merupakan kepercayaan untuk mengemban tugas dan tanggung jawab membantu Danrem dalam mewujudkan tugas pokok dari komando atas dalam mengkoordinasi staf.
Dia juga punya sederet jabatan di militer, semisal, danton 3/3/22 grup-2 kopassus (1997), danton 2/1/22 grup-2 kopassus (1998), danton 1/2/22 grup-22 kopassus (2000), danki 3 yon-22 grup-22 kopassus (2000), danki 1 yon-22 grup-22 kopassus (2000), danki 2 yon-22 grup-22 kopassus (2001), pasi pers yon-22 grup-2 kopassus (2002), ps. wadan secata Rindam XVII/TRK (2004), wadan secata Rindam XVII/Cen (2006), kasipers brigif-20/ijk (2007), kasipers sbagum Rindam XVII/Cen (2010), Kasdim 1703/mkw rem 171/pvt (2011), Kasi Komlek Puskodalopsdam XVII/Cen (2012), kasipers korem 172/pwy dam xvii/cen (2013), kasipers korem 071/wk dam iv/dip (2015), dandim 1713/kmn rem 171/pvt dam xvii/cen (2016), dandenmadam xviii/kasuari (2017), dandenmadam xviii/ksr (2018), hingga Aster Kasdam XVII/Cen (2020).
Sebagai kepala staf, dia akan melanjutkan kebijakan pimpinan, terutama Danrem, dalam pembinaan, baik secara internal, maupun ekternal. Semua diatur dalam program.
“Satu hal yang (membuat) saya tertarik dengan apa yang diceritakan oleh Danrem, hentikan pertumpahan darah, artinya ini juga merupakan turunan dari almarhum kita Bapak Herman Asaribab melayani dengan hati,” katanya.
Dia tak menampik akan membantu penyelesaian konflik di Tanah Papua dengan pendekatan hati, dengan mengkoordinasi semua staf. Tugas ini dianggap strategis, sebab tugas-tugas dari Korem cukup banyak, baik internal, maupun eksternal.
“Artinya kita berhadapan dengan masyarakat kita yang, ya, saya boleh katakan masih banyak yang tertinggal, terutama dengan pendidikan, sehingga ini tugas saya dalam menjabat sebagai kasrem melaksanakan tugas-tugas tambahan,” katanya.
Pembinaan internal prajurit, lanjutnya, tentu dihadapkan dengan banyak persoalan, terutama mental prajurit. Di Tanah Papua, kuota prajurit lebih besar bagi OAP dibandingkan penduduk Papua lainnya (80:20).
Tugas Ramandei dan jajarannya memastikan bahwa mental para prajurit dibina dan dibentuk dengan baik, sehingga rutin melakukan pembinaan. Di era pandemi Covid-19, pihaknya intens membina prajurit-prajurit.
Dia berpesan kepada putra-putri Papua yang bertekad menjadi TNI/Polri untuk menjadi orang beriman: bermoral baik, sebab moral yang baik ditentukan oleh kualitas imannya. (*)
Editor: Jean Bisay