Papua No. 1 News Portal | Jubi ,
TERKAIT sejumlah persoalan di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Jayapura, tim Ombudsman Republik Indonesia (ORI) Papua mendatangi rumah sakit tersebut. Pelaksana Tugas (Plt) Direktur RSUD Jayapura, Anggiat Situmorang, yang menyambut tim ORI menjelaskan sejumlah hal.
Situmorang mengatakan untuk operasi mayor yang sempat terhenti sudah beroperasi kembali sejak Jumat, 24 Agustus 2018.
“Operasi mayor sudah dilakukan dan tadi sudah dilakukan,” katanya.
Terkait obat-obatan dan alat kesehatan (alkes) yang stoknya sempat kosong, ia mengaku bahwa untuk obat dan alkes juga sudah ada dan kini RSUD Jayapura sudah berjalan normal dalam hal pelayanan kepada masyarakat.
“Sebelumnya kan untuk pelayanan sedikit terganggu karena stok obat dan alkes habis, selain itu tindakan operasi hanya bisa dilakukan operasi minor, tapi saat ini sudah semuanya,” ujarnya.
Terkait istilah operasi minor dan operasi mayor, Anggiat Situmorang, menjelaskan klasifikasi operasi terbagi dua, yaitu operasi minor dan operasi mayor. Operasi minor adalah operasi yang secara umum bersifat selektif yang bertujuan untuk memperbaiki fungsi tubuh, mengangkat lesi pada kulit, dan memperbaiki deformitas, contohnya pencabutan gigi, pengangkatan kutil, kuretase, operasi katarak, dan arthoskopi.
“Kalau operasi mayor itu operasi yang bersifat selektif, urgen dan emergensi, tujuan dari operasi ini adalah untuk menyelamatkan nyawa, mengangkat atau memperbaiki bagian tubuh, memperbaiki fungsi tubuh dan meningkatkan kesehatan, contohnya kolesistektomi, nefrektomi, kolostomi, histerektomi, mastektomi, amputasi, dan operasi akibat trauma,” katanya.
Selain itu Anggiat Situmorang juga menjelaskan tentang klain KPS. Ia mengatakan bahwa selama ini ada kesalahan perhitungan klaim Kartu Papua Sehat (KPS) di rumah sakit yang kini dipimpinnya. Hal itu terungkap setelah pengelola KPS rumah sakit melaporkan kepadanya.
“Seharusnya perhitungan klaim KPS itu dihitung per lembar resep bukan per resep, ini ada kesalahan dan saya sudah suruh untuk menghitung ulang kepada para dokter yang mengeluarkan resep,” katanya.
Anggiat mencontohkan dalam satu lembar resep ada lima hingga enam resep yang dikeluarkan oleh dokter kepada pasiennya, baik pengguna BPJS maupun KPS. Seharusnya yang dikalim satu lembar resep, bukan dihitung per resep yang tertera di dalam satu lembar resep tersebut.
Salah satu pengelola KPS RSUD Jayapura yang enggan menyebutkan namanya mengakui hal tersebut. Ia mengaku sudah mengembalikan semua klaim tersebut kepada dokter untuk memperbaikinya.
“Sudah saya kembalikan dan saya jelaskan kembali kepada mereka untuk diperbaiki, ini terjadi karena di sini (RSUD Jayapura) belum memiliki Sistim Informasi Manajemen Rumah Sakit (SIM-RS),” katanya.
Kepala Ombudsman Republik Indonesia (ORI) Papua, Sabar Iwanggin, mengatakan dari inspeksi mendadak (sidak) beberapa hari lalu di RSUD Jayapura pihaknya menemukan bahwa di rumah sakit rujukan tersebut belum memiliki SIM-RS yang mengakibatkan banyak tumpang tindih data atau pencatatan data yang berulang-ulang. Ini menyebabkan duplikasi data sehingga kapasitas yang diperlukan membengkak dan pelayanan menjadi lambat, akibatnya tumpukan filing memerlukan tempat filing yang cukup luas.
“Selain itu juga mengakibatkan penyimpanan data tidak terpusat, data tidak sinkron, informasi pada masing-masing bagian mempunyai asumsi yang berbeda-beda sesuai kebutuhan masing-masing unit, ini yang terjadi di sini,” kata Iwanggin.
Selain itu, Iwanggin juga mengatakan dengan tidak adanya SIM-RS dan melakukan pencatatan secara manual menyebabkan terjadinya kesalahan pencatatan yang semakin besar dan tidak sinkron dari unit satu ke yang lainya dan menimbulkan banyaknya perubahan data.
“Efeknya banyak pelayanan akan berdasarkan sesuka perawat atau dokter sehinga dokter atau perawat bisa menambah bahkan mengurangi data atau tarif sesuai dengan kondisi saat itu, misalnya yang berobat adalah saudaranya maka dengan seenaknya dokter dan perawat memberikan diskon tanpa melalu prosedur yang tepat dan menimbulkan kerugian kepada rumah sakit,” ujarnya.
Meski begitu, Iwanggin mengapresiasi apa yang telah dilakukan pengeloal RSUD Jayapura dengan berupaya melayani pasien yang membutuhkan pelayan operasi mayor.
“Ini penting untuk pelayanan kepada masyarakat, namun terkait persoalan terbesar RSUD Jayapura adalah soal utang kepada pihak ketiga, akan tetap kami minta laporannya,” katanya usai pertemuan.
Ia mengingatkan agar persoalan utang rumah sakit tersebut tidak dianggap sepele karena persoalan tersebut akan terus terjadi jika tidak ada kesadaran dari pihak rumah sakit untuk menyelesaikannya.
“Dari hasil diskusi kami dengan pihak RSUD Jayapura ternyata utang ini sudah berlangsung sejak 2013 hingga kini, nah ini yang harus kita kejar agar utang tersebut bisa diselesaikan sehingga ke depan tidak lagi timbul kejadian seperti ini,” ujarnya. (*)