Papua No. 1 News Portal | Jubi
“Saya rasa harganya sudah pantas dijual mahal karena susah membuat dan mendapatkan bahannya, kitong (kami) jual noken ini kadang orang tawar juga, padahal prosesnya sangat rumit.”
Noken adalah nama tas tradisional khas masyarakat Papua yang terbuat dari serat kulit kayu dan bahan lainnya. Noken dipakai dengan mengaitkan di kepala atau diselempangkan di badan.
Bagi masyarakat Papua, noken adalah tas aneka fungsi. Mulai dari membawa kebutuhan sehari-hari, pengangkut barang ke ladang dan pasar, hingga menggendong bayi.
Karena keunikannya noken didaftarkan ke UNESCO sebagai salah satu hasil karya tradisional dan resmi sebagai benda warisan kebudayaan dunia pada 4 Desember 2012.
Namun, di balik semua itu untuk mendapatkan bahan dari serat kulit kayu yang akan dijadikan noken ternyata tidak mudah. Salah satunya noken yang berbahan dasar dari serat anggrek hutan.
Sellina Takimai, penjual noken di Pasar Hamadi, mengatakan untuk membuat noken dari serat anggek harus mencari bahannya di hutan berhari-hari dengan sekaligus bermalam di hutan. Sebab bahannya hanya terdapat di tengah hutan Papua.
“Itu juga tidak sembarangan orang yang buat, orang tua-tua (laki-laki) di rumah yang buat,” kata Takimai ketika ditemui di Pasar Hamadi, Kamis, 22 Agustus 2019.
Noken dari serat kulit anggrek ini tampak cantik dan elegan berbalut warna kuning emas dan hitam yang membuat mata takjub melihatnya. Apalagi, harganya bisa mencapai jutaan rupiah.
Dikatakan Takimai, harga satu buah noken anggrek bisa Rp4 juta hingga Rp10 juta. Bahkan ada juga yang bisa mencapai harga satu unit sepeda motor. Tapi yang jelas, model dan kualitasnya berkelas dan noken memiliki filosofi kuat, khususnya bagi masyarakat Papua.
Diakui Takimai, untuk membuat satu buah noken anggrek cukup rumit dan membutuhkan proses yang bisa mencapai tiga bulan. Mulai dari mencari bahan hingga menjadi tas noken. Wajar saja kalau harga noken anggrek mahal.
“Saya rasa harganya sudah pantas dijual mahal karena susah membuat dan mendapatkan bahannya, kitong (kami) jual noken ini kadang orang tawar juga, padahal prosesnya sangat rumit,” ujarnya.
Takimai menceritakan bila sudah mendapatkan anggreknya masih harus dikuliti menggunakan pisau khusus untuk mengeluarkan lendir dari anggrek. Setelah itu dikikis untuk mengeluarkan seratnya baru dijemur di bawah sinar matahari berhari-hari untuk benar-benar kering agar menghilangkan getah supaya gampang dirajut.
Setelah kering satu per satu serat anggrek atau kulit luar yang disebut Epiyo dirakit atau dililit menyerupai benang. Lalu, saat dirakit juga membutuhkan ketelitian karena hanya menggunakan tangan.
“Setengah mati juga noken anggrek itu, satu-satu disambung-sambung sambil bikin, pohon anggrek ini adanya di Pegunungan Deiyai, Dogiyai, dan Paniai, pergi cari naik panjat gunung, baru pergi cari di hutan-hutan yang jauh,” katanya.
Walaupun harga noken anggrek mahal, katanya, tidak perlu takut robek.
“Noken anggrek sangat kuat dan bisa bertahan lama karena sudah didesain untuk mengangkut barang seberat 10-20 kilogram,” ujarnya.
Senada dengan Takimai, penjual noken lainnya, Fransina Badi, menceritakan untuk menyambungkan serat anggrek yang sudah kering harus menggunakan debu. Karena itu harus duduk dekat dengan tungku api.
“Supaya serat kulit kayu tadi tidak mudah lepas sehingga sambungannya menjadi kuat, setelah itu mulai menggulung di paha menggunakan debu, sampai kulit kayu itu benar-benar tersambung dan harus dilakukan berulang-ulang kali,” ujarnya.
Untuk pewarnaan sesuai yang diinginkan, lanjut Badi, menggunakan biji tumbuhan khusus dan itu dilakukan sambil menganyam serat kulit kayu yang sudah disambung.
“Menganyam ini membutuhkan waktu sesuai dengan ukuran noken, yang kecil membutuhkan waktu berbulan-bulan, mulai dari mencari bahan hingga menjadi noken,” katanya.
Menurut Badi, noken anggrek hanya boleh digunakan khusus laki-laki saja saat melaksanakan acara-acara adat maupun pesta adat dan acara pernikahan.
“Ini adalah adat dari turun-temurun (nenek moyang), setiap suku di Papua memberi nama sendiri untuk noken dalam bahasa daerah masing-masing,” ujarnya.
Dijelaskan Badi, bentuk noken yang dibuat adalah bujur sangkar atau empat persegi panjang. Bentuk ukuran yang dibuat itu sudah ada dalam pikiran perajin noken.
Noken besar disebut Goyake Agiya, sedangkan noken kecil disebut Tiniyake Agiya. Noken memiliki banyak makna, seperti kehidupan kesejahteraan, melambangkan kedewasaan, hidup mandiri, dan mencari nafkah.
“Kalau anggrek dalam bahasa suku Mee adalah Toya Agiya, yang hanya digunakan oleh seorang Tonowi atau yang memiliki kekuasaan, kekayaan, babi banyak, istri banyak, dan pandai berpidato, dulunya itu noken anggrek tidak boleh dimiliki oleh orang lain kecuali pemilik noken itu sendiri,” ujarnya.
Badi berharap masyarakat saat membeli khususnya noken anggrek agar tidak menawar karena proses membuatnya sangat rumit.
“Kitong (kami) buat setengah mati, baru orang tawar-tawar lagi, kalau noken anggrek jarang orang beli, paling orang-orang kaya saja yang datang, selama lima tahun saya jualan noken baru ada beberapa noken saja yang laku, harapan saya semakin banyak orang beli noken,” ujarnya. (*)
Editor: Syofiardi