Papua No. 1 News Portal | Jubi
Honiara, Jubi – Charles, Pangeran Wales telah menggembirakan hati banyak orang Kepulauan Solomon dengan menyapa mereka dalam bahasa Pidgin asli pada Senin (25/11/2019), ketika ia mengakhiri kunjungan pertamanya ke negara Pasifik Selatan itu.
“Mi hapi visiting place blong yu fela,” kata Pangeran Charles, disambut tepuk tangan dari kerumunan massa.
Pangeran Charles menyampaikan pidatonya di Stadion Lawson Tama di pusat kota Honiara, pada hari terakhir dari kunjungan tiga harinya ke Kepulauan Solomon, dimana ia meluncurkan inisiatif konservasi lautan baru dan roadmap untuk menghapus penyakit malaria.
Dia meneruskan salam hangat Ratu Elizabeth II dan berkata ibunya telah menceritakan mengenai berbagai kenangan indah, tentang kunjungannya ke bangsa Pasifik Selatan itu dengannya.
Media lokal memuji bahasa pidgin sang pangeran. Surat kabar Solomon Star melaporkan kegiatan itu sebagai ‘pidato yang mengharukan’ oleh ‘laki-laki yang hebat namun sederhana.’
Untuk sebagian orang Kepulauan Solomon, pemilihan waktu untuk kunjungan Pangeran Charles itu lebih penting dari sekadar kunjungan biasa.
“Banyak orang yang tidak senang dengan Tiongkok di sini,” menurut Malcolm Konina, seorang sopir taksi di Honiara, menyinggung keputusan Kepulauan Solomon baru-baru ini, untuk memutuskan hubungan diplomatik dengan Taiwan dan beralih ke Beijing.
“Kami ingin negara-negara Persemakmuran … kami sangat senang Pangeran Charles ada di sini sekarang,” katanya.
Sebelum berbicara di stadion, Pangeran Charles berpidato di hadapan parlemen nasional, mengecam krisis KDRT. Kunjungan itu terjadi di tengah-tengah kampanye lokal 16 hari melawan KDRT di negara ini. Wilayah Pasifik menduduki peringkat angka KDRT dan kekerasan keluarga tertinggi di dunia.
Ini adalah kunjungan pertama Pangeran Charles ke Kepulauan Solomon, dan adalah kunjungan kerajaan kedua ke negara itu sejak Pangeran Philip mengunjungi Kepulauan Solomon pada 1959 setelah kedatangan Pangeran William dan istrinya, Kate Middleton, yang mengunjungi Honiara pada 2012. (The Guardian)
Editor: Kristianto Galuwo