Otsus muka baru dan cerita lama pemekaran wilayah Papua

orang Papua demo
Mahasiswa Papua saat demo tolak pemekaran di halaman kantor DPR Papua, 16 Juli 2019 – Jubi/Dok.
Papua No.1 News Portal | Jubi

Pada 15 Juli 2021, Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua resmi dan sah jadi Undang-Undang, lewat Rapat Paripurna DPR RI.
Pengesahan itu, dicap sama dengan  arahan Presiden Joko Widodo yang menginginkan lompatan kemajuan kesejahteraan di Provinsi Papua. Demikian dikutip tirto.id, 21 Juli 2021.
Jaleswari Pramodhawardani, Deputi V Kepala Staf Kepresidenan, dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (17/72021), menyatakan ada tiga pendekatan dalam aturan yang baru diketok palu itu. pertama segi kuantitatif (peningkatan penerimaan dana otsus dari 2 persen menjadi 2,25 persen dari Dana Alokasi Umum Nasional); kedua segi kualitatif (penggunaan dana otsus ditentukan secara spesifik persentase minimal penggunaannya dalam aspek-aspek strategis yang mendorong pembangunan kesejahteraan); dan ketiga segi akuntabilitas (penggunaan dana otsus diatur untuk dipergunakan dengan mengedepankan prinsip pengelolaan keuangan yang baik melalui pengawasan secara koordinatif).

Dalam UU Otsus Papua terbaru, soal pemekaran wilayah dalam Pasal 76 telah diubah. Kini terdapat lima ayat dalam aturan tersebut. Misalnya, dalam ayat 3 menyebutkan “Pemekaran daerah provinsi dan kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tanpa dilakukan melalui tahapan daerah persiapan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang mengenai pemerintahan daerah.”.

Read More

Itu artinya, UU Otsus yang baru kian mempermudah pemerintah pusat untuk memekarkan wilayah di Papua.

Baca Juga: Hari ini RUU Otsus Papua disahkan dewan, ini sejumlah pasal perubahan

Dikutip dari laman resmi dpr.go.id, Wakil Ketua Pansus Otonomi Khusus (Otsus) Papua DPR RI Yan Permenas Mandenas menegaskan pemekaran, daerah di Papua perlu perencanaan yang detail. Mengingat pemekaran daerah di Papua sudah menjadi isu yang banyak diperbincangkan bahkan beberapa wilayah di Papua juga telah memberikan respon yang positif.

“Kita perlu merencanakan sedetail mungkin, kemudian kita bisa mencari solusi dari pemerintah sesuai dengan kemampuan anggaran yang ada sehingga planning pemerintah untuk mendorong pemekaran daerah otonomi baru di Provinsi Papua baik itu kabupaten maupun provinsi bisa sesegera mungkin kita wujudkan,” ujarnya dalam Rapat Dengar Pendapat Pansus Otsus Papua dengan Direktur Pusat Telaah dan Informasi Regional (PATTIRO) dan Ketua Forum Komunikasi antar Daerah Pemekaran Papua Selatan, di Gedung Nusantara II, Senayan, Jakarta, Senin (7/6/2021).

Peneliti Papua, Amiruddin al Rahab, dalam bukunya “Heboh Papua; perang rahasia, trauma dan separatisme” menulis, ada dua cara untuk memahami kebijakan pemekaran daerah di Papua. Pertama, hal itu dapat dilihat sebagai supaya eksploitasi kesempatan yang dibuka pemerintah pusat (desentralisasi) oleh tokoh-tokoh Papua; ada peluang beranjak ke atas sejak dibenarkannya Papuanisasi birokrasi.
“.. Artinya kini dan saat inilah kesempatan besar  dari tokoh-tokoh Papua untuk menjadi elite di daerahnya sendiri…ini berbanding lurus dengan kian sempitnya peluang tokoh-tokoh Papua untuk menjadi elite di daerah lain,” tulisnya.

Kedua, pemekaran wilayah juga dapat dilihat sebagai upaya pemerintah indonesia untuk menghentikan laju kristalisasi identitas politik Papua.

Menurut Amiruddin, pemerintah Indonesia ketakutan sejak Presidium Dewan Papua (PDP) hadir dan menjadi  wadah tandingan terkuat bagi otoritas pemerintah Indonesia (1999-2003). PDP berhasil menghimpun dan mentransformasikan perlawanan Papua yang sporadis menjadi perlawanan yang terinstitusionalisasi.

Dengan kata lain, identitas  Papua yang tadinya tercerai-berai, mampu bersatu jadi kekuatan utuh sejak kehadiran PDP.

“Pilihan yang tersedia bagi otoritas Indonesia dalam situasi seperti itu adalah melumpuhkan institusionalisasi  tersebut dengan mengeksploitasi kecenderungan politik Papua prakehadiran PDP, yaitu politik dengan sentimen kewilayahan yang penuh warna etnik. Hasil akhirnya adalah Papua bukan lagi satu kesatuan identitas politik, melainkan hanya kapling-kapling administrasi pemerintahan yang berimpit dengan batas-batas wilayah suku,” (*)

Editor: Angela Flassy

Related posts

Leave a Reply