Papua No. 1 News Portal | Jubi
Pohon-pohon kelapa masih berdiri tegak dan ditiup angin pantai. Laut sore ini sudah surut, sehingga pantai berlumpur seukuran lapangan bola, dijadikan tempat mencari ikan atau kerang oleh beberapa anak. Di pojok kanan garis pantai, di bawah barisan pohon kelapa, tiga mama menyapu areal pantai yang dihiasi beberapa pondok sederhana.
Beberapa waktu kemudian, beberapa perempuan menuju ke laut. Teriakan baku sapa memecahkan kesunyian Pantai Base-G, Tanjung Ria, Distrik Jayapura Utara, Papua, Selasa sore, 27 Agustus 2019.
Sedangkan seorang perempuan tiga puluhan tahun, bersama tiga anak, menjajakan sirih-pinang, makanan, dan minuman ringan. Kedatangan Jubi disambut obrolan renyah sambil memakan sirih-pinang, yang dibeli dari sang perempuan seharga Rp 10 ribu per tumpuk.
“Di sini lahan orang Kayo Batu,” katanya.
Perempuan berdarah Buton-Biak, dari marga Ronsumbre ini mengaku sudah menjadi orang asli Kayo Batu, setelah dinikahkan laki-laki setempat dari marga Puy. Hubungan kekerabatan orang Kayo Batu dijalin berdasarkan keturunan dan perkawinan. Marga Puy, Makanuay, Youwe, Sibi, Chaay, dan Demetouw adalah marga asli orang Kayu Batu.
Pantai Base-G adalah salah satu kawasan wisata di tanah ulayat orang Kayo Batu. Sebelum diserahkan kepada ondoafi setempat tahun 1996, kawasan ini dikelola sebuah yayasan bernama Yayasan Erebes. Kini dikelola berdasarkan marga dan penduduk sekitar yang bekerja sama dengan pemerintah kota.
Di sisi kiri garis pantai, tampak sejumlah rumah. Beberapa rumah kolong dan beberapa lainnya berlantai tanah dengan ornamen dan warna khas. Perumahan tersebut merupakan perkampung etnis Biak, yang sejak lama menjalin kekerabatan dengan orang Kayo Batu.
Di sini lebih ramai dibandingkan pojok kanan, yang hanya ditemui beberapa warga dengan pondok dan aktivitasnya. Orang Kayo Batu ini rupanya sedang mengais rejeki dari objek wisata pantai Base-G, dengan menyewakan pondok dan menjual makanan beserta minuman ringan. Areal pantai menjadi salah satu sumber penghidupan bagi masyarakat Kayo Batu selain nelayan, pekerja swasta, dan pegawai. Mereka adalah penduduk asli Port Numbay, Kota Jayapura.
Orang Port Numbay tersebar di 14 kampung (Kayo Pulau, Kayo Batu, Tobati, Enggros, Nafri, Skouw Sae, Skouw Mabo, Skouw Yambe, Mosso, dan Kampung Yoka) dan 25 kelurahan pada kota seluas 940 km2.
Jika merujuk Undang-Undang Nomor 12 tahun 1969 Tentang Pembentukan Irian Barat dengan 9 kabupaten, jumlah orang Port Numbay semakin sedikit merupakan realitas, sebagai dampak Jayapura menjadi ibu kota Irian Barat tahun 1969. Akhir 1979 sampai 1980-an dan 1985-1987, Presiden Soeharto mendatangkan 45.580 transmigran dalam program Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita).
Sejak adanya transmigrasi saat itu, orang Port Numbay kehilangan lahan di Koya Timur dan Barat, serta pinggiran Holtekam, Distrik Muara Tami. Kehadiran penduduk migran setiap tahun disebut menjadikan mereka semakin tercerabut di tanahnya sendiri.
Penduduk dari tahun ke tahun menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) semakin meningkat. Tahun 2002 penduduk Kota Jayapura sebanyak 202.379 dengan kepadatan 191.414 km2, tahun 2005 sebanyak 218,027 dan pencari kerja 19.145 orang, dan tahun 2009 sebanyak 242.225 (laki-laki 128.535 dan perempuan 113.690), tahun 2015 (BPS 2016) sebanyak 283.490 orang atau bertambah 2,83 persen dari tahun sebelumnya.
Hingga akhir 2018, penduduk Kota Jayapura menurut Data Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Jayapura adalah 420.964 jiwa (laki-laki 224.985 dan perempuan 195.979). Jayapura Utara sebanyak 100.307 (pria 533.611 dan perempuan 46.696), Jayapura Selatan 107.733 (laki-laki 56.882 jiwa dan perempuan 50.851), Abepura 127.604 (laki-laki 68.825 dan perempuan 58.779), Muara Tami 19.115 (laki-laki 10.085 dan perempuan 9.030), dan Distrik Heram 66.205 (laki-laki 35.582 dan perempuan 30.623).
Di tengah ledakan penduduk sebesar itu, orang asli Port Numbay justru semakin sedikit. Pulau Kosong, misalnya, jumlah pendatang diperkirakan 600 lebih daripada penduduk asli. Di Kayo Pulo hanya 149 orang asli dan 140 kepala keluarga di Tobati.
Data Yayasan Konsultasi Independen Rakyat (KIPRA) Papua menyebutkan 9.594 orang asli Port Numbay pada 2013. Jumlah tersebut merupakan gabungan dari 3.087 orang yang tinggal di Jayapura, 2.874 di luar Jayapura, dan 3.633 lainnya di 14 kampung.
Lima tahun kemudian (2018), menurut Data Yayasan Anak Dusun Papua (Yadupa) dan Generasi Muda untuk Hak Adat (Gempha), Agustus-Oktober 2018, penduduk asli Port Numbay sebanyak 11.949 dari 293.690 penduduk Kota Jayapura.
Sedangkan penduduk asli Port Numbay dan Papua lainnya sebanyak 95.758 pada 2014 atau hanya 35 persen penduduk OAP (termasuk Port Numbay yang hanya 2 persen), dan 169.629 penduduk OAP (termasuk Port Numbay) pada 2014.
Orang Port Numbay sebanyak itu termasuk di pasar mama-mama Papua, yang hanya ada empat orang dari 20-an kuota 477 OAP, yang disediakan Solidaritas Pedagang Asli Papua (SOLPAP). Sedangkan di Pasar Hamadi hanya 100 orang. Data awal khusus kota (Jayapura Utara dan Jayapura Selatan), termasuk Port Numbay sebanyak 100-an dari ribuan pedagang asli Papua. Itu pun mama-mama 40-an tahun.
“Selain mama-mama Port Numbay semua kabupaten di Papua; Biak, Serui, Nabire, Sorong, dan lain-lain,” ujar Frengky Warwe, Koordinator SOLPAP.
Di Pasar Youtefa, Distrik Abepura, hanya terdapat 83 pedagang asli Port Numbay pada 2015. Di Tanjung Ria, menurut penelitian Yadupa (2018), dari 71 pedagang OAP, hanya 3 orang Port Numbay, dan hanya 1 pedagang Port Numbay dari 37 pedagang OAP. Sedangkan rumah toko (ruko) sebanyak 3.279 milik orang non-OAP. Data Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Jayapura per 2011 sampai 2018 menyebutkan bahwa terdapat 18 ribu pelaku usaha mikro; 80 persen di antaranya perempuan.
Di sektor swasta, Lenny adalah OAP yang bekerja di sebuah hotel berbintang di Abepura.
“Ini pilihan dan kami terdiri dari tiga orang perempuan, dua laki-laki, dan kami mengerti dan memahami kerja,” kata Lenny.
Di hotel berbintang lainnya di Abepura, karyawan OAP hanya satu orang, yakni dari Provinsi Papua Barat. Sedangkan sisanya karyawan non-OAP.
Menurut Kasie Bidang Penempatan Tenaga Kerja di Seksi Informasi Pasar Kerja Dinas Tenaga Kerja Kota Jayapura, Gerzon Warisal, pencari kerja khusus OAP (orang asli Papua) lebih tertarik melamar CPNS daripada di perusahaan swasta. Jumlah pencari kerja (pencaker) akhir Desember 2018 sebanyak 8.980 orang, sedangkan Januari-Juli 2019 sebesar 2.162, sedangkan jumlah pencaker OAP per Januari-Juli 2019 sebanyak 1.249 orang. Dari pencaker tersebut, tak disebutkan secara spesifik pencaker orang asli Port Numbay.
“Kami juga tak tahu kenapa fenomena ini terus terjadi, sehingga kami sangat kewalahan menghadapi membludak para pencari kerja yang mengurus kartu kuning ke kami di sini jelang pembukaan penerimaan CPNS,” katanya.
Menurut Ketua Pemuda Adat Port Numbay, Rudi Mebri, seharusnya penduduk Jayapura tidak lebih dari 130 ribu jika merujuk penelitian K.W. Galis dalam “Papuas van de Humboldt-baai (1955)”, sebab Jayapura terdiri atas ngarai, bukit, rawa, dan sungai, sehingga tidak memungkinkan dijadikan permukiman, tetapi pusat pemerintahan dan pendidikan.
Dia mengatakan persoalan orang Port Numbay begitu kompleks, dan bukan hanya soal jumlah. Oleh karenanya pemerintah harus memasukkan kebijakannya dalam seluruh RPJM, untuk menyelamatkan orang Port Numbay yang tersisa. Jayapura, katanya, seharusnya menjadi daerah istimewa seperti Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta.
“Proteksi seluruh yang tersisa di masyarakat adat 10 kampung ini. Regulasi harus hadir untuk proteksi seluruh aset yang tersisa. Lahan tidak boleh dialihfungsikan (dipindahtangankan). Sehingga itu terkonek dalam tataruang kota. Kemudian dijabarakan dalam visi-misi, RJJM, renstra.”
Kepala Suku Hay Keondoafian Kayo Pulo, Marthin Chaay, mengakui adanya mobilisasi penduduk migran lebih besar dibandingkan penduduk asli Port Numbay. Namun, masih banyak orang asli Port Numbay, yang menyebar di sejumlah daerah di luar Jayapura dan Papua, baik menetap dan bekerja, maupun mereka yang melanjutkan pendidikan. Dia mencontohkan marga Hay yang menetap di Manokwari, Papua Barat karena perkawinan.
“Memang kita pasti kalah (jumlah) dengan penduduk lain (di Jayapura),” kata Chaay.
Dia berpendapat penghargaan terhadap adat di Port Numbay masih lemah. Hal itu dipengaruhi faktor luar (pemerintahan sipil), dan faktor dari dalam (internal), seperti penjualan tanah. Karenanya, adat harus didorong dalam peraturan daerah untuk melindungi adat, tanah ulayat dan pemerintahan adat dengan pemetaan tanah adat.
Senada dengan Mebri, Marhin Chaay, juga merujuk disertasi doktoral K.W. Galis (1955), yang meneliti tentang Port Numbay. Untuk meneliti (batas) tanah Kayo Pulo, misalnya, Galis bahkan mencari informasi dari tetua di kampung-kampung sekitar sebagai sumber informasi pendukung kajiannya. Pemetaan (batas adat) dianggap sebagai upaya mengurangi saling klaim tanah ulayat.
Kelahiran penduduk asli Port Numbay, terutama di Enggros disebut mulai menurun. Orgenes Meraudje, Kepala Kampung Tobati menduga hal itu disebabkan oleh khawalitas air yang tercemar logam berat.
“Ibu-ibu hamil dari 10 hampir tidak terlihat. Apa sebab? Pada anak muda ni. Nanti kita kaji lebih lanjut. Waktu tong (kitorang: kita) masih muda jauh sekali. Dengan perubahan kelahiran. Sa pu bapa lahir kami 10 orang. Saya lahir hanya tiga saja,” katanya.
Pendapat Meraudje diperkuat penelitian Hasmi dari Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar dalam “Analisis Risiko dan Kajian Epidemologi Paparan Plumbun pada Masyarakat di Sekitar Teluk Youtefa Kota Jayapura Provinsi Papua (2014)”.
Hasmi menyebut, ikan bulanak dari 12 stasiun pengambilan sampel masuk kategori tercemar plumbun (Pb). Berdasarkan SNI 7387 tahun 2009, jika kadar Pb dalam ikan dan kerang lebih dari 0,3 mg/kg, maka ikan tersebut tercemar plumbun.
Sedangkan pada kerang, ditemukan 0,076 sampai 3,48 mg/l dengan nilai rata-rata 0,57 mg/kg. Rata-rata kadar Pb dalam kerang, jika mengacu pada SNI 7387 tahun 2009, maka kerang tercemar Pb.
Antropolog Universitas Cenderawasih (Uncen), Andro Lukito, berpendapat orang Port Numbay mengalami shock culture sejak Perang Dunia II (1942-1945), sebab sejak saat itu Jayapura menjadi basis militer Amerika Serikat bersama sekutunya.Dalam kajian Lukito, orang Tabi (termasuk Port Numbay) merupakan masyarakat semi peramu, semi nelayan dan semi peladang. Mereka juga termasuk karakter apolonia jika merujuk antropolog Benedict.
Karakter apolonia menjadikan orang Tabi suka berdamai, berkelompok dan memberi ruang kepada kelompok lain (migran), sehingga lama-kelamaan tersingkir.
Menurut Lukito, ondoafi harus diangkat menjadi legislator, entah dewan penasehat atau apapun di legislator, sebagai bentuk penghargaan terhadap pimpinan adat. “Yang jadi persoalan, kalau mereka tidak dihargai,” katanya.
Tahun 1982-1983, mereka sebagian di teluk (Kayu Batu, Kayu Pulau, Dormo) ditransmigrasikan ke Koya zaman Barnabas Youwe. Mereka ketika itu, karena karakter apolonia, rela berpindah ke tempat lain hanya karena kebaikan pada orang lain.
Maka dari itu, mereka harus diproteksi, diberdayakan, dan harus ada keberpihakan khusus yang dibuat oleh Kota Jayapura. Dia mengutip teori Abraham Maslow, tentang empat hal penting dalam kehidupan orang Tabi. Maslow menyebutkan teori pshycological needs (kebutuhan fisiologis), safety needs (kebutuhan akan rasa aman), social needs (kebutuhan akan rasa memiliki dan kasih sayang), estem needs (kebutuhan akan penghargaan), dan self-actualization needs (kebutuhan akan aktualisasi diri).
“Dia (orang Tabi) bangun hubungan sosial. Ketika terjadi apa-apa mereka (hubungan sosial) yang tolong dia. Safety needs bermain ketika dia sudah membangun social needs,” katanya.
Lukito berpandangan bahwa orang Port Numbay harus diperkuat di kampung-kampung, dengan mengangkat identitasnya melalui kebijakan afirmatif dan pendidikan karakter. (*)
Penulis : Timo Marten, Sindung Sukoco, Hengky Yeimo
Editor: Dominggus A. Mampioper