Pakar peringatkan stunting dapat meningkat di Pasifik setelah Covid-19

Laporan dari World Vision mengungkapkan bahwa kesehatan anak-anak di Pasifik semakin sulit akibat Covid-19. - Getty Images/ Mohammed Hamoud

Papua No.1 News Portal | Jubi

 

Oleh Joshua Mcdonald

Read More

Para ahli kesehatan masyarakat telah memperingatkan bahwa hilangnya lapangan pekerjaan dan melonjaknya harga bahan pangan, yang disebabkan oleh pandemi Covid-19, dapat menyebabkan peningkatan angka stunting anak di Pasifik.

Sebuah laporan baru yang disusun oleh organisasi internasional non-pemerintah, World Vision, yang dirilis Minggu pekan lalu (17/10/2021), menemukan bahwa 60% orang di Papua Nugini, Vanuatu, Kepulauan Solomon, dan Timor-Leste telah kehilangan pekerjaan mereka atau sumber pemasukan utama karena pandemi Covid-19, dan hal ini telah berdampak serius pada kesehatan ibu dan anak.

Banyak keluarga yang tidak lagi mampu untuk membeli bahan makanan yang memadai karena kehilangan sumber pemasukan mereka, dimana, menurut data yang dikumpulkan, satu dari empat keluarga mengatakan mereka harus mengurangi kuantitas atau kualitas makanan yang mereka konsumsi. Setengah dari mereka yang disurvei mengatakan bahwa mereka tidak mampu membiayai pengeluaran makanan sehari-hari keluarga mereka.

Laporan tersebut melaporkan bahwa tekanan finansial memiliki dampak yang signifikan pada anak-anak, dengan 14% keluarga mengatakan bahwa mereka terpaksa mengirim anak-anak mereka untuk bekerja atau melibatkan anggota keluarga dalam mengemis atau melakukan hal-hal berisiko tinggi lainnya, semua agar dapat menebus pemasukan yang hilang.

World Vision juga memperingatkan bahwa keterbatasan atas makanan bergizi di Papua Nugini, Vanuatu, Kepulauan Solomon, dan Timor-Leste, untuk waktu yang berkepanjangan dapat menyebabkan peningkatan stunting pada anak balita, yang disebabkan oleh kekurangan gizi kronis pada anak-anak berusia enam bulan ke atas, dimana ada 8% anak-anak yang melaporkan makan dua kali atau kurang dari itu per hari.

“Ini adalah masalah yang saling terkait satu sama lain, dan akar penyebab dari gangguan-gangguan terkait malnutrisi bisa terus memburuk jika pandemi dan dampaknya tidak ditangani dengan efektif,” jelas Evangelita Da Costa Pereira, spesialis kesehatan dan gizi ibu yang bekerja untuk World Vision di Timor-Leste.

“Masalah gizi, kerawanan pangan dan kemiskinan sangat terkait satu sama lain. Ketika ada keluarga-keluarga yang lebih miskin berkurang atau hilang pendapatannya untuk membeli makanan yang cukup beragam, sehingga anak-anak menerima asupan gizi yang buruk dan menderita malnutrisi.”

Selain itu, harga makanan pun melonjak, dengan kenaikan sebesar 30,6% dilaporkan di Vanuatu, 17,7% di Timor-Leste, 7,4% di Papua Nugini, dan 4,2% di Kepulauan Solomon.

Laporan yang sama juga menemukan bahwa kekerasan terhadap anak meningkat selama pandemi. Dalam satu sebelum data dikumpulkan (responden di-survei oleh organisasi), 80% orang tua atau pengasuh anak dilaporkan telah menggunakan hukuman fisik dan atau perilaku agresi secara psikologis terhadap anak-anak mereka.

Vincent Jerry, dari Rabaul di Papua Nugini, punya pekerjaan di industri konstruksi tetapi kehilangan pekerjaannya tiga bulan lalu, ketika Covid-19 memaksa negara itu menutup perbatasannya.

“Saya sudah berusaha mencari pekerjaan sejak itu tetapi tidak ada pekerjaan apa-apa,” katanya. “Semua orang berada di posisi yang sama. Kami sangat putus asa.”

Jerry menerangkan bahwa situasinya saat ini sangat memulihkan, dia juga tidak mampu untuk menghidupi keluarganya.

“Bukan hanya tidak ada uang berarti tidak ada makanan. Terkadang kami hanya makan dua kali sehari tetapi kebanyakan kita hanya makan malam. Saya khawatir tentang dua anak saya, mereka usianya empat dan sembilan tahun. Saya takut dengan dampak apa yang akan terjadi pada mereka.”

Jerry mengatakan salah satu saudara lelakinya saat ini meminjamkan mereka 15 kina (AUD$ 5,70) sehari, yang berarti mereka bisa membeli sekilo beras, beberapa pisang dan ubi jalar, tetapi dia tidak yakin berapa lama lagi saudaranya bisa menyediakan dana untuk mereka.

Bahkan sebelum pandemi, Timor-Leste dan Papua Nugini masing-masing menempati peringkat ketiga dan keempat untuk tingkat anak stunting tertinggi di dunia.

Analisis yang dilakukan pada 2017 oleh Save the Children Australia menemukan kekurangan gizi sebagai kemungkinan penyebab hampir 76% dari total kematian anak balita di seluruh Papua Nugini. Tidak ada data yang spesifik tentang penyebab kematian anak di Timor-Leste, tetapi Pereira mengatakan stunting tidak hanya berisiko bagi anak -anak sekarang tetapi memiliki dampak jangka panjang.

“Kita tahu bahwa stunting mempengaruhi perkembangan otak anak, mengakibatkan keterlambatan perkembangan fisik dan mental, dan kapasitas belajar yang buruk. Nanti, anak itu tumbuh menjadi dewasa dengan produktivitas yang buruk,” ungkapnya. “Jadi anak yang stunting tidak hanya menderita dampak negatifnya saat ini, tetapi juga di masa depan sampai mereka dewasa, seumur hidup mereka.” (The Guardian)

 

Editor: Kristianto Galuwo

Related posts

Leave a Reply