Noken dan Hardiknas 

Mama-mama di wilayah Meepago mengenakan noken - Jubi/Dok
Mama-mama di wilayah Meepago mengenakan noken – Jubi/Dok

Papua No. 1 News Portal | Jubi

Oleh: Hari Suroto

Read More

Noken sudah diakui sebagai warisan dunia. Menyikapi Hardiknas (Hari Pendidikan Nasional) 2 Mei 2019, hingga saat ini belum ada sekolah di Papua yang mengajarkan noken sebagai muatan lokal (mulok). Pelajaran mulok malah diisi dengan pelajaran bahasa asing, misalnya saja bahasa Jerman.

Untuk itu, noken sebagai budaya Papua perlu diajarkan di sekolah sebagai pelajaran muatan lokal Papua. Mata ajar noken ini bisa diampu oleh guru prakarya atau pihak sekolah bisa mendatangkan langsung mama-mama Papua pengrajin noken untuk mengajar di kelas, tentu saja dengan pendampingan pihak sekolah.

Pemerintah Provinsi Papua perlu mendukung gerakan mama-mama Papua masuk sekolah mengajar noken.

Lain halnya dengan batik yang juga sudah diakui sebagai warisan dunia.

Nasib batik lebih bagus daripada noken

Generasi muda sekarang sangat suka mengenakan batik. Pengrajin batik muncul di mana-mana, bahkan daerah yang sebelumnya belum kenal batik, saat ini menghasilkan batik dengan motif khas dan unik daerahnya. Contohnya Raja Ampat mengembangkan batik khas Raja Ampat.

Batik sudah diajarkan sebagai muatan lokal pada sekolah-sekolah di Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Bahkan di Yogyakarta sudah ada sekolah menengah kejuruan jurusan batik.

Untuk itu, di Papua perlu dibuat sekolah menengah kejuruan jurusan noken. Noken bisa menjadi sumber ekonomi kreatif bagi generasi muda Papua.

Dari membuat dan menjual noken, mama-mama bisa menyekolahkan anak-anaknya.

Generasi muda Papua harus bangga mengenakan noken. Jangan hanya mengenakan noken benang nilon, tetapi harus noken asli yang terbuat dari kulit pohon melinjo.

Noken sudah menjadi identitas Papua.

Tiap-tiap suku di Papua memiliki noken khas, hal ini berkaitan dengan kreativitas masing-masing dan lingkungan alam sekitar sebagai bahan baku.

Noken di pedalaman dan pegunungan berbeda dengan noken pesisir dan kepulauan. Noken pegunungan berupa noken rajut berbahan kulit pohon, sedangkan noken pesisir berupa noken anyaman dari daun tikar.

Sementara itu, pendapat yang sama juga diungkapkan oleh Wulf Schiefenhoevel, guru besar antropologi Max Planck Institut Jerman. Wulf yang sudah melakukan penelitian noken eipo Pegunungan Bintang Papua sejak tahun 1975 hingga sekarang.

Menurut Profesor Wulf, noken merupakan hal penting sekali untuk semua masyarakat pulau Nugini (Papua Nugini/PNG dan Papua). Menurut Wulf, ia sudah bicara mengenai noken Papua dengan Duta Besar RI di Perancis yaitu Hotmangaradja Pandjaitan. Paris merupakan kantor pusat UNESCO World Heritage.

Max Planck Institut Jerman dan Universitas Bordeaux Perancis bekerja sama dengan Kedutaan Besar Republik Indonesia di Perancis beserta Universitas Cenderawasih akan melakukan penelitian noken suku Mek Pegunungan Bintang Papua untuk pengembangan ekonomi kreatif.

Noken suku Mek sangat unik, multi fungsi dan terbuat dari bahan ramah lingkungan.

Menurut Wulf, secara tradisional di Papua membuat noken tidak diajarkan di sekolah formal. Untuk anak-anak di pedalaman misalnya, mereka belajar membuat noken langsung dari mama-mama di kampung. Wulf sepakat lebih baik noken untuk diajarkan secara formal untuk anak sekolah di kota dan kampung.

Selama ini baru ada dua buku muatan lokal yang diajarkan di sekolah menengah pertama di Kota Jayapura dan Sentani. Buku ini adalah buku Lukisan Megalitik Tutari dan buku Gerabah Abar.

Langkah pertama yang harus dilakukan yaitu membuat buku ajar muatan lokal noken. Langkah selanjutnya adalah membuat payung hukum agar noken diajarkan di sekolah-sekolah di Papua. (*)

Penulis adalah peneliti di Balai Arkeologi Papua

Editor: Timo Marthen

Related posts

Leave a Reply