Gus Dur, Bintang Kejora, Trikora, dan Amerika

Gus Dur dan anak-anak di Merauke Papua
Gus Dur dengan anak-anak sekolah di Merauke pada 31 Desember 1999 – Jubi/Biro Dokumentasi Sekretariat Negara RI

Papua No. 1 News Portal | Jubi

JUMAT, 31 Desember 1999, Gus Dur menyambangi Papua. Pada tukar tahun menyambut tahun 2000, dia ingin melihat matahari terbit pertama di bumi paling timur Indonesia itu. Dia datang bawa sejumput cahaya untuk Bumi Cenderawasih.

Setelah menemui para tokoh masyarakat, pemimpin adat dan agama, segera Gus Dur mengumumkan pergantian nama Irian Jaya menjadi Papua. Ulama nyentrik dan cendekiawan yang belum genap dua bulan jadi Presiden Republik Indonesia itu, juga membolehkan orang Papua mengibarkan bendera kebanggaan dan kebangsaan mereka: Bintang Kejora.

Read More

Keputusannya tentu disambut suka cita bangsa Papua. Tapi tidak untuk kalangan tentara.

“Bapak Presiden, kami laporkan di Papua ada pengibaran bendera Bintang Kejora,” lapor  Wiranto kepada Gus Dur.

Kala Wiranto jadi Menteri Koordinator Politik dan Keamanan (Menkopolkam).

“Apa masih ada bendera Merah Putihnya?” tanya Gus Dur balik.

“Ada hanya satu, tinggi,” ujar Wiranto.

“Ya sudah, anggap saja Bintang Kejora itu umbul-umbul,”.

Tak puas dengan jawaban itu, Wiranto sekali lagi mengingatkan. Dia sikukuh, pengibaran bendera Bintang Kejora berbahaya.

“Pikiran Bapak yang harus berubah, apa susahnya menganggap Bintang Kejora sebagai umbul-umbul. Sepak bola saja banyak benderanya!” balas  Gus Dur, sebagaimana dituliskan mantan Menteri Riset dan Teknologi, Muhammad AS Hikam lewat bukunya “Gus Durku, Gus Dur Anda, Gus Dur Kita” (2013).

Wiranto, belakangan dicopot Gus Dur dari jabatannya pada 13 Februari 2000. Jabatan Menkopolkam untuk sementara diemban Surjadi Soedirdja. Gus Dur beralasan, pencopotan   Wiranto untuk menjaga netralitas pemeriksaan kasusnya oleh Kejaksaan Agung.

Wiranto kala itu disebut-sebut terlibat dalam kasus kekerasan massal dan pelanggaran HAM di Timor Timur. Kini negara Timor Leste.

Gus Dur atau Abdurrahman Wahid dilantik jadi presiden ke-4 RI pada 20 Oktober 1999. Kala    Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Seiringnya tumbangnya rezim Soeharto, Mama  Pertiwi  dikangkangi krisis moneter.

Timor Timur lepas dari dekapan NKRI di masa pemerintahan Habibie. Itu menyulut gerakan memisahkan diri di Aceh dan Papua. Di Maluku dan Poso, Sulawesi Tengah, pecah konflik komunal etnoreligius.

Papua sendiri, sudah berdarah-darah sejak Orde Lama. Untuk memaksa agar merah putih berkibar di sana, Soekarno mengumumkan operasi militer.

Selasa, 19 Desember 1961, pagi si Bung Besar membakar semangat rakyat dengan pidato berapi-api di Alun-alun Utara Yogyakarta. Sukarno menuding Belanda hendak menjadikan Papua sebagai negara boneka.

“Gagalkan, hai seluruh rakyat Indonesia, gagalkan pendirian ‘negara Papua’ itu!”

“Batalkan ‘negara Papua’ itu! Kibarkan bendera Sang Merah Putih di Irian Barat! Gagalkan! Kibarkan bendera kita! Siap sedialah, akan datang mobilisasi umum! Mobilisasi umum bagi yang mengenai seluruh rakyat Indonesia untuk membebaskan Irian Barat samasekali daripada cengkeraman imperialis Belanda.”

Petrik Matanasi, dalam “Sejarah Pidato Trikora dan Ambisi Sukarno Kuasai Papua” yang dimuat di laman berita Tirto.id edisi 19 Desember 2018, menyebut orang Indonesia lantas mengingat tiga pokok utama pidato itu sebagai Tri Komando Rakyat (Trikora). Pesan pentingnya adalah gagalkan pembentukan negara boneka Papua, kibarkan sang merah putih di Irian Barat, dan bersiaplah untuk mobilisasi umum.

Untuk operasi merebut Papua, Indonesia menebusnya dengan harga mahal. Martin Sitompul dalam artikelnya “Ongkos pembebasan Irian Barat” di laman Historia.id (20 Agustus 2020) menyebut, Uni Soviet memasok senjata berat termutakhir bagi Indonesia. Dari Uni Soviet, angkatan perang Indonesia memperoleh kapal penjelajah raksasa kelas Sverdlov yang dinamai “KRI Irian” dan pesawat bomber jarak jauh Tupolev-16. Senjata inilah yang akan diandalkan untuk mengimbangi bahkan menggempur Belanda di Irian Barat.

Bantuan alat perang  Uni Soviet untuk angkatan perang Indonesia, nilai totalnya 2 miliar Dollar Amerika Serikat, anggaran yang sangat besar pada masa itu. Persiapan operasi militer akbar itu rampung pada Juni 1962. Genderang perang tinggal menunggu ditabuh oleh Sukarno.

Ujungnya kita semua tahu. Irian Barat jatuh di tangan Indonesia melalui perjanjian New York, 15 Agustus 1962. Amerika Serikat ingin menghalau pengaruh Soviet di Indonesia, sekaligus berambisi menguasai Papua yang kaya sumber mineral.

Orang Papua hari ini mengingat Perjanjian New York, sebagai  kesepakatan tanpa pelibatan dan  persetujuan tuan tanah. (*)

Editor: Angela Flassy

Related posts

Leave a Reply