Kaleidoskop Kepulauan Pasifik (1)

Papua-Perdana Menteri Samoa, Fiame Naomi Mata’afa
Perdana Menteri Samoa, Fiame Naomi Mata’afa, memeluk mantan Perdana Menteri Tuilaepa, Dr. Sailele Malielegaoi. - Parlemen Samoa

Papua No. 1 News Portal | Jubi

Tahun 2021 di Kepulauan Pasifik mirip dengan tahun 2020 sebelumnya, dengan sejumlah hal penting yang sangat dinanti-nantikan, termasuk dalam hal kepemimpinan regional dan nasional, pandemi Covid-19, dan bangkitnya kembali perekonomian.

Pemilihan sekjen Forum Kepulauan Pasifik (PIF) dan pengunduran diri Mikronesia 

Read More

Menjelang pemilihan Sekretaris Jenderal Forum Kepulauan Pasifik (Pacific Islands Forum/ PIF) pada akhir tahun 2020, ada lima kandidat yang mencalonkan diri. Saat itu sub wilayah Mikronesia berharap akan unggul jika peraturan tentang rotasi jabatan sekjen dipatuhi. Lima negara dari wilayah Mikronesia bersatu untuk mendukung mantan menteri dan Duta Besar Kepulauan Marshall untuk PBB, Gerald Zackios, sebagai kandidat mereka. Ada empat calon lainnya: dari Polinesia, mantan Perdana Menteri Kepulauan Cook, Henry Puna, dan Amelia Kinahoi Siamomua dari Tonga, dan dari Melanesia ada dua nama tambahan: mantan Menteri Luar Negeri Fiji, Ratu Inoke Kubuabola, dan mantan Direktur Jenderal Komunitas Pasifik, Jimmie Rodgers, dari Kepulauan Solomon.

Pada 4 Februari 2021 lalu, setelah kemenangan mantan Perdana Menteri Kepulauan Cook, Henry Puna, sebagai Sekretaris Jenderal PIF yang baru, perhatian dunia lalu beralih ke blok Mikronesia dalam PIF dan ancaman mereka untuk meninggalkan kelompok regional itu. Memenuhi ancamannya, selang waktu beberapa hari, negara-negara Mikronesia kemudian mengumumkan bahwa mereka sepakat untuk meninggalkan badan regional tertinggi di Pasifik tersebut.

Pemimpin dari lima negara Mikronesia – Nauru, Federasi Mikronesia, Kiribati, Kepulauan Marshall, dan Palau – telah menandatangani dan meluncurkan komunike bersama dimana mereka menyatakan bahwa mereka “akan memulai proses resmi untuk mengundurkan diri”. Mereka menekankan bahwa setiap negara akan melakukan proses ini masing-masing, sesuai dengan persyaratan hukum dan prosedural domestik mereka sendiri.

Selang retret pemimpin-pemimpin PIF yang  ke-51 pada Agustus ini, Perdana Menteri Fiji, Frank Bainimarama, menggunakan pidato perdananya sebagai Ketua PIF yang baru untuk menyampaikan permintaan maaf kepada negara-negara anggota dari Mikronesia. Ia mengakui bahwa “kita seharusnya bisa menangani hal itu dengan lebih bijaksana.”

September ini, negara-negara Mikronesia sepakat untuk membentuk sekretariat mereka sendiri agar dapat memposisikan sub wilayah Mikronesia di tingkat internasional.

PIF sendiri berencana melakukan pertemuan tatap muka semua pemimpin di Fiji pada Januari 2022.

PM Fiji, Frank Bainimarama (kanan) menyalami PM India, Modi, (kiri) saat ia mendarat di Fiji, 2014. – Development Policy Centre/Australian National University/Dinfo News

Pemilu umum dan referendum

Dengan belasan negara dan wilayah tersebar di kawasan ini, setiap tahun setidaknya satu sampai tiga pemilu nasional, kadang referendum, yang diselenggarakan. Sepanjang 2021 ini ada dua pemilu nasional yang penting tahun ini yaitu Samoa dan Tonga.

Dengan kedua pemilu nasional ini, dapat dikatakan bahwa pemilu di Samoa dimulai dengan lebih banyak kontroversi – mulai dari pengunduran diri sejumlah anggota parlemen (MP) dari partai yang berkuasa, pembentukkan partai politik yang baru, hingga kampanye dan perdebatan politik yang ramai. Namun pasca pemilu di kedua negara serupa, dimana penguasa yang sebelumnya tampak kesal mengenai hasil pemilihan mereka sebagai pemimpin.

Samoa mengadakan pemilu pada 9 April 2021, namun Perdana Menteri terpilih, Fiame Naomi Mata’afa, dan partainya Faʻatuatua i le Atua Samoa ua Tasi (FAST), terpaksa melakukan pengambilan sumpah di halaman gedung parlemen pada 24 Mei.

Upacara impromptu tersebut diadakan pada hari ke-45 setelah pemilu, hari terakhir dalam periode yang diwajibkan oleh Konstitusi negara itu.

FAST terpaksa melaksanakan upacara di halaman setelah Ketua Parlemen Samoa saat itu, Leaupepe Toleafoa Fa’afisi, seorang anggota parpol mayoritas yang kalah, Human Rights Protection Party (HRPP), mencegah para MP terpilih dari FAST untuk memasuki gedung parlemen.

Ketua Partai HRPP dan mantan Perdana Menteri Tuila’epa Sa’ilele Malielegaoi berkeras bahwa ia dan pemerintah caretaker tidak akan mengaku kalah sampai Mahkamah Agung negara itu mengambil putusan terkait persyaratan perwakilan perempuan. Perkara ini dan sejumlah perkara lainnya menghambat serah terima pemerintah selama berbulan-bulan.

Akhirnya pada Jumat, 17 September 2021, Perdana Menteri Samoa yang baru, Fiame Naomi Mata’afa, dan pendahulunya berpelukan di tengah sidang parlemen, disambut dengan sorak gembira di dalam gedung parlemen. Momen itu mengakhiri perselisihan antara keduanya yang terjadi selama berbulan-bulan setelah pemilu April lalu. Itu dianggap sebagai momen yang melegakan bagi orang-orang Samoa, ketika mereka menyaksikan para pemimpin negara itu akhirnya bertemu dan kompromi, tersenyum, dan berpelukan.

Sementara di Tonga, pemilu yang diadakan pada 18 November dengan 73 caleg telah berhasil menetapkan anggota parlemen Tonga yang terdiri dari 26 anggota, dimana 17 kursi dialokasikan untuk Perwakilan Rakyat dan sembilan kursi untuk Perwakilan keluarga Bangsawan.

Menjelang pemilihan perdana menteri yang dilakukan secara internal oleh anggota-anggota parlemen, mantan PM Pōhiva Tu’i’onetoa berulang kali mengungkapkan kekecewaan dan kekesalannya di hadapan media karena ia tidak menerima dukungan yang diharapkan untuk bisa melanjutkan pekerjaanya.

Pada  15 Desember lalu Parlemen Tonga telah memilih Siaosi ‘Ofakivahafolau Sovaleni, 51 tahun, caretaker Menteri Pendidikan Tonga saat itu, sebagai Perdana Menteri yang baru untuk menggantikan Pōhiva Tu’i’onetoa.

Yang Mulia Raja Tupou VI Selasa pagi ini, 28 Desember 2021, melantik Siaosi ‘Ofakivahafolau Sovaleni dan menyerahkan Surat Perintah Pengangkatan di Istana Kerajaan Tonga, Nuku’alofa. PM Sovaleni diharapkan akan segera menunjuk menteri-menteri untuk kabinet barunya. Daftar nama-nama anggota pemerintah baru akan disampaikan kepada Raja, ia lalu akan mengangkat mereka dengan resmi.

Selain pemilu, referendum Kaledonia Baru yang ketiga dan terakhir dapat disebut sebagai pemungutan suara yang sangat diantisipasi. Dua referendum sebelumnya, pada 2018 dan 2020, dimenangkan oleh kubu anti-kemerdekaan. Untuk kali ini, hasil referendum juga menunjukkan bahwa suara anti-kemerdekaan memimpin jauh. Namun hasil dari plebisit kali ini dipengaruhi oleh desakan gerakan pro-kemerdekaan agar pendukungnya tidak berpartisipasi sama sekali pada Minggu, 12 Desember 2021. Secara keseluruhan, jumlah pemilih yang memilih pada Desember ini menurun drastis jika dibandingkan dengan referendum tahun lalu, dari tingkat partisipasi 85,69% pada Oktober 2020 menjadi hanya 43,9% dalam referendum ini.

Pelaksanaan dan hasil referendum ini tidak diakui oleh sisi pro-kemerdekaan. Sebelumnya, FLNKS dan koalisi kelompok-kelompok pro-kemerdekaan lainnya meminta pendukung mereka untuk tinggal di rumah, pergi memancing, pergi ke gereja, atau mengurus kebun mereka. Menanggapi sikap non-partisipan dalam referendum Kaledonia Baru ini, suasana di seluruh pulau sepanjang hari Minggu itu damai dan tenang. Komisi Tinggi Prancis di Nouméa menegaskan bahwa tidak ada insiden atau gangguan apapun di TPS.

Menjelang referendum ketiga, Presiden Kongres Kaledonia Baru, Roch Wamytan, telah berangkat ke PBB untuk menyampaikan pandangan mereka bahwa plebisit itu tidak sah karena itu diboikot orang-orang Kanak. Dia mengatakan tanpa partisipasi orang-orang Kanak, referendum ketiga tidak akan sah.

Para pemimpin pro-kemerdekaan sejak awal meminta penundaan referendum ke tahun 2022, mereka menegaskan bahwa banyak keluarga-keluarga Kanak yang masih belum pulih dari lonjakan kasus Covid-19 pada bulan September dan Oktober, yang telah menyebabkan lebih dari 12.479 kasus dan 280 kematian di Kaledonia Baru, mayoritas orang-orang Kanak. Pada hari referendum ketiga juga masyarakat dari sejumlah desa lainnya sedang bersiap-siap untuk menghadapi depresi tropis di sebelah utara, yang terancam berubah menjadi badai dan banjir dalam beberapa hari setelahnya sebagai siklon tropis.

Meskipun referendum ini adalah pemungutan suara yang terakhir dari tiga referendum yang diatur dalam Kesepakatan Nouméa 1998, pemerintah Prancis telah mengusulkan agar ada negosiasi untuk pengaturan baru antara negara dan wilayah itu, yang harus rampung pada Juni 2023, dan kemudian akan ditetapkan oleh rakyat melalui referendum lainnya. Menteri Luar Negeri Prancis, Sébastien Lecornu,  juga menyatakan dia akan pergi ke New York awal tahun depan untuk membahas masalah ini dengan PBB.

Berbeda dengan Prancis di Kaledonia Baru, pemerintah Papua Nugini dan Bougainville belum memiliki kerangka waktu yang jelas dan belum juga melaporkan capaian yang serius sejak referendum pada 2019. Kedaulatan merupakan aspirasi dari sebagian besar orang Bougainville, menurut referendum yang diadakan dari 23 November hingga 6 Desember 2019, 98% pemilih ingin merdeka dari Papua Nugini. Tapi masih ada banyak proses yang harus diikuti terlebih dahulu.

Perdana Menteri Papua Nugini, James Marape (kiri), saat tiba di Arawa untuk bertemu dengan Presiden Bougainville Ishmael Toroama pada Februari 2021. – Media Perdana Menteri PNG

Presiden Bougainville, Ishmael Toroama, telah menekankan bahwa daerah otonom itu sedang bersiap-siap untuk merdeka pada tahun 2025. Dia juga mengatakan bahwa Bougainville akan mulai pemerintahan sendiri pada tahun 2022. Namun menurut sejumlah analisis, akan sangat sulit bagi Papua Nugini untuk menerima hal ini, mengingat kekhawatiran negara itu bahwa kemerdekaan Bougainville bisa menciptakan preseden dan mendorong provinsi-provinsi lain untuk menempuh jalan yang sama, yang bisa mengarah pada bubarnya Papua Nugini.

Menanggapi ini, Presiden Bougainville menegaskan mengambil pendiriannya terhadap Papua Nugini dalam diskusi terakhir terkait referendum kemerdekaan. Selang pertemuan konsultatif bersama yang ketiga itu, Ishmael Toroama mengungkapkan bahwa Bougainville telah berpartisipasi sebaik yang mereka bisa dalam  negosiasi ini. Dia lalu meminta kepada Perdana Menteri Papua Nugini, James Marape, yang ia sebut sebagai temannya “Saya memohon kepada Anda, sekarang saatnya untuk membiarkan orang-orang saya pergi.”

Setelah pertemuan itu, Bougainville sempat berbicara tentang jadwal yang akan mengarah pada kemerdekaan paling lambat pada 2027, namun Marape berkeras tidak ada upaya seperti itu yang dilakukan. Marape malah mengingatkan kembali bahwa keputusan tentang kemerdekaan Bougainville ada di tangan parlemen nasional Papua Nugini. Ia menerangkan bahwa pemungutan suara internal parlemen tentang kemungkinan penyelesaian politik final Bougainville seharusnya bisa dilakukan di Parlemen Nasional pada tahun 2025. Namun sebelum itu, ia ingin ada konsultasi dan sosialisasi tentang Bougainville dilakukan di seluruh Papua Nugini sebelum ratifikasi akhir dapat diputuskan. Marape menekankan bahwa meski ia menganggap Bougainville sebagai kasus khusus dalam perjuangannya untuk memutuskan hubungan politik dengan Papua Nugini, dia ingin seluruh negara itu juga dikonsultasikan.

Papua Nugini sendiri dijadwalkan akan melakukan pemilu nasionalnya pada Juni 2022. (*)

Editor : Kristianto Galuwo

Related posts

Leave a Reply