Papua No. 1 News Portal | Jubi
Oleh: Hyasint Asalang
Di Sungai Maro, tinggallah ratusan penduduk yang mendiami pesisir sungai itu. Mereka disebut orang-orang Marind-anim atau manusia sejati. Hampir semua penduduk hidup dari meramu dan bercocok tanam.
Para penduduk tersebut terbagi dalam dua kelompok utama. Klan Semut dan klan Kasuari di satu pihak, sedangkan klan Angsa dan klan Sagu berada di pihak lain.
Meskipun demikian, kehidupan di perkampungan itu sangat tentram. Mereka memiliki kepercayaan terhadap Dema yakni tokoh mistis yang berpengaruh dalam seluruh aspek kehidupan mereka. Dema sangat dihormati oleh seluruh klan dan memiliki kekuatan yang dahsyat. Ia dapat sewaktu-waktu berubah menjadi pohon, hewan, bahkan dapat menjadi manusia dari salah satu klan tersebut.
Di antara para penduduk tersebut, ada seorang laki-laki bernama Kaize. Ia sangat piawai dalam berburu. Kaize memiliki seorang teman bernama Gebze. Mereka sudah berteman sejak kanak-kanak hingga diinisiasi menjadi pria dewasa.
Ada juga seorang gadis cantik bernama Ndiken. Ia merupakan salah satu perempuan yang pandai dalam memasak dan bercocok tanam.
Suatu ketika dalam pesta Dambu, Ndiken membawa sebuah umbi dan Kaize membawa seeokor babi. Di pesta syukuran inilah, Kaize bertemu Ndiken untuk pertama kalinya dan keduanya saling jatuh cinta.
Namun, kisah cinta mereka bertentangan dengan aturan klan bahwa setiap pasangan yang akan menikah haruslah berasal dari kelompok klan yang sama dan tidak boleh berseberangan klan. Meskipun demikian, mereka tetap menjalin hubungan secara diam-diam.
Hubungan mereka terus dijalani secara tersembunyi hingga pada suatu ketika tersiar kabar bahwa Ndiken telah mengandung seorang anak. Alangkah terkejutnya penduduk yang mengetahui kabar tersebut.
Maka dikumpulkanlah Kaize dan Ndiken beserta seluruh anggota keluarga mereka, juga para ketua dari setiap klan.
“Kaize dan Ndiken telah melanggar aturan yang sudah kita buat. Mereka harus dihukum!” demikian salah satu pernyataan yang terdengar.
“Tapi bagaimana dengan anak yang dikandung Ndiken? Apakah ia juga dihukum?” balas seorang lainnya.
Pertemuan itu berlangsung selama satu malam dan ditutup dengan meminta doa dari Dema tentang masalah yang mereka alami. Hingga akhirnya keputusan pun diambil.
Kaize harus membayar kesalahannya dengan empat ekor babi sebagai tanda permintaan maaf kepada keluarga perempuan dan seluruh klan. Kaize dan Ndiken juga akan dihukum dengan cara diasingkan dari perkampungan agar perilaku mereka tidak diikuti oleh penduduk yang lain. Semua itu akan dijalankan setelah Ndiken melahirkan anak sesuai tradisi karena anak mereka akan tinggal di perkampungan sebagai tanda perjanjian antara klan.
Hari pun berganti dan tibalah saatnya Ndiken akan melahirkan anaknya. Seperti adat Marind-anim, seminggu sebelum kelahiran, Ndiken akan menjalani ritual oram-aha. Ia akan dibawa ke pondok yang cukup jauh dari perkampungan. Di pondok itulah Ndiken akan tinggal selama beberapa hari kelahiran anaknya. Ndiken ditemani ibunya dan salah seorang perempuan yang akan membantu proses kelahiran di pondok tersebut.
Sedangkan Kaize sebagaimana biasanya, akan menjaga lokasi di sekitar tempat itu tapi dengan jarak yang cukup jauh. Ia juga berkewajiban untuk mencari makan bagi mereka yang tinggal di pondok tersebut. Ia bisa dibantu oleh Gebze dan dua orang temannya, tetapi ia dilarang untuk bertemu, berbicara bahkan melihat Ndiken.
Hal ini dapat menodai kesucian dari ritual ini dan menjaga dari bahaya adanya ilmu hitam yang mengganggu. Karena itu, hasil buruan yang didapatkan hanya bisa diberikan kepada mamanya Ndiken atau perempuan yang membantu proses kelahiran. Kaize dan teman-temannya juga dilarang untuk menceritakan mitos-mitos apapun yang berhubungan dengan hal-hal mistis. Jika ini dilanggar, maka anak yang dilahirkan itu akan ternoda dan akan diambil oleh Dema atau roh mistis lainnya. Dan hal itu harus menjadi pegangan hingga waktu kelahiran anaknya.
Ritual itu berjalan lancar. Di malam yang diterangi bulan, Ndiken melahirkan anaknya, seorang putra. Tangisan putranya menyeruak. Tangisan itu pula yang juga didengar oleh Kaize dan teman-temannya. Pada momen yang sama, ia sedang bersama Gebze dan beberapa teman yang lain telah menikmati hasil buruan dan bersama-sama meminum wati. Namun apa daya, Kaize juga dilarang untuk melihat anak itu hingga pada waktu yang telah ditetapkan.
Alangkah sedihnya Kaize karena ia tidak dapat melihat anaknya lebih lama. Ia harus diasingkan dan dipisahkan dari anaknya sendiri. Demi melepaskan kesedihannya, Kaize bersama teman-temannya meminum wati hingga mabuk berat dan mulai berbicara sembarangan, termasuk menceritakan mitos-mitos yang sebenarnya terlarang untuk diceritakan di malam itu!
Pagi itu terasa hening. Kaize dan teman-temannya masih tidak sadarkan diri karena mabuk semalaman. Sesaat kemudian, suara tangisan pun pecah. Tangisan itu berasal dari pondok kelahiran, tempat Ndiken bersalin. Tangisan itu membuat Kaize sadar dari tidurnya dan langsung berlari menuju pondok tersebut.
Di sana Kaize melihat Ndiken sedang memeluk anaknya sambil menangis. Anaknya telah meninggal dunia! Kaize hanya berdiri dari pintu sambil menyaksikan anaknya yang belum sempat digendongnya. Ia terdiam lalu mundur beberapa langkah, lalu tertunduk, tidak sanggup melihat Ndiken dan anaknya.
Ndiken terus meratapi anaknya yang tidak bergerak lagi. Sambil menangis, ia mengambil pakaiannya yang terbuat dari untaian serat kayu, lantas menutupi tubuh anaknya dari kaki hingga leher. Ia bernyanyi seakan-akan ingin menidurkan anaknya dengan air mata yang terurai.
Ndiken dan semua orang yang berada di pondok persalinan pun dibawa ke perkampungan. Mereka pun melakukan upacara kematian dan penguburan terhadap bayi Ndiken. Jenazah bayi itu kemudian dikuburkan.
Sejak pagi hingga malam Ndiken menangis tiada henti-hentinya di samping kubur anaknya. Ia menangis selama tiga hari tiga malam. Bayi itu pun akhirnya dimakamkan dengan pakaian lilitan serat kayu yang dipakaikan Ndiken.
Sesuai dengan adat orang Marind-anim, setelah hari ketiga jenazah yang telah dikuburkan harus digali kembali untuk diselidiki tanda-tanda kematiannya: apakah kematian ini memang dikehendaki oleh Dema, atau mungkin saja berasal dari magi hitam.
Ndiken masih duduk tak berdaya di samping kuburan anaknya. Sebelum penggalian, beberapa klan mulai berdoa kepada Dema dan mengiringi kepergian jenazah dengan nyanyian.
Setelah dilakukan penggalian, tak dapat disangka bahwa jenazah bayi itu telah menghilang! Yang tersisa hanyalah rajutan serat kayu yang dililit oleh Ndiken pada tubuh anaknya.
Semua orang sangat kaget melihat kejadian itu, demikian pun Ndiken dan Kaize.
Serat-serat kayu itu pun diambil dan diberikan kepada Ndiken. Serat-serat kayu itu membentuk sebuah tas yang menyerupai tubuh anak itu. Mereka kemudian menamai tas itu dengan Vaseb yang berarti hidup yang lebih baik, atau noken dalam istilah familiarnya.
Meskipun demikian, Ndiken dan Kaize harus menjalani hukuman. Ndiken lalu mengambil vaseb, lalu pergi bersama dengan Kaize. Mereka berjalan ke selatan, mencari Dema yang telah mengambil tubuh anaknya di dalam makam. (*)
Keterangan istilah:
- Ndiken: Angsa, 2) Kaize: Kasuari, 3) Gebze: Kelapa (Semut), 4) Mahuze: Sagu, 5) Dambu: Pesta syukuran hasil panenan atau buruan. Pemenang dalam pesta ini ialah orang yang mempunyai hasil panen paling unggul atau hasil buruan yang paling berharga, dan 6) Wati: Tumbuhan rawa yang ada di daerah Papua selatan. Tumbuhan ini direbus dan airnya diminum. Hasil rebusan wati dapat memabukkan.
Penulis adalah warga Merauke. Cerita ini terpilih sebagai cerita favorit harapan 2 (juara 5) lomba menulis cerita rakyat dalam rangka HUT 18 Jubi.
Editor: Timo Marten