Papua No. 1 News Portal | Jubi
Nabire, Jubi – Since Wosiri ditemani anak bungsunya sedang menjual rambutan binjai. Ada beberapa tumpukan rambutan digelar di atas dua meja kecil yang dibawa warga Keluharan Kalibobo, Distrik Nabire, Kabupaten Nabire, Papua tersebut dari rumahnya.
Mereka berjualan di jalan utama Nabire Waroki, Nabire, Papua tepatnya di lorong masuk ke rumah keluarga itu.
Dalam setumpuk rambutan ada sekitar 15 buah yang dijual seharga Rp10 ribu. Biasanya pada musim rambutan di Nabire, Papua, Since akan berjualan seperti itu untuk beberapa hari. Sebab, kebanyakan akan diborong oleh pedagang buah-buahan Rp50 ribu per kg.
BACA JUGA: Usaha es jeruk peras di Jayapura, Papua sebulan beromzet Rp15 juta
“Saya dan anak bungsu biasanya jual di sini dan tidak buat pondok jualan, sebab kalau sudah masak semua di pohon biasanya ada pemborong yang ambil,” ujar Since Wosiri kepada jubi, Jumat, 26 Maret 2021.
Since Wosiri, 53 tahun dan suaminya Daud Ayomi, 57 tahun memiliki empat anak. Anak pertama mereka sudah menyelesaikan kuliahnya di Jayapura dan bergelar sarjana pendidikan. Kini ia bertugas di Kabupaten Teluk Wondama sebagai guru. Anak kedua laki-laki, namun sayang sudah meninggal dunia beberapa waktu lalu.
Anak ketiga mahasiswa semester delapan di salah satu universitas di Pulau Sumatra. Kemudian si bungsu, perempuan yang masih duduk di kelas 3 SD.
Ibu empat anak tersebut biasanya akan menghabiskan waktu untuk berjualan. Terkadang, ia akan menjajakan buahnya pada saat sedang musim. Kadang ia ke Pasar Kalibobo atau dekat jalan masuk rumahnya.
Ia juga berdagang es atau makanan ringan seperti keripik dan lainnya di area sekolah Pesat yang kebetulan dekat dengan rumahnya.
“Sekarang tidak jualan ke sekolah karena libur,” katanya.
Rumah mereka berukuran sedang, kira-kira 8 X 8 meter dengan beberapa kamar, ruang tamu, dan dapur. Sedangkan halamannya cukup luas, kurang lebih 70 X 70 meter.
Di samping rumah terdapat beberapa jenis buah-buahan yang selalu dijaga untuk didagangkan. Ada enam pohon rambutan binjai. Enam pohon matoa kepala, dan 20 lebih pohon pinang.
“Kami andalkan pohon di samping rumah ini untuk membiayai anak kuliah,” ujarnya.
Hasil dari buah cukup menggiurkan. Pinang, biasanya akan dijual per mayang minimal Rp100 ribu. Buah tersebut tidak memiliki musim, tetapi kapan saja kalau sudah ia rasa matang. Sekali panen hasilnya bisa Rp500 ribu, bahkan lebih.
Buah rambutan musimnya pada bulan Maret hingga April. Hasilnya paling rendah Rp2 juta. Matoa biasanya berbuah pada Januari hingga Februari dan hasilnya bisa mencapai jutaan rupiah.
“Bulan kemarin saya jual matoa dapat Rp15 juta dan saya kirim semua untuk anak di Sumatra,” kata Since.
Sedangkan Daud Ayomi, suaminya akan menghabiskan waktu untuk memancing. Hasilnya dijual. Di samping itu ia juga membersihkan rumput di pekarangan orang yang membutuhkan dengan bermodalkan mesin babat rumput.
Selain itu, ayah empat anak itu juga akan mendulang emas di Sungai Degewo. Itu akan dilakukannya jika cuaca di laut tidak bersahabat untuk mencari ikan. Ia akan menghabiskan waktu di hutan dan kembali lagi jika cuaca membaik.
“Bapak tidak pegawai, jadi kadang melaut atau bersihkan halaman orang atau dulang,” katanya.
Pria asal Serui tersebut berpendapat bahwa sekalipun tidak memiliki pekerjaan tetap, namun ia ingin berjuang untuk anaknya bersekolah. Sebab menurutnya pendidikan sangat berharga dan bermanfaat.
Ia sangat yakin jika anaknya semua menjadi sarjana, maka masa depannya akan cerah.
“Makanya saya berjuang, apa saja pekerjaan akan saya kerjakan, prinsip saya walaupun tidak jadi sarjana tetapi anak harus sarjana,” katanya.
Daud Since saat ini berjuang habis-habisan untuk anak ketiganya yang sudah semester delapan di Universitas Sumatera Utara. Kegigihan dan perjuangan Daud adalah ingin anaknya menjadi seorang dokter. Rencananya putrinya akan diwisuda pada September nanti. (*)
Editor: Syofiardi