Papua No. 1 News Portal | Jubi
CIVICUS, aliansi masyarakat sipil global, dan Komisi Hak Asasi Manusia Asia (AHRC) sangat prihatin terhadap peradilan pidana yang sedang berlangsung terhadap pembela hak asasi manusia Victor Yeimo.
“Ia [Yeimo] telah ditahan secara sewenang-wenang karena berbicara menentang pelanggaran berat HAM yang dilakukan oleh pasukan keamanan Indonesia terhadap orang Papua dan [Yeimo] harus segera dibebaskan,” demikian bunyi pernyataan sikapnya yang dirilis Jumat (4/3/2022) dan diterima Jubi Minggu (6/3/2022).
Victor Yeimo, seorang aktivis pro-kemerdekaan dan juru bicara internasional Komite Nasional Papua Barat (KNPB), ditangkap pada 9 Mei 2021 dan didakwa dengan pasal makar 106 dan 110 KUHP. Tuduhan itu disangkakan padanya karena terlibat secara damai dalam protes anti-rasisme pada tahun 2019. Pada hari penangkapannya, dia tidak diberi akses ke bantuan hukum dan keluarganya.
“Kami menyerukan pembebasan segera dan tanpa syarat Victor Yeimo dan semua tahanan politik lainnya di Papua. Pemerintah Indonesia seharusnya tidak mengkriminalisasi aktivis yang berbicara menentang pelanggaran hak asasi manusia di Papua dan seharusnya mendengarkan keluhan mereka,” kata Josef Benedict, peneliti Ruang Sipil Asia-Pasifik dari CIVICUS.
Mendukung imbauan Pakar PBB
CIVICUS mencatat dalam beberapa tahun terakhir, pelanggaran hak asasi manusia di Papua semakin mendapat sorotan dari PBB dan komunitas internasional.
Baru-baru ini, Pelapor Khusus PBB untuk Pembela Hak Asasi Manusia, dalam sebuah pernyataan, menyuarakan keprihatinan tentang memburuknya situasi di Provinsi Papua dan Papua Barat, dengan sejumlah besar kasus pengungsi internal masyarakat asli Papua, pembunuhan di luar proses hukum, penghilangan, dan penyiksaan. Di antara para korban termasuk anak-anak Papua.
Pakar PBB meminta Pemerintah Indonesia melakukan penyelidikan independen atas pelanggaran tersebut dan mendesak akses kemanusiaan ke provinsi tersebut.
“Aktivitas Victor Yeimo dan aktivis lainnya di Papua, yang dengan berani menyuarakan pelanggaran HAM besar-besaran yang dilakukan oleh pasukan keamanan di Papua, sangat penting guna meminta pertanggungjawaban Pemerintah Indonesia dan mengadili para korban dan keluarganya. Alih-alih mengkriminalisasi mereka, pemerintah harus menciptakan lingkungan yang aman dan memungkinkan bagi para aktivis dan pihak lain untuk menyuarakan keprihatinan mereka,” kata Basil Fernando, Direktur Kebijakan dan Program di Komisi Hak Asasi Manusia Asia.
CIVICUS adalah aliansi global organisasi dan aktivis masyarakat sipil yang didedikasikan untuk memperkuat aksi warga dan masyarakat sipil di seluruh dunia.
Didirikan pada tahun 1993, sejak tahun 2002 telah berkantor pusat di Johannesburg, Afrika Selatan. CIVICUS memiliki aliansi keanggotaan dengan lebih dari 9.000 anggota di lebih dari 175 negara.
Lima tahun terakhir, CIVICUS memfokuskan programnya untuk mempertahankan kebebasan sipil dan nilai-nilai demokrasi; memperkuat kekuatan rakyat untuk mengorganisir, memobilisasi dan menunjukkan sikap; memberdayakan masyarakat sipil yang lebih akuntabel, efektif dan inovatif.
Menurut CIVICUS Monitor, ruang sipil di Indonesia dinilai ‘terhalang’.
Baca juga: Mahasiswa asal Papua di Bali serukan penghentian operasi militer di Puncak
Sebelumnya para Pelapor Khusus PBB di Jenewa, Selasa (1/3/2022), menyatakan keprihatinan serius tentang memburuknya situasi hak asasi manusia di Provinsi Papua dan Papua Barat.
Para pelapor khusus menyebutkan pelanggaran hak asasi terhadap penduduk asli Papua, termasuk pembunuhan anak, penghilangan, penyiksaan dan pemindahan massal orang-orang.
Para Pelapor Khusus ini, yakni Jose Francisco Cali Tzay (Pelapor Khusus untuk Masyarakat Adat), Morris Tidball-Binz (Pelapor Khusus untuk Pembunuhan di luar hukum dan penangkapan sewenang-wenang) dan Cecilia Jimenez-Damary (Pelapor Khusus untuk Hak Pengungsi Internal), menyerukan akses kemanusiaan yang mendesak ke Tanah Papua, dan mendesak Pemerintah Indonesia untuk melakukan penyelidikan penuh dan independen terhadap dugaan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) masyarakat adat Papua.
Indonesia tuding Pelapor Khusus PBB bias
Melansir Reuters (2/3/2022), Misi Permanen Indonesia untuk PBB, WTO, dan organisasi internasional lainnya di Jenewa, menolak seruan para pakar HAM PBB untuk penyelidikan independen atas laporan “pelanggaran yang mengejutkan” terhadap penduduk asli Papua.
Menggambarkan pernyataan para pakar PBB sebagai “bias”, Misi Permanen Indonesia mengatakan bahwa para pakat telah mengabaikan “data dan informasi yang dapat diverifikasi” yang telah diajukan oleh Indonesia atas tuduhan yang sama.
“Pemerintah Indonesia telah mengerahkan upaya yang luar biasa untuk menangani semua kasus yang terkait dengan kejahatan tersebut,” demikian bunyi pernyataan Misi Permanen Indonesia dalam rilisnya (1/3/2022).
Terkait pengungsi internal orang asli Papua akibat konflik bersenjata, misi mengklaim, “ada banyak faktor yang menyebabkan terjadinya pengungsian di Provinsi Papua dan Papua Barat. Seperti bencana nasional, rumah yang diamuk kelompok kriminal bersenjata, konflik suku, dan konflik yang bersumber dari hasil pemilihan kepala daerah,” tulisnya.
Misi Permanen Indonesia juga membantah pernyataan yang mengkaitkan semua kasus pengungsian akibat ‘pasukan keamanan’.
“Hal itu tidak hanya tidak benar, tetapi juga mengabadikan narasi berbahaya yang diadvokasi oleh ‘kelompok kriminal bersenjata’ untuk menyebarkan ketidakpercayaan publik terhadap personel keamanan,” katanya. (*)
Editor: Jean Bisay