Papua No. 1 News Portal | Jubi
Nabire, Jubi – Pelajar dan mahasiswa Intan Jaya menyelenggakaran diskusi publik dengan tema ”Kepedulian generasi muda terhadap pendidikan, kesehatan, dan ekonomi”. Diskusi digelar di asrama Intan Jaya di Kelurahan Kalibobo, Nabire, Papua.
“Tiga bidang ini sangat penting dengan melihat kondisi di Intan Jaya saat ini,” ujar penanggung-jawab kegiatan kegiatan, Toe Wandikbo, kepada Jubi di Nabire-Papua, usai diskusi, Jumat (11/9/2020).
Menurutnya, diskusi ini bukan hanya diikuti oleh pelajar dan mahasiswa Intan Jaya, tetapi gabungan dari pemuda di seluruh wilayah Meepago. Sebab kondisi Intan Jaya hampir sama dengan beberapa kabupaten di sekitarnya, dari Paniai hingga Dogiyai.
Wandikbo mengatakan di Intan Jaya saat ini pendidikan macet lantaran guru-guru jarang berada di tempat. Contoh kongkrit di Distirk Hitadipa, dimana akibat minimnya guru, aparat keamanan berperan ikut mendidik anak-anak di sekolah lantaran mereka berada di sekitar sekolah yang tidak ada gurunya.
Sementara di Distrik Agasida tidak ada kegiatan belajar mengajar lantaran sejak tahun 2010 tidak ada guru di sana. Yang sangat disayangkan adalah tidak ada yang menyuarakan hal tersebut, termasuk Kepala Distrik Agasida.
“Kita mau salahkan siapa? TNI/Polri tinggal di situ. Karena tidak ada guru di sana, mereka ikut mengajar. Lalu di mana guru-gurunya. Buktinya, banyak anak sekolah yang saat ini sedang menuntut ilmu di Nabire atau di Jayapura,” tutur Wandikbo.
Bidang kesehatan juga mengalami hal serupa. Kata mahasiswa jurusan Informatika Uswim Nabire semester VI ini, hampir semua distrik di Kabupaten Intan Jaya kekurangan tenaga kesehatan. Akibatnya, pelayanan di puskesmas atau puskesmas pembantu berjalan ‘Senin-Kamis’ alias kadang buka, kadang tidak. Gedung dan fasilitas kesehatan yang lain juga sangat kurang.
“Layanan kesehatan ‘Senin-Kamis’. Jika ada orang sakit, terutama masyarakat, mereka akan berobat seadanya, bahkan lebih memilih obat-obatan tradisional. Jika orang berduit, kemungkinan akan keluar dari Intan Jaya untuk berobat di Nabire atau ke Timika. Kondisi ini sudah hampir 10 tahun berjalan,” katanya.
Lebih lanjut Wandikbo mengatakan di bidang ekonomi mengalami hal yang sama. Tidak ada pengusaha asli Papua yang dibantu modal oleh pemerintah, baik pengusaha mikro, kecil, dan menengah.
Belum lagi kebiasaan pejabat pemerintah dan bawahannya yang jarang berada di tempat. Akibatnya, perputaran ekonomi masyarakat lamban. Jika ada dagangan dari masyarakat, kebanyakan tidak laku sebab kurangnya pembeli.
“Jadi bagaimana ekonomi rakyat mau tumbuh kalau tidak ada pembeli? Pejabat dan anak buahnya tidak di tempat, walaupun mama-mama jualan tapi paling laku berapa saja. Ini sangat memprihatinkan,” kata Wandikbo.
Baca juga: Zaki, guru asal Aceh memilih mengabdi di pedalaman Intan Jaya, Papua (1)
Bcaa juga: Zaki, guru asal Aceh yang ikut membangun literasi di Intan Jaya (2)
Wandiko menegaskan pihaknya akan terus menggelar forum diskusi di waktu-waktu mendatang dengan mengajak mahasiswa dan pelajar di wilayah Meepago karena hal serupa juga terjadi di beberapa kabupaten di wilayah Meepago. Dengan harapan hasil diskusi bisa sampai kepada pemerintah daerah agar mereka lebih memperhatikan tiga bidang ini
di wilayah masing-masing.
“Kami akan terus berdiskusi, baik dari Intan Jaya maupun kawan-kawan daerah lain di Meepago karena nasib kami sama. Tiga bidang ini kalau tidak diperhatikan, saya pikir percuma orang sekolah tinggi-tinggi,” ujarnya.
Salah seorang pemateri bidang pendidikan, Tego Kogoya, mempertanyakan apakah pendidikan itu penting atau tidak. Sebab, kata dia, Pemkab Intan Jaya terkesan menganggap pendidikan adalah hal yang biasa dan sepele sehingga patut diabaikan.
“Makanya saya bilang apakah ini penting? Lihat saja, sekolah hanya di ibu kota kabupaten yang berjalan. Coba liat di pinggiran sana. Pelayanan di atas kebanyakan siswa dilayani oleh tenaga honorer. Lalu kemana para guru yang sudah berstatus PNS?” kata mahasiswa semester akhir Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Umel Mandiri Jayapura itu.
Humas Asosiasi Pedangan Asli Papua Kabupaten Nabire, Fransiskus Yogi, mengatakan ekonomi kerakyatan di wilayah Meepago tidak tumbuh lantaran beberapa hal. Pertama, pemerintah tidak memahami apa kemauan para pedagang. Kedua, kurangnya pemahaman dalam berdagang oleh mama-mama Papua, sebab kebanyakan hanya berpikir menjual hari ini untuk kebutuhan esok, lalu lusanya tidak terpikirkan.
Belum lagi pemahaman-pemahaman dan budaya lokal yang tidak bisa menabung jika dibandingkan dengan masyarakat non Papua.
“Jadi program memang ada turun dari pemerintah, tapi tidak tepat sasaran. Apakah pemerintah tahu kenapa mama-mama suka duduk jualan di bawah tanah beralaskan karung, apa keinginan mereka. Saya pikir ini perlu ada pendampingan khusus untuk mereka sehingga pola pikir kita ubah agar bisa sama dengan orang non Papua. Ini yang sangat perlu,” kata Yogi.
Diskusi itu menhasilkan beberapa poin rekomendasi, yakni:
(1) Meminta petinggi TNI/Polri untuk menarik dan membatasi pasukan organik maupun non organik di wilayah Intan Jaya.
(2) Memperhatikan tiga bidang yakni pendidikan, kesehatan, dan ekonomi kerakyatan melalui sarana dan prasarana baik di wilayah Intan Jaya khususnya maupun wilayah Meepago pada umumnya.
(3) Pemkab dan DPRD Intan Jaya segera menetapkan peraturan daerah guna melindungi hak-hak masyarakat asli Intan Jaya.
(4) Pemkab Intan Jaya segera kembali beraktivitas di Ibu Kota Kabupaten Intan Jaya dan menutup kantor-kantor pemerintahan yang dinilai abal-abal di Nabire. Agar masyarakat dapat merasakan pelayanan dengan baik. (*)
Editor: Dewi Wulandari