Papua No. 1 News Portal | Jubi
Jayapura, Jubi – Perkumpulan Advokat/Pengacara HAM (PAHAM) Papua menyatakan menolak Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) karena pembentukannya dinilai tidak sesuai prosedur hukum dan mendesak Komnas HAM RI membentuk Komisi Penyelidikan Pelanggaran Hak Asasi Manusia (KPP HAM) untuk mengungkap dan memproses hukum pelaku serangkaian pembunuhan di Nduga, Timika, dan Intan Jaya.
PAHAM Papua juga mendesak Palang Merah Internasional dan Komisi Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa Untuk Pengungsi (UNHCR) melakukan penanganan serius bagi warga Nduga, Intan Jaya, dan Banti-Timika, yang korban konflik antara aparat POLRI-TNI dan TPN/OPM.
“Pembentukan TGPF hanya upaya pemerintah dalam mengakomodir tuntutan publik atas pembunuhan Pendeta Yeremia Zanambani, namun sejatinya pemerintah tidak memiliki itikad baik dalam mengungkap kasus tersebut. Ini dapat dilihat dari sejak pembentukan tim investigasi yang tidak trasparan dan tidak melibatkan keluarga, pekerja HAM, dan pihak-pihak yang independen dari unsur masyarakat,” kata Direktur PAHAM Papua, Gustaf Kawer, dalam rilis pers yang diterima Jubi di Jayapura, Selasa (6/10/2020).
Lebih jauh Kawer menyatakan kekerasan terhadap rakyat Papua terus terjadi, namun penanganannya biasa-biasa saja bahkan pemerintah pun mananganinya dengan mengunakan metode usang yang tak pernah berhasil dalam mengungkap kebenaran dan menyelesaikannya hingga tuntas dan adil.
“Cara menyelesaikan berbagai kasus ini menunjukkan sikap pemerintah dalam memandang bobot kasus kekerasan HAM terhadap rakyat sipil di Papua, apakah merupakan kasus serius atau tidak serius?” katanya.
Dari bentuk pendekatan pemerintah, imbuhnya, tergambar secara jelas bahwa pemerintah tidak memandang kasus-kasus kekerasan (pembunuhan) warga Papua ini secara serius. Padahal kekerasan dalam konflik bersenjata bermotif politik yang membunuh banyak nyawa di Papua ini merupakan kejahatan serius yang ditentang oleh hukum internasional maupun nasional, serta ditentang juga semua bangsa dan negara di dunia saat ini.
“Itulah gambaran komitmen pemerintah Indonesia dalam menyelesaiakan kasus-kasus kekerasan di Bumi Cenderawasih, termasuk dibawah pemerintahan Jokowi-Maruf Amin. Ini juga yang terjadi pada upaya pemerintah dalam mengungkap kebenaran kasus pembunuhan Pendeta Yermia Zanambani, warga Hitadhipa, Intan Jaya, yang ditembak mati (dibunuh) pada 19 September 2020 lalu,” kata Kawer.
Empat hari lalu, 2 Oktober 2020, Menko Polhukam Mahfud MD membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) untuk melakukan investigasi dan pengungkapan kebenaran siapa pelaku pembunuhan empat warga sipil termasuk di dalamnya kasus pembunuhan Pendeta Yeremia Zanambani.
Tim ini beranggotakan 30 orang yang terdiri dari sejumlah orang pemerintah yang banyak berlatar belakang POLRI dan TNI maupun perwakilan akademisi, gereja, dan beberapa tokoh masyarakat pilihan pemerintah.
Tim Ini ditugaskan untuk bekerja selama dua bulan. Pembentukan TGPF ini dilatarbelakangi oleh desakan masyarakat sipil agar pemerintah mengungkap pelaku pembunuhan Pendeta Yeremia Zanambani, yang oleh keluarga disebutkan bahwa pembunuhnya adalah oknum anggota TNI.
“Pembentukan TGPF ini merupakan sinyal kuat ketidakseriuasan pemerintah dalam menyelesaiakan kasus ini secara transparan, benar, dan adil. Karena pembentukan TGPF ini dilakukan di luar mekanisme resmi yang dimandatkan oleh UU. Pembentukan TGPF dilakukan tidak trasparan, tidak melibatkan perwakilan keluarga korban, dan para pekerja HAM yang independen. Sebaliknya, anggota TGPF bentukan Mahfud tidak memiliki track record kerja dalam mengungkap kasus-kasus pelanggaran HAM,” kata Kawer.
Untuk mengungkap suatu peristiwa yang dapat dikategorikan sebagai kasus pelanggaran HAM, kata Kawer, negara memandatkan kewenangan penyelidikan (investigasi) dapat dilakukan oleh Komnas HAM. Kewenangan penyelidikan ini secara jelas diatur dalam pasal 18 dan 19 Undang-Undang Pengadilan HAM Nomor 26 Tahun 2000. Mekanisme inilah yang mestinya wajib ditempuh oleh pemerintah dalam mengungkap kebenaran dari kasus pembunuhan Pendeta Yeremia maupun kasus-kasus kekerasan HAM lainnya.
“Pemerintah mestinya mendorong Komnas HAM membentuk tim Ad Hoc untuk melakukan kerja-kerja penyelidikan (investigasi) agar dapat mengungkap kebenaran dalam kasus ini secara penuh dan bertanggung jawab,” katanya.
Tim Ad Hoc dimaksud, tegas Kawer, dapat dilakukan dalam membentuk Komisi Penyelidikan Pelanggaran Hak Asasi Manusia (KPP HAM), yang lazimnya dilakukan oleh pemerintah dalam mengungkap peristiwa-peristiwa pelanggaran HAM terdahulu di Indonesia, seperti dalam penyelidikan kasus pelanggaran HAM berat di Timor Timur, Tanjung Priok, Abepura 2000, Wasior 2001, Wamena 2003, dan Paniai 2014.
“Walaupun hingga kini belum menunjukkan keberpihakan bagi korban pelanggaran HAM karena proses hukumnya masih berputar-putar di Kejagung dan Komnas HAM RI,” katanya.
Tuntaskan Semua Kasus
Sementara itu, advokat yang juga bergabung dalam PAHAM Papua, Yohanis Mambrasar, mengatakan upaya pemerintah untuk mengungkap kebenaran mestinya tidak hanya dilakukan untuk pengungkapan kebenaran pada kasus pembunuhan Pendeta Yeremia, tetapi juga untuk semua kasus kekerasan warga sipil di Papua, lebih khusus dalam kasus-kasus kekerasan yang terjadi dalam satu rezim operasi militer.
“Pembunuhan Pendeta Yeremia Zanambani bukan kasus yang berdiri sendiri terpisah dari kasus kekerasan warga sipil lainnya, namun merupakan bagian dari rentetan kekerasan terhadap warga sipil yang saling berkaitan yang terjadi akibat konflik bersenjata antara TNI/Polri dan TPN/OPM di Kabupaten Intan Jaya, Nduga, dan Timika sejak Desember 2018 hingga saat ini. Konflik ini telah menghilangkan banyak nyawa warga sipil dan menciptakan pengungsian ribuan warga tanpa pengungkapan kebenaran dan pertanggungjawaban hukum secara adil agar kekerasan dapat dihentikan dan perdamaian dapat dibangun kembali bagi warga sipil,” katanya. (*)
Editor: Dewi Wulandari