Papua No. 1 News Portal | Jubi
Jayapura, Jubi – Asal-usul sirep dalam cerita suku Byak menurut Mecky Arwam sebagaimana ditulisnya dalam “Perspektif Budaya Papua” buku terbitan Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Dirjen Nilai Budaya Seni dan Nilai Tradisionalyang disunting antropolog Agapitus Ezebio Dumatubun, konon pada suatutempat di Pulau Biak ada dua laki-laki bersaudara bernama Fraimun danSarenbeyar.
Kedua bersaudara ini masing-masing memiliki arti saren yaitu busur dan beyar, tali busur. Jadi sarenbeyar berarti saren atau busur yang telah terpasang anakpanahnya.
Fraimun artinya perangkat perang yang gagangnya dapat membunuh (karena dia pernah membunuh).
Kedua kakak beradik ini suatu hari pergi meninggalkankampung mereka, Maryendi untuk berpetualang ke arah Biak utara di lokasiWampamber. Karena jarak sudah jauh dan kampung, Maryendi sudah takkelihatan lagi alias tenggelam dan tak tampak dari jauh.
Baca juga: Knambut atau Garamut, alat tifa celah dari Skouw dan Sepik
Hal ini membuat mereka menetap di Wampamber. Pada suatu malam keduanya pergi berburu. Tiba-tiba ada suara yang keluar dari pohon opsur (artinya kayuatau pohon) yang bisa mengeluarkan suara. Mendengar suara dari pohon itu,keduanya langsung pulang ke rumah malam itu juga.
Karena penasaran pagi hari, kedua bersaudara itu bergegas kembali ke hutan hendak melihat bentuk dan rupa pohon bersuara itu yaitu opsur. Pohon opsur terdapat pula lebah madu dan soa-soa biawak (lizard).
Ternyata pohon opsur terdapat pula sarang lebah madu dan ada seekor biawak yang juga hidup dekat pohon opsur. Melihat hal itu kedua abang adik itu bergegas menebang pohon opsur untuk membuat batang kayu berukuran sekitar 50 sentimeter panjangnya.
Rupanya abang dan adik ini sangat ahli untuk membuat kayu bulat opsurmenjadi sebuah benda atau alat musik pukul dan tabuh, yaitu tifa atau sirepdalam bahasa Byak.
Baca juga: Gendang tifa di Sanggar Seni Rei May
Berbekal peralatan sederhana nibong atau batang besi panjang sekitar satu meter, kedua melubangi kayu opsur mirip pipa. Untuk melubangi kayu tersebutprosesnya dilakukan selang-seling sambil membakar bagian tengahnya agarlebih bagus dan suaranya bisa lebih garing.
Saat hendak menutupi lubang kayu, adiknya mengusulkan agar menggunakankulit paha milik abangnya. Namun abangnya bilang nanti akan membuatnyamerasa sakit yang sangat dalam, bahkan mungkin bisa hilang nyawa. Tak herankalau abangnya justru menyarankan sebaiknya memakai kulit hewan saja.
Beruntung ada di sekitar pohon opsur hidup soa-soa yang bagus untuk menutupilubang kayu yang bisa mengeluarkan bunyi suara saat ditabuh bertalu-talu.
Untuk menangkap soa-soa itu, harus ada cara khusus yaitu dengan memanggil-manggilnya. Dengan memakai bahasa Byak, keduanya memanggil, “Be napirem bo” (heisaudaraku), ” ucap keduanya saat memanggil soa-soa atau biawak itu.
Baca juga: Eram, sistem kepemimpinan adat di Nimboran
Sontak soa-soa mengangguk dan mengerti sehingga dengan sukarela mengikutikedua kakak beradik itu. Kemudian kedua saudara ini, Fraimun dan Sarenbeyarmembawa soa-soa ke rumah dan mengulitinya, untuk menutupi salah satulubang dari kayu opsur.
Sejak itulah suara tifa mulai keluar dari pohon suara atau opsur. Kulit soa-soayang menutupi lubang kayu akan semakin garing suaranya kalau ditempeli padakulit soa-soa itu.
Kebetulan di dekat pohon opsur terdapat pula sarang lebah madu, keduanyamengambil sarang lebah madu untuk menempelkan pada kulit tifa soa-soa agarmengeluarkan suara-suara yang menggema saat ditabuh bertalu-talu sesuaihentakan irama kaki dan pantulan suara.
Kulit soa-soa dan madu berfungsi sebagai pengatur atau pengetes suara nada dari tifa atau sirep itu. Si raja soa-soa ikut pula dan merelakan dirinya untuk dikuliti dan menyarankan agar madu ditempelkan dikulitnya agar bisa mengeluarkan suara garing saat ditabuh dalam pesta pesta adat, termasuk ritus Wor K”bor dalam budaya memotong bagian atas kulit penis suku Byak, Papua jaman dulu. Memang ada beragam pendapat soal asal-usul terjadinya tifa di Pulau Biak. (*)
Editor: Timoteus Marten