Papua No.1 News Portal | Jubi
Enarotali, Jubi – Akhirnya panitia Festival Film Papua (FFP) ke-IV mengumumkan 10 film terbaik dari 29 film yang telah mengikuti kompetisi film dokumenter FFP ini. FFP diselenggarakan oleh Papuan Voices, komunitas pembuat film di Tanah Papua yang fokus memproduksi dokumenter berdurasi pendek tentang manusia dan tanah Papua.
Menurut Ketua Panitia FFP, Berto Yekwam, film-film tersebut datang dari berbagai daerah di Tanah Papua. Isu yang diangkat juga sangat beragam. “Para juri sudah melakukan penilaian. Dari hasil penilaian, telah dipilih sepuluh film terbaik,” kata Berto Yekwam kepada Jubi, Rabu (4/8/2021).
Sesuai urutan untuk nomor satu, kata dia, berjudul ‘Dari Hutan Kitong Hidup’ berdurasi 13:00 menit, asal cerita dari Kabupaten Keerom dibuat oleh Kristina Soge dan Denis Tafor.
“Nomor dua dengan judul ‘Hana’ berdurasi 6:40 menit asal cerita dari Kabupaten Kaimana yang dibuat oleh Emooz Kofit. Sementara nomor tiga dengan judul ‘Ilalang Bertumbuh Jagung Berbuah Sawit’, berdurasi 22:04 menit dari Kabupaten Tambrauw, dibuat oleh Steven Saroi,” kata dia.
Selanjutnya, urutan keempat film dengan judul ‘Kamasan’ durasi waktu 3:27 menit dari Kabupaten Supiori, dibuat oleh Adam Rumpumbo. Film kelima dengan judul ‘Kembali ke Jalan Leluhur’ durasi waktu 10:42 menit cerita dari Kabupaten Keerom dibuat oleh Harun Rumbarar. Film keenam dengan judul ‘Penjaga Dusun Sagu’ durasi waktu 7:01 menit dari Kabupaten Sorong dibuat oleh Esau Klagilit, sementara film ketujuh dengan judul ‘Penutur Terakhir?’ berdurasi 9:45 menit dari Kabupaten Keerom dibuat oleh Salvius Tafor.
“Film kedelapan dengan judul S’iklus Hidup’ berdurasi 29:59 menit dari Samenage dibuat oleh Yosep Levi, kalau film kesembilan dengan judul ‘Tri Arisanti Susah Senang Sama-sama’ durasi waktu 9:39 menit dari Kabupaten Keerom dibuat Monaliza Upuya dan yang terakhir adalah film berjudul ‘Yai Pu Tifa’ dengan durasi waktu 12:44 menit dari Kabupaten Manokwari dibuat oleh Marselius Aronggear,” katanya.
Koordinator tim penilai, Asrida Elisabeth mengatakan, kesepuluh film tersebut dilakukan penilaian secara ketat oleh tiga orang juri yang ditunjuk pihaknya, yakni Dandhy Laksono, pembuat film dan pendiri Watchdoc, Elvira Rumkabu, akademisi Universitas Cenderawasih Jayapura, dan Max Binur, pembina Papuan Voices dan budayawan Papua.
“Tujuannya adalah mengangkat cerita-cerita tentang Papua dari sudut pandang orang Papua sendiri,” katanya Asrida Elisabeth.
Koordinator umum Papuan Voices Bernard Koten mengatakan, komunitas tersebut terbentuk sejak 2011 ketika Engage Media, JPIC MSC Indonesia dan SKPKC Franciskan Papua bekerja sama dan mulai melatih para pembuat film baru di Tanah Papua.
Sejak terbentuk, menurut dia, Komunitas Papuan Voices sudah memproduksi berbagai film dokumenter dan menyelenggarakan pelatihan-pelatihan.
“Saat ini Komunitas Papuan Voices menyebar di 9 wilayah di Papua, antara lain Jayapura, Keerom, Wamena, Merauke, Sorong dan Raja Ampat, Biak dan Manokwari,” ujar Koten.
Ia menjelaskan, sejak 2017 Papuan Voices menyelenggarakan acara tahunan Festival Film Papua. Beberapa rangkaian kegiatan FFP antara lain pelatihan pembuatan film dokumenter, kompetisi film dokumenter, workshop, dan pemutaran film-film dokumenter. Film-film yang dikompetisikan adalah film-film tentang Papua. Film-film yang diputar juga demikian, ditambah dengan film-film luar yang isunya berkaitan dengan Tanah Papua.
“FFP I tahun 2017 dilaksanakan di Merauke, FFP II tahun 2018 di Kota Jayapura, FFP III tahun 2019 di Kota Sorong. FFP IV tahun 2020 rencananya dilaksanakan di Kota Wamena namun batal karena pandemi Covid-19. FFP IV baru dilaksanakan tahun 2021 dan sepenuhnya dilakukan secara online. Pada FFP IV akan dibuka dengan perayaan hari Mambesak (5 Agustus), Seminar Nasional (6 Agustus), dan 7-9 Agustus (Festival Film Papua),” katanya.
Pihaknya berharap, FPP bisa menjadi tolak ukur pergerakan perfilman di Tanah Papua terutama dokumenter.
“Dan itu memicu semangat para filmmaker Papua untuk terus berkarya, dan membangun gerakan nonton film dokumenter di masyarakat, terutama di Tanah Papua,” ujarnya. (*)
Editor: Kristianto Galuwo